Selasa, 15 September 2009

Kurang Gizi, Seekor Harimau Dahan Mati


Banda Aceh, Seekor harimau dahan (Neofelis nebulosa) yang baru saja dibawa ke Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa hari lalu, mati. Penyebab utamanya adalah kekurangan gizi dan cacingan yang diderita harimau itu.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NAD Abubakar Syek Mat saat ditemui seusai pelaksanaan otopsi hewan tersebut, Senin (14/9) sore, mengatakan, saat otopsi, tim gabungan menemukan beberapa kain yang diduga bekas karung goni dalam usus hewan tersebut. Di samping itu, tim otopsi juga menemukan banyak cacing dalam paru-paru, lambung, dan usus harimau itu.
”Ketika dibawa ke Banda Aceh, kondisinya sangat memprihatinkan. Sangat kurus untuk ukurannya,” tutur Abubakar.

Dia menjelaskan, usia hewan yang tergolong sangat langka itu sekitar 2 tahun. Untuk usia hewan tersebut, berat minimalnya sekitar 40 kilogram. Sementara ketika dibawa ke Banda Aceh, berat badan hewan tersebut hanya 15,5 kilogram.
Lebih lanjut dia menjelaskan, BKSDA semula hendak menyumbangkan bangkai hewan langka itu kepada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, sebagai bahan praktikum mahasiswa kedokteran hewan.
”Tetapi, karena tidak ada yang merawat saat ini dan juga sudah mau dekat hari raya Idul Fitri, mereka tidak mau menerimanya. Akhirnya diputuskan bangkainya akan dikuburkan saja di sini,” katanya.
Abubakar menyatakan, hewan itu diambil dari warga oleh polisi kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya, Kamis pekan lalu.
Christopher, dokter hewan dari Vesswic, menjelaskan, selain kondisi fisik yang lemah, hasil otopsi juga memperlihatkan adanya sisa karung goni atau sejenis kain di lambung dan usus hewan tersebut. (MHD)


Selengkapnya.....

Mangga, Sumber Energi dan Serat


Selain air dan karbohidrat (termasuk di dalamnya serat), mangga juga mengandung protein, lemak, vitamin, mineral, macam-macam asam, tanin, zat warna, dan zat volatil. Zat volatil inilah yang memberikan aroma harum khas pada mangga.

Karbohidrat daging buah mangga terdiri atas gula sederhana (sukrosa, glukosa, fruktosa) pati, dan selulosa. Gula berperan dalam memberikan rasa manis dan penghasil energi yang dapat segera digunakan oleh tubuh.

Kadar pati mangga masak lebih sedikit daripada mangga mentah karena telah banyak diubah menjadi gula. Serat pangan jadi bagian dari karbohidrat, terutama selulosa dan pektin.


Mangga mengandung vitamin A, C, dan B kompleks terutama B1,B2, B3, dan B6. Mangga muda mengandung vitamin C lebih tinggi daripada mangga matang, tapi kadar vitamin A-nya lebih rendah.

Mangga juga mengandung mineral, kalsium, besi, magnesium, fosfor, potasium, sodium, seng, tembaga, mangan, dan selenium. Keuntungan lain, rasio antara Na dan K rendah, sehingga aman dikonsumsi penderita darah tinggi.

Beberapa senyawa asam (terutama asam sitrat) berkontribusi terhadap rasa asam, berkisar 0,13 - 0,71 persen. Kombinasi kadar gula tinggi dan rasa asam itulah yang menyebabkan mangga dapat merangsang selera makan


Selengkapnya.....

Senin, 14 September 2009

Idul Fitri 1430. Muhammadiyah Hari Minggu


Jakarta, - Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriah jatuh pada 20 September 2009. Muhammadiyah mengacu pada hasil hisab (perhitungan) kalender. Sementara itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia baru akan melangsungkan sidang isbat penetapan hari Idul Fitri pada hari Sabtu (19/9).
Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fatah Wibisono mengatakan, hasil hisab itu sudah dicantumkan dalam maklumat PP Muhammadiyah Nomor 06/MLM/I.0/E/2009 tentang Penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah tertanggal 23 Juli 2009. Penetapan berdasarkan sidang hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Yogyakarta pada 11 Juni 2009.

”Majelis memedomani hisab hakiki wujudul hilal dan hasilnya 1 Syawal 1430 Hijriah jatuh pada 20 September 2009,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu.
Sementara Sekretaris Jenderal Departemen Agama Bahrul Hayat mengatakan, pemerintah belum menentukan Idul Fitri secara resmi. Rencananya, Depag baru akan menggelar sidang isbat pada 19 September mendatang.
Hargai
Pemerintah menghargai keputusan Muhammadiyah yang telah menetapkan tanggal Idul Fitri. Hal itu adalah hak setiap organisasi massa dalam menentukan hari raya keagamaan yang disesuaikan dengan keyakinan dan cara perhitungan masing-masing. ”Itu adalah keputusan internal Muhammadiyah sebagai sebuah ormas. Berdasarkan hisab atau perhitungan mereka, Idul Fitri jatuh pada hari Minggu,” ujarnya.
Meski demikian, Bahrul berharap masyarakat mengikuti hasil sidang isbat. Dalam sidang itu, semua ormas Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, akan diundang dan dilibatkan dalam Dewan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
Bahrul menegaskan pentingnya kebersamaan dan persatuan umat. ”Penetapan hari Idul Fitri oleh Depag sebagai wakil pemerintah juga bukan untuk kepentingan salah satu ormas tertentu,” katanya.
Ia berharap masyarakat dan semua komponen ormas Islam bersabar menunggu sidang isbat dan merayakan Idul Fitri tahun ini dengan mengikuti keputusan pemerintah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengakui ada dua metode penetapan awal bulan, yakni hisab dan rukyat hilal. Hasil kedua metode itu bisa saja berbeda.
Hisab hakiki merupakan penghitungan awal bulan dalam tahun Hijriah, yang antara lain menggabungkan ilmu falak dan matematika. Sementara rukyat hilal mengutamakan pengamatan langsung hilal atau bulan sabit pada hari pertama sebagai dasar penetapan awal bulan.(RAZ/REK)


Selengkapnya.....

Melestarikan Ekosistem Danau Toba


Selain terkesan eksotis, bukit batu yang mengelilingi Danau Toba sebenarnya membuat miris. Memang aura mistis Danau Toba juga datang dari bukit-bukit berbatu tersebut. Terlebih satu di antara bukit-bukit tersebut, Pusuk Buhit, dipercaya sebagai tempat orang Batak, suku terbesar yang mendiami kawasan ekologis Danau Toba, pertama kali turun ke bumi.
Rasa miris tersebut timbul karena melihat tingkat vegetasi pepohonan di bukit-bukit tersebut sangat kurang. Hanya terlihat beberapa pucuk pinus, yang jika musim kemarau sebagian di antaranya meranggas, warnanya berubah menjadi coklat kemerahan. Selain pinus, bukit-bukit tersebut hanya tertutup ilalang. Padahal, itulah daerah tangkapan air utama Danau Toba, terutama di sisi selatan hingga barat daya danau.
Bukit-bukit yang mengelilingi Danau Toba tersebut, terutama di wilayah Kabupaten Samosir, dianggap ahli geologi terbentuk akibat proses vulkanis letusan Gunung Toba ribuan tahun silam. Menurut Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumatera Utara Jonathan Tarigan, bukit-bukit batu itu tertutup lapisan silika sebagai akibat letusan Gunung Toba

”Seperti kaca, lapisan silika dengan mineral diatomit yang melapisinya membuat bukit-bukit tersebut memang sulit ditanami pepohonan keras. Akan tetapi, masih tetap banyak lapisan tanah di bukit tersebut. Kami pernah mengadakan riset geologis untuk kepentingan konservasi lingkungan di kawasan tersebut dan sangat mungkin bukit-bukit itu bisa ditutup dengan pepohonan keras, selain pinus,” ujar Jonathan.
Jonathan prihatin karena upaya konservasi untuk menyelamatkan kawasan tangkapan air Danau Toba tak jua dilakukan. Kawasan Danau Toba yang secara administratif ”dikuasai” tujuh kabupaten membuat upaya penghijauan selalu kandas ketika dibicarakan di antara ketujuh penguasa kabupaten tersebut.
Sekarang keprihatinan itu tampaknya coba ditanggapi Pemerintah Kabupaten Samosir. Sabtu (5/9), secara resmi Pemkab Samosir mencanangkan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif dengan menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. ”Kami sadar, membangun Samosir harus memerhatikan konservasi sumber daya alam. Hutan, tanah, dan air harus kami lindungi karena kami berada di daerah hulu dari sekian banyak daerah aliran sungai yang bermata air di Danau Toba,” ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon seusai pencanangan kegiatan di situs Batu Hobon.
Menginjak bumi
Sejak hari Jumat hingga Sabtu menjelang petang, di situs Batu Hobon ribuan warga Samosir berkumpul. Batu Hobon terletak di lingkar Pusuk Buhit. Di Batu Hobon inilah konon orang Batak pertama kali menginjakkan kaki ke bumi. Raja Bius (gabungan/konfederasi antarkampung) dari 12 kecamatan yang ada di Samosir juga hadir di Batu Hobon hari itu. Dalam budaya Batak, Raja Bius adalah sosok pemimpin yang mengatur penggunaan tanah (golat) dalam satu bius. Dia juga menjadi protokol dalam sebuah upacara adat.
Kehadiran Raja Bius dan ribuan warga Samosir di Batu Hobon tak hanya mengikuti acara pencanangan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif, menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. Mereka juga hadir karena dalam acara tersebut Pemkab Samosir bersama Lembaga Konservasi Situs dan Budaya Kabupaten Samosir menggelar Mangase Taon atau pesta mengawali tahun baru dalam kalender Batak Toba.
Mangase Taon menjadi upacara yang sangat simbolis bagi komitmen Pemkab Samosir mengedepankan pendekatan budaya dan lingkungan hidup dalam membangun wilayah di tengah Danau Toba tersebut. Di hadapan ribuan warga dan semua Raja Bius di Samosir, Mangindar atas nama Pemkab Samosir berjanji akan menggunakan kearifan lokal dalam membangun wilayahnya. ”Ini sebagai wujud agar masyarakat lebih bisa mengambil peran,” katanya.
Batu Hobon dipilih karena kesakralan dan nilainya dalam budaya Batak. Komitmen atau janji yang terucap di Batu Hobon, apalagi disertai ritual Mangalahat Horbo Bius atau memberi persembahan kerbau untuk Mulajadi Nabolon (Sang Kuasa), harus ditepati. ”Salah-salah, orang yang main-main dengan ritual ini bisa kehilangan nyawanya,” ujar Alimantua Limbong, penabuh gondang dalam ritual tersebut.
Alimantua menuturkan, budaya dan tradisi lokal Batak sangat dekat dengan alam. Dia pun menghargai jika memang pemerintah daerahnya berniat menjadikan budaya sebagai pegangan membangun wilayah. ”Dari acara yang digelar di Batu Hobon saja sudah menggambarkan penghormatan terhadap situs budaya,” katanya.
Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Mangindar mengakui, kearifan lokal dalam budaya Batak sempat terkikis sejak abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Kristen ke pedalaman Tapanuli.
Menurut Mangindar, sempat ada persepsi yang salah terhadap kepercayaan lokal. Dia mencontohkan, dahulu di Samosir banyak terdapat situs budaya yang dikelilingi pepohonan rimbun. ”Kepercayaan dulu mengatakan, pohon-pohon tersebut ada penunggunya sehingga orang tak mau mengganggu. Padahal, kalau direnungkan, itu kearifan lokal agar kita tak menebang pohon-pohon tersebut. Namun, karena ada persepsi yang salah dari agama baru yang masuk, kearifan tersebut dianggap sebagai penyembahan selain Tuhan sehingga pepohonan itu harus ditebang,” ujar Mangindar.
Persepsi salah
Persepsi yang salah terhadap kearifan lokal tersebut, menurut Mangindar, harus dibayar mahal. ”Sekarang pohon-pohon endemis di Samosir yang dipercaya sebagai pepohonan khas bagi orang Batak sudah tak banyak lagi,” katanya.
Jauh sebelum pemerintah mencanangkan program ”satu orang satu pohon”, makna penting menanam pohon bagi masyarakat Batak tertanam sangat dalam di kehidupan mereka. ”Setiap kali orang Batak membuka kampung untuk pertama kali, bambu dan pohon beringin harus ikut ditanam. Pohon beringin bahkan harus ditanam di setiap sudut kampung. Itulah pohon yang menjaga kehidupan kampung kami dulu,” tutur Mangindar.
Hal itulah yang ingin kembali dihidupkan Pemkab Samosir. Menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba, terlebih di daerah tangkapan air seperti di sebagian besar wilayah Kabupaten Samosir, dengan pendekatan budaya. Demi menggunakan kearifan lokal untuk melakukan konservasi kawasan ekosistem Danau Toba, Pemkab Samosir berani menolak investasi industri besar-besaran di kabupaten tersebut.
Padahal, tak jauh dari Samosir, di kabupaten tetangga seperti Humbang Hasundutan atau Simalungun, ribuan hektar hutan yang dulu menjadi gantungan hidup masyarakat kini berubah menjadi hutan produksi dengan jenis tanaman homogen eucalyptus untuk kepentingan pabrik bubur kertas. Pabrik ini berdiri megah di hulu Sungai Asahan yang bermuara langsung ke Danau Toba di kawasan Kabupaten Toba Samosir.
”Kami tak mau ada industri besar-besaran di Samosir. Kerusakan lingkungan hidup ka- mi jadi taruhannya. Kami justru akan berpihak kepada industri kecil dan mikro seperti kerajinan hasil budaya kami. Ini sejalan dengan pendekatan budaya yang kami pakai membangun Samosir,” ujar Mangindar.
Sebagai kabupaten seumur jagung, Samosir baru terbentuk sebagai kabupaten lima tahun silam, Mangindar tak mau siapa pun yang kelak memimpin daerah ini tak punya pegangan.
Pemkab Samosir sebenarnya menyiapkan desain besar strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba dengan menggunakan pendekatan budaya, tak hanya untuk wilayahnya. Enam kabupaten lain, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Dairi, Karo, dan Simalungun, diajak ikut serta. Keenam daerah tersebut, seperti halnya Samosir, menjadi teritori alamiah bagi orang Batak. ”Kearifan lokal kami sama. Budaya Batak sesungguhnya teramat dekat dengan alam,” ujar Mangindar.
Upaya Pemkab Samosir juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Pejabat dari Departemen Dalam Negeri yang hadir dalam pencanangan tersebut mengaku sangat mengapresiasi niat Pemkab Samosir.
”Jangan mencontoh apa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap pengelolaan kawasan Puncak. Kawasan yang mestinya menjadi daerah resapan air justru penuh dengan bangunan vila. Puncak tak menjadi daerah tangkapan air dan berakibat pada terjadinya banjir di wilayah- wilayah yang berada di bawahnya,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Koesnan A Halim.
Sayang acara pencanangan strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba di Pusuk Buhit tak dihadiri satu pun bupati tetangga. Namun, Pemkab Samosir tak patah arang. Menurut Mangindar, ketidakhadiran bupati tetangga, lebih karena acara pencanangan digelar pada bulan puasa sehingga banyak kesibukan yang harus dihadapi rekan-rekannya itu.
Budayawan Batak seperti Tomson HS mengaku sangat menghargai upaya Pemkab Samosir. Revitalisasi budaya Batak, menurut Tomson, tak hanya selesai di acara seminar, tetapi juga teraplikasikan sebagai pendekatan membangun wilayah. (KHAERUDIN/kp)


Selengkapnya.....

Kamis, 10 September 2009

DPR Sahkan UU Lingkungan Hidup

Jakarta - DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna di gedung parlemen, Jakarta, Rabu.

Sebanyak sepuluh fraksi secara aklamasi menyetujui RUU PPLH menjadi UU PPLH sebagai pengganti UU Np.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada anggota DPR yang telah berinisiatif untuk membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.

"UU tersebut (UU No.23/1997) telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural," kata Rachmat.

Dia menyebutkan beberapa hal penting dari UU PPLH yang belum atau masih kurang dalam UU sebelumnya, antara lain kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.

UU PPLH juga menyebutkan penguatan AMDAL (analisi mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.

Masalah perijinan juga diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut.

Menlh mengatakan UU PPLH juga memperkuat sistem hukum PPLH dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan antara lain pejabat pengawas yang berwenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum, yang berkoordinasi dengan kepolisian.

Bahkan pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.

"Selain hukuman maksimun, juga diperkenalkan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan," tambah Rachmat Witoelar. (an*)


Selengkapnya.....

Perambah Ditertibkan 24 Perusahaan Telah Diperingatkan


Medan, - Seratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Register 40 mendatangi Kantor Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Mereka meminta pemerintah agar tidak diskriminatif menertibkan perambah. Mereka juga meminta komitmen penyelamatan hutan di Sumut.
”Kami sudah menyurati mereka (perambah). Ini sudah peringatan terakhir bagi perusahaan yang ada di Register 40. Apa yang saudara tuntut menjadi dukungan kami untuk menertibkan perambahan hutan di Sumut,” tutur Kepala Dinas Kehutanan Sumut James Budiman Siringoringo saat berbicara di depan massa, Rabu (9/9) di Medan.
Dinas Kehutanan Sumut, tuturnya, tak pernah memberi satu pun izin operasional perusahaan di Register 40. Saat ini Dinas Kehutanan sudah memperingatkan 24 perusahaan yang ada di dalam kawasan Register 40. Namun, penertiban, katanya, akan terus berkembang pada perusahaan yang belum teridentifikasi. Jumlahnya bisa mencapai puluhan.

Akan tetapi, katanya, peringatan dari Dinas Kehutanan Sumut ini tidak sejalan dengan Pemerintah Kabupaten Padang Lawas. Bupati Padang Lawas, tutur Siringoringo, cenderung membela perusahaan yang ada di dalam kawasan Register 40. Pertimbangannya, perusahaan tersebut sudah memberi kontribusi positif terhadap pembangunan daerah setempat.
Pertimbangan hukum
Dia berharap penanganan eksekusi perusahaan DL Sitorus di 47.000 hektar yang menempati Register 40 menjadi pertimbangan hukum untuk menangani kasus serupa di kawasan yang sama. Saat ini pemerintah tengah menaksir nilai aset milik DL Sitorus. Selanjutnya, pemerintah akan melelang pengelolaan hutan ini ke pihak ketiga.
Dinas Kehutanan Sumut kini meneliti 1.820 sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertifikat ini, katanya, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 199 tentang Kehutanan. ”Kawasan hutan tidak boleh ada sertifikat tanah di dalamnya. Kami yakin ada keterlibatan oknum BPN setempat dan pihak pemerintah daerah yang mengeluarkan izin operasional perusahaan,” katanya.
Carut-marutnya kondisi Register 40 dinilai lantaran adanya pembicaraan dari pemerintah. Koordinator Aksi Aliansi Masyarakat Peduli Register 40 (Amper 40), Somal Ritonga menyatakan, pembiaran menyebabkan kawasan Register 40 berubah menjadi perkebunan sawit. Mestinya, kata Somal, sejak 1990 setelah kawasan hutan ini dikelola pemegang hak pengelolaan hutan, kawasan itu dihutankan kembali. (NDY/kp)


Selengkapnya.....

Rabu, 09 September 2009

Kesehatan: Mempertanyakan Hak Dasar Warga Negara


Kesehatan merupakan hak dasar rakyat,” begitu dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melantik Konsil Kedokteran Indonesia pada 2 September 2009. Pernyataan itu menegaskan Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Hal tersebut akan menjadi kenyataan jika Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang akan disahkan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, pada 15 September 2009, tak lagi mengandung pasal diskriminatif.
Kenyataannya, RUU yang sudah tujuh tahun di DPR, melewati dua pergantian kabinet, itu masih mengandung beberapa pasal yang mendiskriminasi warga negara memperoleh pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi.
”Pasal 81 Butir (a), misalnya, hanya melindungi mereka yang berada dalam status perkawinan yang sah,” tegas Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 1999-2004 itu. ”Sementara berbagai infeksi menular, seperti HIV/AIDS yang mengancam reproduksi dan kehidupan seksual, tidak mengenal diskriminasi berbasis perkawinan,” lanjutnya.


RUU Kesehatan juga mengandung pasal-pasal bias agama, seperti Pasal 81, 83, 84, dan 86. ”Kembalikan arah RUU Kesehatan untuk pemenuhan hak sehat setiap orang tanpa diskriminasi berbasis agama,” tandas Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Properempuan Ratna Batara Munti.
”Rumusan-rumusan dengan kalimat ’tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama’ bisa multitafsir, tidak memberikan kepastian hukum, serta tidak berdasarkan kompetensi dan etika profesi kedokteran,” ujar Ratna.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia dr Kartono Mohamad menelisik rumusan tentang aborsi. Pasal 84 Ayat (1) menyatakan, setiap orang dilarang melakukan aborsi, dengan pengecualian pada Ayat (2) yang mencantumkan ”kedaruratan medis” dan ”kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan yang direkomendasikan dari lembaga, institusi, atau ahli/tokoh agama setempat sesuai dengan norma agama”, serta Ayat (3) yang mengatur konseling pra dan pascatindakan oleh ’konselor yang kompeten dan berwenang serta ditetapkan panel ahli/tokoh agama penilai setempat’.
”Kedaruratan medis menimbulkan multiinterpretasi dan proses panjang menyebabkan keterlambatan penyelamatan orang yang butuh tindakan medis segera” ujar Saparinah Sadli.
Rita Serena Kolibonso dari Yayasan Kesehatan Perempuan mengingatkan, 10-50 persen angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia disebabkan aborsi tak aman.
Laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) 2009 mencatat, AKI di Indonesia 420 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut para pejabat, AKI turun menjadi 269 dari 307 per 100.000 kelahiran hidup. Toh, kata Saparinah, angka ”kortingan” itu tetap tertinggi di Asia Tenggara.
Peran konselor sebagai bagian layanan aborsi aman sangat penting dilakukan oleh mereka—termasuk tokoh agama— yang telah dilatih dan memiliki sertifikat. ”Dengan demikian, ketentuan penetapan oleh panel ahli/tokoh agama tak diperlukan lagi,” tegas Saparinah. (MH/kp)


Selengkapnya.....

UU Lingkungan Hidup Perkuat Komitmen


Jakarta, Komitmen pemerintah tampak menguat terhadap Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan DPR, Selasa (8/9), sebagai pengganti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997.
”Melalui undang-undang yang baru disahkan ini, ingin dicapai pembangunan berkelanjutan,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai pengesahan undang-undang tersebut pada Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.
Sebelumnya sepuluh fraksi parlemen secara aklamasi menyetujui RUU PPLH. Alasan utama, risiko bencana ekologi di Indonesia sekarang makin masif dan berulang setiap tahun sehingga perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang makin baik kian diharapkan.


Rachmat Witoelar pada pandangan akhirnya mengemukakan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 memiliki persoalan substansial, struktural, dan kultural. Menurut Rachmat, UU PPLH mewajibkan pemerintah daerah membuat kajian lingkungan hidup strategis untuk memastikan penerapan pembangunan berkelanjutan.
Bergantung pada presiden
Dalam UU PPLH, Kementerian Negara Lingkungan Hidup memiliki kewenangan mulai dari pembuat kebijakan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Pada UU sebelumnya kementerian negara itu hanya berfungsi koordinatif dan menetapkan kebijakan.
Menurut Rachmat, sesuai UU PPLH ada konsekuensi yaitu perlu ada perubahan struktural. ”Bisa menjadikan kementerian ini departemen atau membentuk badan tertentu. Itu bergantung pada presiden,” katanya.
Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Masnellyarti Hilman mengatakan,
”Sejak tahun 1978 Kementerian Negara Lingkungan Hidup mulai kehilangan power (kekuatan) untuk menegakkan aturan mengenai lingkungan hidup. Tahun 2009 ini kementrian lingkungan telah mendapatkannya lagi,” kata Masnellyarti. (NAW/kp)


Selengkapnya.....

Rabu, 02 September 2009

Pejabat Publik Perusak Lingkungan Bisa Dipenjara Setahun

Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RUU PPLH) dalam salah satu pasalnya menyebutkan, pejabat publik yang terbukti merusak lingkungan dapat dikenai pidana penjara setahun dan denda Rp1 miliar.

"RUU ini lebih progresif dibanding UU Lingkungan Hidup saat ini," kata juru bicara fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Tamam Achdi saat membacakan pendapat mini fraksinya mengenai RUU PPLH dalam raker Komisi VII, di Jakarta, Selasa.

Sebutan progresif itu ditujukan pada pasal-pasal yang menjerat pejabat publik yang terbukti melakukan perusakan lingkungan, yang tertuang dalam RUU dan tidak terdapat dalam UULH saat ini.

"Dengan RUU PPLH diharapkan dapat meningkatkan pemantauan mutu lingkungan hidup," katanya dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan agenda pengesahan draf final RUU PPLH oleh fraksi-fraksi untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada 8 September.

Juru bicara fraksi Bintang Pelopor Demokrasi Nizar Dahlan menjelaskan, pejabat publik yang dimaksudkan dalam RUU PPLH adalah pejabat pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang mengeluarkan ijin untuk pemanfaatan sumber daya alam, dan pada kemudian hari terbukti kebijakan itu mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Pada akhir kesimpulan raker komisi VII DPR RI yang dipimpin Sutan Bhatoegana, sepuluh fraksi setuju dan mengesahkan draf akhir RUU PPLH untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR yang direncanakan digelar pada Selasa (8/9).



Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg-LH) Rachmat Witoelar dalam raker tersebut mengatakan, RUU PPLH tersebut mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan.

Dia mengatakan, adanya pasal represif pada RUU PPLH bagi pelaku pencemaran dan perusak lingkungan hidup untuk menimbulkan efek jera dan untuk meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

MenegLH mengatakan hal tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya sesuai pasal 28 H UUD 1945.

Ditemui usai raker, Rachmat mengatakan, dengan undang-undang PPLH nantinya bila disahkan akan menjadikan pejabat publik harus hati-hati dan bertanggung jawab terhadap ijin pemanfaatan sumber daya alam yang dikeluarkan.

"Karena pemberian ijin tersebut bisa menjadi awal sumber kecurangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan," katanya.

Sedangkan Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Arief Yuwono mengatakan, pasal tentang pejabat publik tersebut merupakan perkembangan baru dalam pembahasan tingkat pertama draf RUU PPLH pada Komisi VII DPR RI.

"Pasal tersebut menyebutkan bila pejabat publik yang berwenang dengan sengaja melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dapat dipidana setahun dan didenda Rp1 miliar," tambahnya


Selengkapnya.....

Orangutan Sumatra Dalam Ancaman Serius

Jambi, Populasi orangutan Sumatra (Pongo abelii) di Jambi dalam ancaman serius seiring rencana pembukaan hutan tanaman industri (HTI) seluas lebih dari 30.000 hektare di areal eks hutan produksi (HP) PT Dalek Hutani Esa, di Dusun Semarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.

Pimpinan Program Frankfurt Zoological Society (FZS) Peter Pratje, Minggu, mengatakan, lokasi pembukaan HTI itu sangat dekat dengan stasiun reintroduksi orangutan Sumatra yang telah merehabilitasi 20-an ekor orangutan per tahunnya.

Pembukaan HTI secara langsung akan menghilangkan seluruh potensi sumber daya alam yang ada. Langkah untuk melestarikan kembali populasi orangutan Sumatra yang terus berkembang dalam delapan tahun ini juga akan sia-sia.


Peter menjelaskan, selama ini pihaknya telah melepasliarkan 108 orangutan di areal pelepasan seluas 200 hektare pada pinggiran Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), namun, karena daerah TNBT curam, orangutan lebih memilih untuk tinggal di areal eks hutan produksi.

Hutan produksi juga memiliki banyak tanaman buah-buahan yang menjadi sumber makanan utama orangutan Sumatera. Tanaman buah ini kemungkinan sengaja tidak ditebang karena pengelola hutan produksi hanya mengambil jenis pohon-pohon keras.

FZS juga memantau setidaknya ada tiga ekor bayi orangutan yang dilahirkan oleh induk yang telah dilepasliarkan, ini menandakan hutan produksi tersebut merupakan lokasi yang cocok bagi primata endemik Sumatera ini.

Orangutan juga termasuk dalam hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi rendah. Orangutan betina hanya mampu melahirkan tiga ekor anak selama masa hidupnya.

Peter menegaskan, pembukaan HTI tidak hanya mengancam keberadaan orangutan Sumatera tetapi juga TNBT secara langsung, sebab perambahan, pemanfaatan kayu, serta sumber makanan bagi satwa liar banyak berada di areal hutan produksi.

"Komunitas suku terasing seperti warga Talang Mamak dan Suku Anak Dalam juga akan pindah ke TNBT bila hutan produksi ini dialihfungsikan menjadi HTI," kata Peter.

Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatra, Julius Paolo Siregar mengatakan, orangutan Sumatra termasuk dalam kategori satwa yang terancam punah, diperkirakan jumlah orangutan Sumatera saat ini antara 6.000-7.000 ekor saja.

"Dibandingkan dengan orangutan Kalimantan, orangutan Sumatra lebih rentan hidupnya. Bukan saja jumlahnya yang sedikit tetapi luas wilayah habitatnya juga sangat sedikit," ujar Julius.

Rencananya FZS akan kembali melepasliarkan sekitar 10 orangutan pada Oktober 2009, dan pada bulan ini hingga Januari 2010 diperkirakan sumber makanan dalam hutan sudah cukup seiring masa musim buah.(*)


Selengkapnya.....

Sepasang Gajah Sumatra Tiba di Belgia


Jakarta, - Indonesia menyumbangkan sepasang gajah Sumatra untuk menambah koleksi Taman Indonesia di Parc Paradisio, Belgia.

Kedatangan sepasang gajah Sumatra itu menurut keterangan Departemen Luar Negeri di Jakata, Sabtu, disambut oleh Dubes RI Brussel, Nadjib Riphat Kesoema.

Sepasang gajah Sumatra, bernama "Valentino" (jantan berumur lima tahun) dan "Ani" (betina berumur empat tahun), nama yang diberikan oleh Ibu Ani Yudhoyono, menjadi koleksi langka yang unik bagi Taman Indonesia di Parc Paradisio, Belgia.

Di Parc Paradisio telah dibangun Taman Indonesia seluas 6,2 hektare, dan telah diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 18 Mei lalu.


Taman Indonesia itu dilengkapi dengan koleksi lengkap pura Bali (Pura Agung Shanti Buwana) sebesar ukuran pura yang sesungguhnya berikut hamparan sawah ladang ala Ubud, rangkaian rumah adat Timor dari Nusa Tenggara, rumah Toraja dari Sulawesi Selatan, replika candi Borobudur dan Prambanan.

Taman itu menjadi jendela promosi pariwisata Indonesia yang permanen di jantung Eropa.

"Sepasang gajah Sumatra ini merupakan kado istimewa, bagi 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Belgia, sekaligus pertama kalinya, melalui program `breeding loan` gajah Sumatra secara formal kita tempatkan di Belgia, jantung Uni-Eropa," kata Nadjib Riphat Kesoema.

Ia mengatakan bahwa sepasang gajah Sumatra itu akan tetap menjadi milik Indonesia, sekalipun dikelola dalam program "breeding loan", sehingga aset budaya dan aset promosi Indonesia di Belgia itu menjadi ikon keindonesiaan yang permanen di Eropa.

Sepasang Gajah Sumatra (Elephas Sumatran Maximus) dari Indonesia tiba itu di Belgia, tepat 17 Agustus 2009 yang diikuti dengan pengenaan pakaian adat Indonesia (Lampung) pada ikon patung Mannekin Pis di kota Brussel pada 18 Agustus.

Rangkaian perayaan HUT ke-64 Kemerdekaan RI itu diikuti oleh promosi budaya dan pariwisata Indonesia.(*)


Selengkapnya.....