Medan, Meningkatnya temperatur cuaca yang terjadi di Sumut hingga mencapai 35 derajat celsius belakangan ini merupakan efek dari gas rumah kaca.
Satu penyebab peningkatan itu berasal dari hasil pembakaran yang dilakukan industri. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut lebih kurang 1.278 perusahaan yang ada berpotensi menyumbang peningkatan temperatur suhu udara.
"Semua perusahaan yang ada di Sumut ini melakukan pembakaran. Pembakaran ini tentu saja menghasilkan CO2 yang sekaligus menyumbang meningkatnya suhu udara. Apalagi, jika hasil pembakarannya tidak sempurna maka akan menyulut karbon yang tinggi," jelas Kepala UPT Laboratorium BLH Sumut DR Ir Hj Wan Hidayati MSi di BLH Sumut, Senin (12/4).
Selain efek gas rumah kaca, peningkatan suhu udara juga disebabkan beberapa faktor lainnya. Termasuk transportasi, terutama kendaraan yang pembakarannya tidak sempurna sehingga menghasilkan karbon yang tinggi.
Selain itu, banyaknya titik-titik kebakaran hutan (hot spot), penumpukan sampah yang mengeluarkan gas metan, penggunaan batubara menjadi bahan bakar dan minimnya ruang terbuka hijau.
Sebagai upaya untuk mengendalikan peningkatan suhu di Sumut, maka BLH Sumut berupaya melakukan beberapa hal, seperti menyusun sistem pengelolaan sampah (Sanitary Landfiil) untuk mengantisipasi tingginya gas metan dari hasil pembakaran sampah yang terjadi.
Meminimalisir penggunaan batubara di Sumut, membina industri yang ada agar tetap mematuhi baku mutu lingkungan secara ketat sesuai dengan UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan menggenjot peningkatan ruang terbuka hijau di Sumut yang diharuskan sebanyak 30 persen dari luas wilayah. "Semua pihak harus peduli untuk mengendalikan peningkatan temperatur suhu udara ini," tegas Hidayati.
Bahkan, lanjutnya, pemilik kendaraan juga harus peduli merawat mesinnya sehingga mesin kendaraan dapat melakukan pemanasan yang sempurna dan tidak menyumbang karbon.
Di tempat yang sama, Plh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut H Erwin Hidayah Hasibuan SH MHum, menyebutkan sebenarnya dalam Undang-Undang No 32 tahun 2009 itu sudah dijelaskan secara tegas bahwa setiap industri harus mengimplementasikan baku mutu yang ada.
Monitoring
BLH Sumut sendiri setiap tahun tetap melakukan monitoring terhadap sistem pembakaran yang dilakukan dari cerobong industri. "Jika ada perusahaan yang tidak melakukannya sesuai baku mutu maka sanksinya bagi si pencemar adalah pidana, perdata dan administrasi," tegas Erwin.
Begitupun, diakui Erwin, sejauh ini undang-undang tersebut belum efektif menjerat industri yang tidak mengimplementasikan baku mutu.
"Undang-Undangnya baru diberlakukan Oktober 2009, maka baru Oktober 2010 ini bisa efektif. Makanya hingga sekarang belum ada perusahaan yang diseret ke pengadilan," terang Erwin. Namun, di tahun 2002, ada satu perusahaan yang sudah diberi sanksi pidana karena melanggar baku mutu.
Tak hanya itu, Erwin juga mengingatkan, upaya lainnya untuk mengendalikan suhu udara di Sumut, ke depan sebaiknya tidak lagi melakukan konversi lahan. Sebab, jika hal itu dilakukan akan merusak struktur ekosistem yang ada.
"Jangan lagi melakukan konversi dari hutan mangrove menjadi kebun sawit. Kondisi ini merusak ekosistem yang ada," tegas Erwin. Apalagi, prinsip lingkungan adalah perlunya keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. (mc/ans)
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Selasa, 13 April 2010
1.278 Perusahaan di Sumut Penyumbang Peningkatan Suhu Udara
Label:
Info Lingkungan