"How can I look at my grandchildren in their eyes, and tell them that I knew it
but never do anything..." [Sir David Attenborough, British Naturalist]
Di penghujung abad ke-19, para ilmuwan mulai menyadari bahwa beberapa gas di atmosfer menyebabkan efek Gas Rumah Kaca (GRK), yang mempengaruhi temperatur bumi. Adalah Svante Arrhenius, peraih Nobel Kimia tahun 1903 yang pertama kali memperkirakan bahwa emisi gas karbon dioksida yang dihasilkan manusia suatu saat akan menyebabkan pemanasan global.1 Ia mungkin tidak pernah menyangka bahwa lebih dari 10 dekade kemudian prediksinya begitu serupa dengan data yang dilaporkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), bahwa temperatur permukaan bumi meningkat rata-rata sebesar 0.74 ± 0.18°C <(1.33 ± 0.32°F) dalam kurun 100 tahun hingga 2005, dan diproyeksikan terus meningkat 1.4 - 5.8° C pada tahun 2100. IPCC menyimpulkan bahwa hal ini "kemungkinan besar" disebabkan oleh peningkatan konsentrasi emisi gas buatan manusia.2 Seperti kita ketahui bersama, lembaga ini kemudian dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian bersama dengan Albert Arnold (Al) Gore Jr., tepat setahun yang lalu, atas kontribusinya dalam menyebarluaskan informasi dan menginisiasi berbagai upaya penanggulangan pemanasan global.
Sejauh apakah realita ancaman pemanasan global yang kita hadapi saat ini? Mari kita tengok sejenak beberapa fenomena berikut. Data IPCC tentang kenaikan temperatur bumi rata-rata yang "hanya" kurang dari 1°C janganlah membuat kita terlena, karena kisaran kenaikan temperatur sesungguhnya bisa dari 0.5°C di ekuator (yang mungkin tidak terasa perbedaannya) hingga 12°C di artik yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara (Gb. 1), dan meningkatnya permukaan air laut.3
Al Gore mendokumentasikan dengan jelas dalam bukunya, betapa area di Puncak Kilimanjaro yang dahulu tertutup salju kini kian menyusut, juga menghilangnya dataran lapisan es (glacier) di berbagai belahan bumi dari Alpen di Eropa sampai Patagonia di Argentina, seiring dengan tercatatnya tahun 2005 sebagai tahun dengan temperatur tertinggi yang terjadi pada lebih dari 200 kota di dunia. Rekor baru juga tercatat, ketika 10 episode angin puting beliung hebat melanda Jepang pada tahun 2004, sebagai yang terbanyak dalam sejarah negeri sakura itu.4 Di sisi lain, Monnin dkk dalam publikasinya di Jurnal Science mencatat kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar lebih dari 76 part per million (ppm) menjadi lebih dari 300 ppm sejak pra hingga pasca era industri, serta mengindikasikan adanya korelasi erat antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan kenaikan temperatur bumi.5 Amerika Serikat, negara pengkonsumsi energi terbesar, menghasilkan lebih dari 30% emisi gas CO2 dunia, melebihi total emisi yang dihasilkan oleh gabungan Cina, India, Jepang dan seluruh negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Australia (Gb. 2).4, 6
Kini, saat penggunaan ilmu dan teknologi makin berkembang dalam mendokumentasikan fenomena perubahan alam serta mencari penyebabnya secara akurat, rasionalkah kiranya ketika beberapa ilmuwan secara individu masih skeptis dan menyanggah fakta pemanasan global akibat emisi gas buatan manusia (human-made global warming), dengan argumen bahwa ini terjadi akibat faktor alamiah/natural semata? Lalu masih ada pula yang menyoroti ancaman pemanasan global ini sebagai isu yang terlalu berlebihan dan lebih banyak mengandung unsur politis dan ekonomi, berkaitan dengan konsekuensi keharusan untuk mencari potensi energi baru, kekhawatiran akan efek ketidakstabilan ekonomi di negara maju dan tendensi pemerataan kekuatan ekonomi ke negara-negara dunia ketiga.7
Memang benar bahwa kenaikan konsentrasi CO2 dan GRK lain di atmosfer dapat terjadi secara alamiah, misalnya dari erupsi gunung berapi yang melepaskan sekitar 130-200 juta ton CO2 per tahun. Namun pada kenyataannya, pasca revolusi industri emisi CO2 yang dihasilkan manusia mencapai 27-30 milyar ton per tahun, lebih dari 130 kali lipat dibandingkan emisi dari gunung berapi.8
Selain itu, saat ini lebih dari 30 institusi sains internasional telah sepakat dengan konsensus pemanasan global akibat emisi gas buatan manusia serta meyakini dampaknya terhadap perubahan iklim yang mengancam masa depan bumi. Berbagai realita ini menunjukkan bahwa sudah saatnya kita meninggalkan perdebatan politik soal nyata-tidaknya pemanasan global akibat emisi gas buatan manusia, dan beralih pada langkah apa yang harus dilakukan bersama untuk mengatasinya.
Upaya apa yang dapat dilakukan? Secara formal, lebih dari 180 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto dalam upaya menurunkan produksi GRK sebesar 5.2% (dari produksi tahun 1990) pada tahun 2012 mendatang, termasuk Australia yang akhirnya menyerahkan dokumen persetujuan pada UN Climate Change Conference di Bali akhir tahun lalu, meninggalkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara yang belum meratifikasi.9 Alternatif sumber energi baru pengganti minyak bumi dengan emisi CO2 rendah harus terus dikembangkan, seperti tenaga nuklir, hydropower, biomass, angin dan geothermal.10 Anggapan bahwa negara industri maju harus selalu memilih antara ekonomi dan lingkungan sudah saatnya ditinggalkan, karena dengan analisis ekonomi yang cermat, investasi penggunaan teknologi ramah lingkungan sesungguhnya akan berjalan linier dengan keuntungan yang optimal, seperti dikemukakan oleh Jeffrey Immelt, chairman dan CEO General Electric.4
Bagaimana dengan negara kita Indonesia, penghasil emisi GRK terbanyak ke-4 di Asia setelah Cina, India dan Jepang? Indartono dan Rudy secara terpisah dalam tulisan mereka di Inovasi edisi kali ini menyoroti kesungguhan Indonesia dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil dengan Kebijakan Energi Nasional, meski harus diakui belum didukung oleh perangkat hukum lokal yang mengikat daerah di era desentralisasi.11, 12 Terbentuknya Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dipimpin langsung oleh Presiden RI pada bulan Juli lalu diharapkan juga dapat mewujudkan komitmen pemerintah dalam menangani masalah ini.13
Secara individu, kita pun dapat berpartisipasi, mengikuti slogan "consume less, conserve more". Mari kita mulai dari rumah, dengan berhemat energi, memilih produk daur ulang, mengurangi mileage kendaraan pribadi dan beralih pada transportasi publik, serta berbagai upaya sederhana lain.
Pada akhirnya, bila semua pihak melanjutkan komitmen untuk mengurangi emisi GRK buatan manusia, rasanya cukup besar harapan untuk dapat menepis anggapan bahwa pemanasan global adalah ancaman yang tidak terhentikan. Dan di masa depan nanti, semoga anak-cucu kita tetap akan dapat menikmati indahnya planet ini, tanpa harus membuat peta dunia baru, yang berubah akibat pemanasan global dan perubahan iklim yang tak teratasi. (Oleh : Bambang Widyantoro)
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Selasa, 03 Februari 2009
PEMANASAN GLOBAL : SEBUAH ANCAMAN YANG TIDAK TERHENTIKAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar