Jumat, 24 Juni 2011

MENGENANG “PEMBESAR” MUHAMMADIYAH HR MOHAMMAD SAID























Oleh: Shohibul Anshor Siregar

”.....sebaiknya tangisilah diri sendiri karena tidak mempunyai jasa sebesar almarhum HR Mohammad Said” (HAMKA, 1939)


Tanggal 25 Nopember 1927. Pada sebuah tempat di Jalan Nagapatam Nomor 44 Kampung Keling, Medan. Biasanya di sana berlangsung pengajian rutin. Tetapi kali ini berubah agenda menjadi rapat pembentukan organisasi Muhammadiyah. Pemimpin pertemuan bernama Hr Mohammad Said. Ia seorang cendekiawan dan aktivis politik (Sarikat Islam Pematangsiantar). Hr Mohammad Said juga dikenal sebagai pemimpin sebuah surat kabar (Pewarta Deli). Sebelum maupun sesudah pendirian Muhammadiyah Sumatera Timur, beliau sudah kerap mewartakan organisasi ini kepada pembacanya.

Jika terdapat jama’ah yang berbilang, tentulah pengurus Muhammadiyah yang diputuskan saat itu tak cuma belasan orang: Hr Mohammad Said (Ketua), Djuin St Penghulu (Wakil), Maspono (Sekreraris), Pangulu Manan (Wakil), dan seorang advisor bernama Tandjung Moehammad Arief . Selain itu kepengurusan dilengkapi 5 anggota: Kongo St Maradjo, Hasan St Batuah, Awan St Saripado, H Su’ip, dan Sutan Berahim.

Tempat pertemuan itu kini sudah berubah nama menjadi Jalan Kediri. Setelah berlalu 83 tahun, di antara pembaca mungkin ada yang berfikir: ”tidakkah diperlukan merenovasi gedung pertemuan itu menjadi monumen penting dengan peruntukan kegiatan dakwah?” Patutlah direkomendasikan untuk Musywil XI mendatang.



Mengembangkan Sayap pada Masa Sulit. HR Mohammad Said memimpin pengembangan Muhammadiyah dengan titik awal di sebuah kota terpenting (Medan). Setelah itu tercatatlah pertumbuhan cukup menggembirakan di berbagai kota dan pelosok lainnya. Dalam tulisan singkat ini hanya akan disebut beberapa tempat dan waktu. Karena keterbatasan tidak mungkin menguraikan keseluruhan.

Di Sumatera Barat telah lebih dahulu berdiri (1925). Diperkirakan beberapa tempat di Tapanuli juga lebih dahulu mengenal Muhammadiyah. Dalam beberapa catatan terpercaya, malah para pendatang dari Sumatera Barat telah memperkenalkan Muhammadiyah sambil menjalankan aktivitasnya berdagang atau kegiatan intelektual lainnya, bahkan sebelum tahun 1927 di daerah-daerah yang mereka datangi, termasuk wilayah-wilayah sekitar perkebunan di Sumatera Timur.

Dalam Seminar Sejarah Muhammadiyah Sumatera Utara (1990) Ketua PDM Tapanuli Selatan almarhum H Ruhum Harahap menuturkan Muhammadiyah di daerahnya merupakan pengembangan langsung dari Sumatera Barat, dan secara resmi berdiri di Padangsidimpuan tahun 1930, disusul kemudian di Sipirok. Dari data yang dihimpun HM Nur Rizali ditemukan beberapa catatan sejarah perkembangan dengan pola tertentu. Setelah berdiri di Sumatera Timur (1927) maka pada tahun yang sama berdiri pula di Tebing Tinggi dan Kisaran.

Rupanya jarak antara satu dan lain tempat tidak selalu memudahkan pengembangan. Ini terlihat dari fakta bahwa meskipun Medan dengan Binjai atau Belawan begitu dekat, tetapi justru di kedua kota itu Muhammadiyah barulah berdiri resmi beberapa tahun kemudian. Tercatat bahwa di Binjai Muhammadiyah berdiri tahun 1930, bersamaan tahun dengan pendirian di Pematangsiantar dan Tanjungbalai. Sedangkan di kota Belawan pada tahun 1933, bersamaan tahun dengan pendirian di kota Rantauprapat dan Gunungsitoli (Pulau Nias).

Tanah Karo sudah lama diangap penting bagi para missionaris. Pada saat Muhammadiyah berdiri di sana (1936), beberapa gereja sudah berdiri sebagai hasil pekerjaan para missionaris itu. Begitu pun di Kota Berandan baru berdiri tahun 1939, sedangkan pada tahun itu di tempat terpencil di pedalaman Tapanuli Utara seperti Sirihit-rihit, Aekbotik, Janji Angkola dan Sibulan-bulan sudah berdiri Madrasah.

Peserta Seminar Sejarah Muhammadiyah (1990) sepakat akan pentingnya penulisan sejarah Muhammadiyah Sumatera Utara secara serius. HM Nur Rizali telah memulainya dengan penulisan karya rintisan berjudul ”Sejarah Hidup Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Sumatera Utara dan Perkembangan Cabang-cabangnya”, yang diterbitkan DPD IMM (2000). Penulisan sejarah ini pun patut direkomendasikan kepada Musywil XI.

Tokoh Luar Biasa. Dalam kondisi kekinian, kira-kira beranikah kita melamar Muktamar Muhammadiyah berikut di Kota Medan atau di kota lain di Sumatera Utara? Berani, dan kita pasti mampu. Itulah mungkin jawaban optimistik dari sebagian pembaca. Tetapi, bayangkanlah, saat baru berusia 12 tahun, begitu berani menjadi tuan rumah Muktamar. Bayangkan lagi, saat itu Indonesia belum merdeka. Sebenarnya Muktamar ke 28 tahun 1939 di Medan adalah hasil pinangan ketiga setelah pinangan resmi yang diajukan pada Muktamar 25 (Betawi), Muktamar 26 (Yogjakarta) dan Muktamar ke 27 (Malang). Jumlah pengunjung yang tak kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) orang pada Muktamar ke 28 ini cukup melukiskan besarnya perhelatan tersebut. HR Mohammad Said memang orang besar.

Semua data ini dicatat pada Majalah Soeara Moehammadijah Nomor 4 Tahun 1939. Ngomong-ngomong, berapa banyak warga Muhammadiyah Sumatera Utara yang berlangganan Majalah Suara Muhammadiyah sampai kini? Mungkin, ini juga perlu menjadi rekomendasi untuk Musywil XI Januari mendatang.

HR Mohammad Said wafat tanggal 22 Desember 1939. HAMKA menceritakan perihal wafatnya tokoh besar ini dengan rinci. Tentang jumlah pelayat yang demikian besar, tentang pemberitaan media yang melukiskan perasaan kehilangan. Tetapi ada yang amat menarik, bahwa saat menyaksikan deraian air mata jama’ah yang menangisi kepergian almarhum HR Mohammad Said, dengan amat tegas HAMKA berkata:

”Apa yang kita tangiskan tuan-tuan? Siapa yang kita tangisi? Padahal almarhum yang kita cintai ini wafat meninggalkan jasa yang amat besar. Kalau hendak menangis juga, sebaiknya tangisilah diri sendiri karena tidak mempunyai jasa sebesar almarhum HR Mohammad Said”.