Kamis, 12 Februari 2009

HEPATITIS BISA DISEMBUHKAN

Jakarta - Penyakit hepatitis C bisa disembuhkan jika dilakukan diterapi sejak dini. Sayangnya, banyak pasien baru berobat ketika penyakitnya sudah menahun dan mengalami komplikasi sehingga akan mengalami penurunan kinerja, produktivitas, dan kemampuan bekerja.

”Hepatitis C bisa disembuhkan bila diterapi sejak dini. Karena itu, diagnosis dini sangat penting dilakukan,” kata Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan Prof Ali Sulaeman, Rabu (11/2) di Jakarta.

Menurut ahli hati dari Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Prof Laurentius A Lesmana, terapi hepatitis C kronik (menahun) dapat mencegah progresi ke arah sirosis dan kanker hati.

Pada hepatitis C, sekitar 20 persen akan sembuh sendiri. Sebanyak 80 persen mengalami infeksi kronik yang dalam 15-20 tahun berkembang menjadi sirosis hati. Dari mereka itu, 75 persen menderita sirosis ringan, 20 persen sirosis berat, dan sisanya menjadi kanker hati.

Meski telah didiagnosis terserang hepatitis, pasien tidak perlu takut. Dengan pengobatan teratur meski cukup lama, 1-6 tahun, virus pada pasien bisa dinyatakan negatif. Bagi penderita dengan kemampuan ekonomi lemah yang tidak dijamin asuransi bisa memilih interferon standar. Obat ini efektif digunakan bagi penderita bila diberikan sejak dini.

Dengan berkembangnya penatalaksanaan hepatitis C, kini kesempatan pasien untuk sembuh meningkat. Pegylated interferon dan ribavirin merupakan baku emas terapi hepatitis C kronik. ”Sayangnya, biaya terapi masih mahal atau enam kali dibandingkan dengan interferon standar,” katanya.

Terapi ini diberikan untuk menekan jumlah virus di dalam tubuh seminimal mungkin. Bila dalam enam bulan tanpa terapi ternyata virus itu negatif atau tidak terdeteksi lagi, penderita dinyatakan mendapat respons permanen. Namun, terapi ini menimbulkan efek samping seperti nafsu makan turun dan tidak bugar.

Oleh karena itu, terapi baru diberikan bila nilai SGOT/SGPT atau kadar enzim hati dua kali di atas normal, terjadi replikasi virus aktif, dan hasil biopsi menunjukkan ada peradangan hati. Agar tidak mengalami komplikasi, tes darah hepatitis C perlu dilakukan secara rutin.

Tingkat keberhasilan

Lesmana menjelaskan, efektivitas terapi hepatitis C dipengaruhi tipe virus, jumlah virus, dan lama infeksi. Tipe 1 dan 4 lebih sulit dieradikasi dibandingkan dengan tipe 2 dan 3. ”Di Indonesia kasus infeksi virus tipe 1 paling banyak ditemukan,” ujarnya.

Lama infeksi juga memengaruhi tingkat keberhasilan terapi. Semakin muda usia penderita, maka respons terhadap terapi kian baik. ”Kebiasaan mengonsumsi alkohol dan infeksi HIV juga mempercepat perkembangan penyakit itu menjadi sirosis hati,” kata Lesmana menambahkan.

Narkoba

Sejauh ini, di Indonesia diperkirakan 2-4 persen dari total jumlah penduduk menderita hepatitis C atau berkisar 7-8 juta orang. ”Dengan meningkatnya jumlah pengguna narkoba, jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat. Pengguna narkoba lebih berisiko terkena hepatitis C dibandingkan dengan HIV,” ujar Ali.

Hasil pendataan hepatitis C tahap pertama oleh Departemen Kesehatan terkumpul 5.870 kasus hepatitis C di 11 provinsi yang menjadi proyek percontohan. Dari pendataan itu diketahui, kasus hepatitis C terbanyak pada usia 30-59 tahun dengan puncak pada umur 30-39 tahun yang berjumlah 1.980 kasus.

Hepatitis C menular lewat darah dan cairan tubuh manusia antara lain berhubungan seksual dengan penderita hepatitis tanpa pengaman, transfusi darah, suntikan, alat tato atau tindik yang tercemar virus. ”Mereka yang berisiko tinggi terinfeksi di antaranya pengguna narkoba suntik, penerima transfusi darah, pekerja kesehatan, orang yang ditindik, berhubungan intim dengan pasangan terinfeksi tanpa pengaman,” kata Lesmana.

Diperkirakan 60-80 persen hepatitis C berkembang menjadi hepatitis kronis. ”Banyak orang tidak tahu dirinya terkena virus hepatitis C karena biasanya tanpa disertai gejala. Akibatnya, banyak penderita terlambat berobat sehingga penyakitnya kronis dan sudah terjadi sirosis hati,” ujarnya.

Apabila mengalami sirosis ringan, biaya perawatan per tahun Rp 30 juta per orang. Jika terkena sirosis berat dan tidak ditransplantasi, biaya per tahun Rp 60 juta per orang. Jadi, beban ekonomi akibat komplikasi penyakit hepatitis C sangat tinggi baik bagi negara maupun individu.

Oleh karena itu, Ali mengingatkan pentingnya ketersediaan layanan dalam pengobatan hepatitis C. Hal ini disertai peningkatan edukasi kepada masyarakat mengenai hepatitis C baik cara pencegahan dan pengobatannya. ”Tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh masih rendah,” ujarnya. (EVYKPS)

Tidak ada komentar: