Kamis, 22 April 2010

Masalah Gizi sebagai Isu Kampanye (Sumbangan Pikiran kepada Calon Walikota-Wakil Walikota Medan)


Oleh : Dr. Albiner Siagian
Tak lama lagi kita akan memasuki masa kampanye pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan. Kampanye ini amat penting, karena melaluinyalah para calon mengenalkan dirinya dan memberitahukan apa yang akan dilakukannya kelak jika terpilih. Melalui kampanye pulalah sebagian pemilih menetapkan pilihannya.

Dari beberapa poster, spanduk, atau baliho calon walikota-wakil walikota terkesan bahwa tema yang diusung para calon kurang lebih sama, yaitu seputar peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini sangatlah normatif dan tertuju kepada semua orang. Kalau begini terus, boleh jadi para calon tidak memiliki segmen bagi sasaran kampanye. Akibatnya adalah kampanye tidak efektif dan pemilih bingung menentukan calon pilihannya.

Karenanya, saatnya para tim sukses memilih topik kampanye yang menyentuh alias menggugah rasa. Salah satu isu kampanye yang mungkin luput dari perhatian tetapi tak kalah menyentuhnya adalah masalah kurang gizi pada balita.

Saat ini, salah satu masalah utama bangsa yang memerlukan perhatian yang amat serius adalah tingginya angka kurang gizi pada balita. Angka ini mencerminkan secara tepat jumlah keluarga yang mengalami kekurangan pangan. Sebagai gambaran, sejak tahun 1998 hampir tidak terjadi penurunan angka gizi buruk pada balita. Saat ini, diperkirakan 1,5 juta (8 persen) balita menderita gizi buruk. Kalau itu ditambah dengan angka gizi kurang, 5 juta (27 persen) balita mengalami kekurangan gizi. Selain itu, hampir 50 persen keluarga mengalami defisit energi dan protein. Ini berarti bahwa separuh keluarga di Indonesia tidak dapat makan sampai ‘kenyang’. Mengenaskan!

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 mengungkapkan bahwa dari setiap 100 balita ada sekitar 5 orang (4,4 persen) yang menderita gizi buruk di Kota Medan. Jika angka ini ditambah dengan jumlah balita penderita gizi kurang (12,6 persen) maka ada sekitar 17 persen balita mengalami kekurangan gizi.

Menurut data pada tahun 2007, jumlah penduduk Kota Medan adalah 2.083.156 jiwa. Dari angka tersebut, jumlah balita adalah sekitar 200.000 jiwa. Dengan prevalensi kekurangan gizi sebesar 17 persen, maka ada kira-kira 34.000 balita yang mengalami kekurangan gizi pada berbagai tingkatan di Kota Medan.

Balita Kurangi Gizi

Umumnya balita kurang gizi berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Artinya, mereka tidak begitu paham, atau lebih tepatnya, tidak tertarik dengan isu demokratisasi, supremasi hukum, reformasi birokrasi, Medan menuju megapolitan, menuju perubahan, apalagi penegakan hak asasi manusia. Mereka juga tidak mengerti good governance. Yang mereka tahu adalah mereka lapar. Karenanya, mereka harus ditolong.

Mereka adalah sasaran kampanye yang potensial. Kalau kita menggunakan angka kurang gizi pada balita sebagai patokan, dengan anggapan bahwa satu orang balita mewakili lima orang pemilih (2 orang tua dan 3 orang kerabat lain), maka terdapat sekitar 170.000 calon pemilih yang potensial menjadi sasaran kampanye. Ini hampir 10 persen dari keseluruhan pemilih di Kota Medan. Kalau saja salah satu pasangan calon walikota-wakil walikota mampu merebut setengah dari kelompok ini, peluang memperoleh kursi walikota dan wakil walikota akan terbuka lebar.

Masalah gizi, terutama gizi buruk pada balita, adalah masalah yang harus ditangani segera. Itu memerlukan kebijakan jangka pendek. Balita kurang gizi tidak harus menunggu keadaan ekonomi membaik untuk mendapatkan pangan yang cukup. Yang diperlukan adalah tindakan nyata. Mereka harus diberi makan. Mereka harus memperoleh haknya yang paling asasi.

Secara ekonomi, balita kurang gizi akan membebani perekonomian negara. Penelitian yang dilakukan oleh Konig dari F.Hoffmann-La Roche di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, pada tahun 1991, mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara prevalensi kurang gizi dengan produk domestik bruto (PDB) yang hilang. Dengan prevalensi gizi kurang sebesar 14,0 persen pada tahun 1991, Indonesia mengalami kerugian karena kurang gizi sebesar 7,156 triliun rupiah. PDB yang hilang sebesar 6 persen, sementara biaya kesehatan bertambah sebesar 2,148 triliun rupiah

Kalau kita menggunakan angka prevalensi kurang gizi saat ini, taksiran kasar besar kerugian negara akibat kekurangan gizi adalah Rp133 triliun.

Ini memang perkiraan angka nasional. Akan tetapi, kalau kita hitung-hitung secara proporsional, tidak sedikit kerugian yang akan dialami Kota Medan sebagai akibat dari kurang gizi tersebut. Oleh karena itu, saya berharap kepada Walikota Medan, siapapun yang nantinya akan terpilih, jangan pelit mengeluarkan uang untuk masalah yang satu ini. Terlalu mahal biaya yang harus kita tanggung kelak untuk satu orang balita yang menderita gizi buruk.

Kebijakan jangka pendek lain yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan derajat kesehatan rakyat. Kebijakan harus difokuskan pada keluarga yang derajat kesehatannya buruk, terutama keluarga yang memiliki balita kurang gizi. Dengan berbagai cara pemimpin Kota Medan mendatang harus meningkatkan daya jangkau mereka ke pelayanan kesehatan.

Pada tahun 1990, UNICEF telah mengonstruksi suatu pohon masalah (problem tree) yang menggambarkan kaitan berbagai faktor penyebab kurang gizi di negara-negara berkembang. Kalau kita anggap gizi kurang sebagai buah pohon tersebut, maka asupan pangan dan derajat kesehatan yang rendah adalah rantingnya (penyebab langsung). Sementara itu, batang (penyebab antara), antara lain, adalah gabungan dari rendahnya daya jangkau ke pangan dan layanan kesehatan, serta rendahnya tingkat pendidikan anggota keluarga. Struktur ekonomi, politik, ideologi, dan strategi pemanfaatan sumber daya potensial adalah akarnya (akar masalah).

Karena yang dihasilkan adalah buah yang pahit yang kita tidak inginkan, maka cara yang paling tepat untuk dilakukan adalah secepat mungkin memotong ranting yang padanya buah tersebut bergelantung. Oleh karena itu, pada jangka pendek, kata kunci yang perlu dicatat adalah peningkatan daya jangkau ke pangan dan layanan kesehatan.

Pada jangka menengah pemerintah yang akan datang harus memperbaiki infrastruktur yang berkaitan dengan pengadaan pangan (sistem pangan dan gizi) dan pelayanan kesehatan. Hal ini, tentunya, harus didukung oleh kebijakan yang dapat menciptakan suasana yang aman, serta mendorong keadaan perpolitikan dan perekonomian yang kondusif.

Pemimpin daerah ini tidak boleh membiarkan rakyatnya membesarkan anak-anak mereka hanya untuk menjadi calon kuli bagi bangsa lain, bahkan kuli di negara sendiri. (Ingat era global yang sudah kita masuki!). Hembusan ‘angin surga’ peningkatan kesejahteran rakyat tanpa upaya yang jelas dan terukur hanya akan membuat rakyat mengantuk, bosan. Karenanya, pilihlah isu dan sasaran kampanye yang tepat. Dan, jangan lupa, keterwakilan suara pemilih adalah sama siapa pun orangnya, termasuk dari keluarga yang kurang gizi tadi.***(ans)

Penulis Pengajar Pascasarjana IKM USU. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Penulis Kesehatan Masyarakat.