Jumat, 24 April 2009

PEMERINTAH TERAPKAN SISTEM BARU PENGELOLAAN OBAT ANTIRETROVIRAL (ARV)


Pemerintah berencana menerapkan sistem baru dalam pengelolaan obat antiretroviral (ARV) untuk mendukung pengobatan infeksi virus dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS).

"Mulai 1 Juli nanti kita akan pakai sistem ’Voluntary Pooled Procurement’ atau VPP dimana ARV dibeli secara global, harganya jadi lebih murah sehingga kita bisa membeli lebih banyak. Dan ada model distribusi dan penyimpanannya yang lebih baik," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Nafsiah Mboi dalam simposium mengenai kesinambungan Antiretroviral Therapy (ART) di Jakarta.

Penerapan sistem itu diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah dalam pengadaan dan distribusi ARV yang dalam satu tahun terakhir sering dikeluhkan pengelola rumah sakit rujukan pelayanan terapi ART dan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).


Kepala Sub Direktorat AIDS dan Penyakit Menular Seksual Departemen Kesehatan Dyah Erti Mustikawati menjelaskan, sistem itu akan digunakan untuk pengadaan ARV dari dana the Global Fund.

"Sebelumnya the Global Fund hanya memberikan dana, kita yang mengelola dan melakukan pengadaan ARV. Dengan VPP nanti, kita akan menyerahkan sebagian bantuan dana untuk VPP yang akan langsung memberikan ARV, jadi beban kita lebih ringan," katanya.

Tim VPP, kata dia, juga akan memberikan asistensi kepada pemerintah dalam pembangunan sistem pengelolaan ARV baru yang lebih efisien, termasuk dalam penerapan metode penyimpanan dan distribusi ARV.

Menurut Dyah, pemerintah akan bekerja sama dengan PT Kimia Farma untuk menerima, menyimpan dan mendistribusikan ARV yang didapat dari tim VPP the Global Fund.

"Jadi nanti hanya ada satu pintu, karena selama ini pengadaan ARV dengan dana APBN juga dilakukan PT Kimia Farma," katanya.

Ia menjelaskan pula bahwa untuk mendukung kesinambungan terapi ARV bagi ODHA pihaknya mengusulkan agar penetapan alokasi dana untuk pengadaan ARV dipisahkan dari keseluruhan pengadaan obat program supaya prosesnya lebih cepat.

Dyah menambahkan, alokasi dana untuk pengadaan ARV tahun 2009 total Rp61 miliar dimana Rp39 miliar diantaranya berasal dari APBN dan sisanya dari bantuan the Global Fund. Pengalokasian dana tersebut disesuaikan dengan perhitungan jumlah pasien 21.000 orang di seluruh Indonesia.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pemerintah sudah berupaya menyediakan ARV secara berlanjut untuk mendukung kelangsungan pengobatan ODHA namun demikian ada beberapa hal yang mempengaruhi kesinambungan ketersediaan ARV.

"Jumlah pasien terus bertambah sehingga kebutuhan bertambah terus karena ini digunakan untuk perawatan seumur hidup pasien. Obat ARV juga masih terus berganti seiring perkembangan teknologi pembuatan obat," katanya.

Selain itu, kata dia, juga ada faktor lain seperti kepatuhan berobat, tingkat resistensi pada pengobatan, ketepatan perkiraan kebutuhan dan faktor-faktor yang berada di luar kendali departemennya.

Pemanfaatan Terapi ARV

Dyah menjelaskan, saat ini pemerintah sudah membangun 482 fasilitas konseling dan pemeriksaan (Voluntary Counselling and Testing/VCT) HIV/AIDS di 123 dari sekitar 440 kabupaten/kota.

Pelayanan terapi ARV bagi ODHA, lanjut dia, juga sudah tersedia di 122 rumah sakit rujukan dan 26 rumah sakit satelit.

Jumlah pasien HIV/AIDS yang tercatat mendapatkan perawatan hingga Maret 2009 sebanyak 38.888 orang dan 66 persen diantaranya memenuhi syarat mendapatkan terapi ART.

"Dari jumlah itu 19.579 diantaranya sudah mendapatkan terapi ARV dan saat ini 60 persennya masih menerima terapi dan 19 persennya meninggal dunia," katanya.

Sementara jumlah akumulatif kasus AIDS yang terlapor, kata dia, hingga akhir Maret 2009 sebanyak 16.964 kasus.

Kasus HIV/AIDS paling banyak ditemukan di provinsi Jawa Barat (3.162), DKI Jakarta (2.807), Jawa Timur (2.652), Papua (2.499), Bali (1.263), Kalimantan Barat (730), Jawa Tengah (573), Sumatra Utara (485), Riau (368) dan Kepulauan Riau (325)