Minggu, 26 Juli 2009

PETANI SULIT AIR, PRESIDEN SALAHKAN EL-NINO


Jakarta - Ancaman krisis pangan Indonesia akibat kekeringan ada di depan mata. Sejak dua minggu terkhir, petani khususnya di sentra-sentra produksi pangan nasional, dilaporkan mengalami kesulitan air, dan ancaman gagal panen. Misalnya terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Jogjakarta. Selain itu, juga terjadi di wilayah lain di luar pulau Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan resmi di istana negara (16/7), menyebutkan bahwa fenomena iklim El Nino menjadi faktor pemicu terjadi musim kemarau berkepenjangan dan kekeringan lahan pertanian. Sementara, Departemen Pekerjaan Umum melalui Dirjen Sumber Daya Air menyerukan agar petani tidak nekat menaman tanaman padi tapi segera beralih pada palawija. Juga mematuhi pola tanam.


Direktur Eksekutif Nasional WALHI Berry Nahdian Forqan menilai, bahwa krisis air terjadi masif diakibatkan oleh buruknya sistem antisipasi dini pemerintah baik pusat maupun daerah, dalam mendeteksi perubahan iklim yang berubah cepat. Termasuk menyiapkan skema mitigasi dan adaptatif atasi krisis. “”Jika program pangan dan irigasi baik, pemerintah mengklaim sebagai keberhasilannya, tapi jika gagal dan alami krisis, dengan mudah berkelit bahwa itu faktor iklim dan kekeliruan di tingkat petani. Pernyataan pemerintah saat ini, lebih terkesan reaktif,” paparnya.

Sementara, Erwin Usman Kepala Departemen Penguatan Regional dan Juru Kampanye Air dan Pangan WALHI Eksekutif Nasional, menyoroti penanggulangan krisis air dan pangan yang dilakukan pemerintah selama ini masih terkungkung pada pendekatan yang sektoral. “Mengabaikan peran aktif warga dan tidak terintegrasi antara satu departemen dengan yang lain,” tegasnya.

Tidak adanya kemauan politik pemerintah guna menghentikan konversi hutan di hulu, perubahan areal vegetasi menjadi kepentingan bisnis skala besar dan infrastruktur, serta gagalnya negara menjalankan program rehabilitasi kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah faktor pendorong krisis air dan pangan terus berulang. UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air nyatanya juga tak efektif menjawab krisis yang ada.

WALHI mendesak pemerintah untuk segera membuat agenda mitigasi dan adaptatif untuk lindungi petani dengan pengalokasian APBN yang memadai, pembenahan sistem irigasi dan distribusi air yang baik, pemberian bantuan sarana produksi pertanian, penghentian konversi hutan, serta lebih serius melakukan konservasi wilayah DAS. Dengan pelibatan warga tani, kelompok pemerhati lingkungan lokal dan pemerintah daerah.

Catatan Editor

1.Sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Dari 64 DAS kritis tersebut, berada di Sumatera 12 DAS, Jawa 26 DAS, Kalimantan 10 DAS, Sulawesi 10 DAS, Bali, NTB dan NTT 4 DAS, Maluku serta Papua 2 DAS. Kondisi DAS ini mengakibatkan menurunkan nilai daya tampung air serta fungsi pada daerah tangkapan dan resapan air beberapa DAS di Indonesia.

2.Sejumlah 6,72 juta hektar daerah irigasi di Indonesia, hanya 0,79 juta hektare atau 12 persen yang pengairannya dijamin bendungan.

3.Dari 7,4 juta hekter total areal persawahan Indonesia, hanya 800.000 hektar yang mendapatkan pasokan irigasi yang baik, sisanya tadah hujan dan minim pasokan air akibat DAS yang rusak.