Minggu, 21 September 2008

TANGAN TUHAN DI BALIK VIRUS FLU BURUNG

“Dunia kesehatan kita, beberapa tahun terakhir ini, mengalamimasalah cukup serius, terutama merebaknya beberapa penyakitseperti flu burung. Namun, kita bergembira, pemerintah cukup tanggap dan sigap mengatasinya. Untuk itu, Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari layak diacungkan jempol karena telah tampil dengan program dan langkah cepat dan tepat. Sikap tegasnya, khususnya, terhadap pihak luar yang eksploitatif, terutama terhadap virus flu burung yang kemudian dikomersilkan, patut dipuji. Buku ‘Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’ tidak hanya buku masalah kesehatan, lebih jauh buku ini menggambarkan sebuah perjuangan diplomasi untuk menciptakan sistem dunia yang lebih adil dan setara.”
Demikian Prof. DR. M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, memberikan penghargaan pada buku tulisan Menteri Kesehatan RI itu, yang tertulis di bagian luar sampul belakang.Sejak terbitnya, buku itu menjadi pembicaraan di berbagai media internasional, karena dianggap “membongkar” konspirasi pihak Barat terhadap sampel virus flu burung. Diluncurkan pada Ahad, 6 Januari 2008 di Jakarta, buku ini membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Dalam bukunya ini Siti Fadilah membuka kedok World Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.
DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), Menkes yang hobi meneliti itu menulis, “Namun, ironisnya pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus flu burung pada manusia. Dan kemudian, vaksin itu dijual ke seluruh dunia, juga akan dijual ke negara kita. Tetapi, tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu saudara kita yang ada di Vietnam.“Mengapa begini? Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning, karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah menyedot minyak bumi di tanah air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo-kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain?
Demikian jugakah pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network). Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidakadilan?”Ketidakadilan yang terjadi itu ia jelaskan, “Semenjak 50 tahun lalu, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus influenza biasa (seasonal Flu) harus mengirimkan spesimen virus secara sukarela, tanpa ada yang protes. Virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Dan kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar. Di samping itu, juga diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh Negara di dunia secara komersial! Termasuk negara penderita yang mengirim virus harus membeli vaksin tersebut dengan harga yang hanya ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik.
”Perjuangan Menkes memerangi keserakahan dan ketidakadilan itu terus berlanjut. Menkes bersikap, mulai 20 Desember 2006 Indonesia tidak akan mengirimkan spesimen virus flu burung ke WHO CC lagi, selama mekanismenya masih mengikuti GISN. “Mekanisme yang sangat imperialistik ini harus diubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan, sehingga negara penderita tidak sangat dirugikan,” tutur Menkes.Mulai saat itu Menkes akan menegakkan diagnosis flu burung dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium Litbangkes, Departemen Kesehatan RI. Meski tidak diakui WHO, “saya tidak peduli,” ujar Menkes. “Saya akan buktikan, Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat yang tidak bisa didikte begitu saja. Saya merencanakan akan membuat early and rapid diagnosis dan vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dengan negara maju yang mau kerja sama dengan saya sebagai negara berdaulat. Tidak ada kata terlambat untuk memulai membangun bangsa yang bermartabat dan berdaulat.
Indonesia akan memimpin negara-negara sedang berkembang yang selama ini selalu menjadi kurban keserakahan negara-negara maju di bidang kesehatan,” jelas Menkes.Setelah berdialog dan diskusi di berbagai pertemuan hingga ke Jenewa, akhirnya perjuangan Menkes menegakkan keadilan dan mengangkat harkat kemanusiaan itu, membuahkan hasil. “Sekarang saatnya dunia berubah menjadi lebih beradab,” tuturnya.
Ahmad Syafii Maarif meresensi buku Menkes ini, “Seorang anak manusia Indonesia bernama Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan RI telah melakukan perlawanan sengit terhadap ketidakadilan WHO dan pihak-pihak lain yang terkait dalam penanganan vaksin virus flu burung, tidak saja untuk kepentingan Indonesia, tetapi kemanusiaan secara keseluruhan. Buku ini membeberkan secara berani tetapi jujur bagaimana proses perlawanan itu berlangsung, sehingga Indonesia pada akhirnya menang.”l au

Tidak ada komentar: