Rabu, 09 September 2009

Kesehatan: Mempertanyakan Hak Dasar Warga Negara


Kesehatan merupakan hak dasar rakyat,” begitu dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melantik Konsil Kedokteran Indonesia pada 2 September 2009. Pernyataan itu menegaskan Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Hal tersebut akan menjadi kenyataan jika Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang akan disahkan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, pada 15 September 2009, tak lagi mengandung pasal diskriminatif.
Kenyataannya, RUU yang sudah tujuh tahun di DPR, melewati dua pergantian kabinet, itu masih mengandung beberapa pasal yang mendiskriminasi warga negara memperoleh pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi.
”Pasal 81 Butir (a), misalnya, hanya melindungi mereka yang berada dalam status perkawinan yang sah,” tegas Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 1999-2004 itu. ”Sementara berbagai infeksi menular, seperti HIV/AIDS yang mengancam reproduksi dan kehidupan seksual, tidak mengenal diskriminasi berbasis perkawinan,” lanjutnya.


RUU Kesehatan juga mengandung pasal-pasal bias agama, seperti Pasal 81, 83, 84, dan 86. ”Kembalikan arah RUU Kesehatan untuk pemenuhan hak sehat setiap orang tanpa diskriminasi berbasis agama,” tandas Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Properempuan Ratna Batara Munti.
”Rumusan-rumusan dengan kalimat ’tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama’ bisa multitafsir, tidak memberikan kepastian hukum, serta tidak berdasarkan kompetensi dan etika profesi kedokteran,” ujar Ratna.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia dr Kartono Mohamad menelisik rumusan tentang aborsi. Pasal 84 Ayat (1) menyatakan, setiap orang dilarang melakukan aborsi, dengan pengecualian pada Ayat (2) yang mencantumkan ”kedaruratan medis” dan ”kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan yang direkomendasikan dari lembaga, institusi, atau ahli/tokoh agama setempat sesuai dengan norma agama”, serta Ayat (3) yang mengatur konseling pra dan pascatindakan oleh ’konselor yang kompeten dan berwenang serta ditetapkan panel ahli/tokoh agama penilai setempat’.
”Kedaruratan medis menimbulkan multiinterpretasi dan proses panjang menyebabkan keterlambatan penyelamatan orang yang butuh tindakan medis segera” ujar Saparinah Sadli.
Rita Serena Kolibonso dari Yayasan Kesehatan Perempuan mengingatkan, 10-50 persen angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia disebabkan aborsi tak aman.
Laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) 2009 mencatat, AKI di Indonesia 420 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut para pejabat, AKI turun menjadi 269 dari 307 per 100.000 kelahiran hidup. Toh, kata Saparinah, angka ”kortingan” itu tetap tertinggi di Asia Tenggara.
Peran konselor sebagai bagian layanan aborsi aman sangat penting dilakukan oleh mereka—termasuk tokoh agama— yang telah dilatih dan memiliki sertifikat. ”Dengan demikian, ketentuan penetapan oleh panel ahli/tokoh agama tak diperlukan lagi,” tegas Saparinah. (MH/kp)