Kamis, 25 September 2008

iNDONESIA PERLU TERAPKAN PERTANIAN ORGANIK

“Ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani, ini dampak dari pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas unggul nasional. Pemaksaan kebijakan pemerintah kepada petani sudah dimulai sejak lama pada pemerintahan orde baru,” ungkap Ir. Agus Nugroho Setiawan, M.P. dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FP UMY), saat wawancara di ruangannya, Senin (15/09/2008).

Agus menambahkan, program dari pemerintah orde baru untuk mewajibkan petani Indonesia untuk menanam padi varietas unggul ini, terkait dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang memprioritaskan pada swasembada pangan, di tahun 1984. Menurutnya, Indonesia memiliki padi asli Indonesia yang bernama javanica, karena sudah 20 tahun sejak adanya program orde baru tersebut, varietasnya sudah hilang.

Keunggulan dari padi produk asli Indonesia ini, rasanya lebih enak dibanding dengan varietas unggul yang sekarang ini sedang menjadi persoalan, kata Agus. Agus juga menambahkan, padi jenis ini (javanica) mudah sekali untuk ditanam dimana saja, karena sumber plasma nutfahnya memang alami, dan sudah sangat cocok di wilayah Indonesia yang letak geografisnya beraneka-ragam. Berbeda dengan padi-padi sekarang seperti IR 64, dan rojo lele, saat ditanam di tempat yang begitu basah tidak mau tumbuh, ujarnya. Dia menjelaskan, kelemahan dari padi asli Indonesia ini, memiliki umur tanam yang cukup lama (5-6 bulan), untuk mengejar predikat Indonesia “swasembada pangan” di waktu itu, almarhum Soeharto tidak menggunakn jenis padi ini. Kedua, javanica tidak tahan dengan hama, seperti belalang, dan wereng.

Agus memberikan komentar mengenai pola pengembangan sistem yang dilakukan oleh pemerintahan di zaman orde baru, sistem yang digunakan waktu itu sangatlah bagus, dan bertujuan langsung kepada petani seperti bimbingan masyarakat (BIMAS), intensifikasi masyarakat (IMAS), intensifikasi khusus (INSUS), dan super INSUS. Kelemahan pada sistem yang digunakan pada zaman orde baru, yaitu pemerintah saat menerapkan pola sistem tersebut tidak melihat kondisi dari si petani, maksudnya sistem pertanian yang dilakukan saat itu sangatlah tradisional, kata Agus. Alhasil, di tahun 1984 Indonesia menyandang swasembada pangan, lalu tahun 1985-1986 Indonesia sudah tidak menyandang lagi predikat tersebut, ujar Agus. Di sisi lain, pemerintah ingin meuniversalkan program tersebut, tetapi tidak melihat kondisi lingkungan Indonesia, ujarnya. Lingkungan Indonesia ada yang berbatu, banyak air, dan kurang air, hal tersebut tidak dapat diseragamkan dalam satu program penanaman, tambahnya.

Terkait dengan itu, Agus berargumen, saat ini pemerintah Indonesia sedang berusaha mengembalikan predikat Indonesia dengan swasembada pangannya. Dengan cara menciptakan berbagai padi varietas unggul, dan Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), yang harapannya memiliki umur tanam 3,5-4 bulan. Tetapi pemerintah perlu sadar, hingga sekarang petani di Indonesia masih menggunakkan sistem pertanian yang tradisional, belum memiliki pengetahuan mengenai sistem pertanian modern. Dia mencontohkan mengenai petani tradisional di Indonesia, saat menanam benih padi seharusnya dalam satu lubang ditanam benih maksimal dua, tetapi di Indonesia satu lubang ditanam 10 benih. Ini tugas dari pemerintah, pemerintah jangan hanya menciptakan suatu varietas baru, seharusnya memikirkan sistem yang akan digunakannya, hingga ke petaninya, tambahnya.

Di akhir pembicaraanya, dekan FP UMY ini memberikan wacana pembangunan pertanian yang seharusnya dipikirkan juga oleh pemerintah, yaitu pertanian organik. Pertanian organik sangat perlu diterapkan di Indonesia, karena manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh manusia, dengan kesehatan pangannya, tetapi juga memperbaiki kondisi lingkungan yaitu tanah di Indonesia. “Pengaplikasian pertanian organik tidaklah susah, segala input berasal dari alam, seperti pupuk dapat diambil dari kotoran hewan, maupun kompos”, jelasnya.(mac)

Tidak ada komentar: