Rabu, 01 April 2009

FAKTOR CUACA PADA BENCANA SITU GINTUNG


Benarkah faktor cuaca, yaitu tingginya intensitas curah hujan, menjadi salah satu pemicu jebolnya tanggul Situ Gintung pada dini hari tanggal 27 Maret lalu?

Penulis melakukan analisis menggunakan citra satelit GMS MTSAT pada tanggal 26 dan 27 Maret 2009 untuk mengetahui kondisi cuaca regional dan radar cuaca program HARIMAU (Hydrometeorological ARray for Intraseasonal Monsoon AUtomonitoring) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berlokasi di Puspiptek, Serpong, untuk mengetahui kondisi cuaca lokal.

Jangkauan radar cuaca dapat memetakan curah hujan dan medan angin dalam radius 200-250 kilometer dari lokasi radar dengan berbagai sudut elevasi setiap 6 menit untuk semua sapuan.



Kondisi cuaca regional melalui pantauan satelit meteorologi geostationer (GMS) tidak memberi indikasi fenomena ekstrem di wilayah Indonesia pada saat itu. Konsentrasi awan konveksi terjadi secara lokal di wilayah Jakarta pada siang sampai dengan sore hari pada tanggal 26 Maret 2009.

Identifikasi lebih lanjut, faktor cuaca lokal dengan citra radar cuaca BPPT dapat dianalisis terjadi dua tahapan fase curah hujan tinggi cenderung ekstrem 80-100 milimeter per jam pada 26 Maret pukul 13.00-14.30 (1,5 jam) dengan luasan 15 km x 15 km dan pukul 16.00-pukul 19.30 (3,5 jam) dengan luasan 25 km x 25 km di wilayah Situ Gintung dan sekitarnya.

Dengan demikian, terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi selama lima jam, mulai siang hari pukul 13.00 sampai dengan malam hari pukul 19.30 (ada jeda 1,5 jam dari pukul 14.30 sampai dengan pukul 19.30).

Mekanisme apa yang menyebabkan konsentrasi curah hujan tinggi dan berlangsung cukup lama, 5 jam, di wilayah Situ Gintung dan sekitarnya? Rekaman medan angin radar cuaca BPPT menunjukkan sirkulasi lokal yang membentuk rotasi siklonik terjadi di wilayah Situ Gintung dan sekitarnya akibat konvergensi angin yang membawa uap air jenuh dari Teluk Jakarta bertemu dengan angin timuran dari wilayah Jawa Tengah dan angin tenggara dari wilayah Bogor/Puncak.

Kondisi di atas sangat kondusif untuk mempertahankan curah hujan tinggi dalam durasi cukup lama mengingat awan konveksi cumulonimbus (Cb) yang terjadi di wilayah Situ Gintung dan sekitarnya memiliki ketebalan yang cukup—mencapai ketinggian 8 km menurut pantauan radar.

Muka air naik

Apabila dihitung volume air hujan yang jatuh khusus di lokasi Situ Gintung dan memakai asumsi luasan situ saat ini 21,4 hektar (Kompas, 28 Maret 2009), perkiraan jumlah air yang masuk ke situ adalah 0,107 juta meter kubik. Dengan kapasitas situ sebesar 2,1 juta m3 dan kedalaman 10 meter, dapat diketahui suplai air hujan yang langsung masuk situ akan menaikkan muka air situ sebesar 51 sentimeter.

Belum diketahui berapa duga muka air (DMA) Situ Gintung sebelum mendapat suplai langsung dari air hujan ini. Namun, kondisi iklim saat ini masih dalam masa peralihan dari musim hujan sehingga kondisi DMA diperkirakan masih cukup tinggi. Penambahan muka air 51 cm dapat diduga menjadi salah satu pemicu jebolnya tanggul Situ Gintung.

Hal tersebut dapat diketahui dari skenario runtuhnya tanggul yang memerlukan waktu 7-8 jam setelah akumulasi curah hujan tinggi di wilayah itu.

Kenaikan muka air akan memberi beban berlebih pada tanggul saluran buang (spillway) dan memicu kerusakan yang lebih parah, misalnya apabila terjadi keretakan pada struktur material tanggul, air dengan mudah menyusup masuk dan memberikan tekanan lebih besar lagi. Pada kondisi normal, tanggul ini semestinya dapat menahan beban air yang ada.

Peta risiko bencana

Bencana Situ Gintung semestinya menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita semua. Pelajaran bahwa masyarakat sekitar wilayah Situ Gintung telah hidup berdampingan dengan maut selama bertahun-tahun tanpa disadari karena pemerintah tidak menyediakan peta risiko bencana di wilayah tersebut. Demikian juga pelajaran betapa kurangnya perhatian instansi terkait memeriksa kondisi situ (kekuatan konstruksi tanggul, apakah ada yang retak, pemasangan alat ukur duga muka air, dan sebagainya).

Peringatan dini

Mengingat jumlah situ yang cukup banyak di wilayah Jabodetabek dan juga dapat memberikan ancaman serupa (lokasi situ umumnya dikelilingi pemukiman padat), maka kebutuhan sebuah sistem peringatan dini keselamatan situ merupakan hal yang mendesak saat ini.

Sistem pemantauan langsung menggunakan radar cuaca dan pengukur perubahan tinggi muka air dapat dijadikan sistem peringatan dini keselamatan situ di wilayah Jabodetabek.

Dengan radar cuaca dapat diketahui fenomena cuaca ekstrem (dalam hal ini curah hujan tinggi dengan durasi lama yang terjadi pada suatu situ) yang berpotensi pada bencana limpasan air (overtopping) dan jebolnya tanggul penyangga. Pengukur ketinggian muka air dapat dijadikan indikator nilai kritis yang berpotensi bencana.

Namun, sebelum itu perlu segera dilakukan perhitungan kerentanan situ (dari aspek geologis kelabilan tanah yang berpotensi pada longsor); kekuatan konstruksi tanggul menahan beban air dan yang terpenting lagi apakah dalam kondisi yang baik, tidak retak? Keretakan akan memudahkan air masuk dan menyebabkan longsoran dan sebagainya) di seluruh wilayah Jabodetabek. Informasi ini dapat dijadikan rujukan untuk menghitung ambang kritis (critical threshold) sebuah situ menampung air hujan.

Mengingat fasilitas pemantauan radar cuaca saat ini sudah operasional, diharapkan instansi terkait dalam pembuatan sistem peringatan dini keselamatan situ dapat segera diwujudkan dalam waktu yang singkat, agar bencana serupa yang terjadi di Situ Gintung tidak terulang pada masa mendatang.

Fadli Syamsudin Perekayasa Madya Bidang Teknologi Kebumian dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)