Minggu, 11 April 2010

Perlu Sinergi Semua Kalangan untuk Menguatkan Perempuan


Sebenarnya, keberadaan dan gerakan perempuan punya andil besar pada perjalanan bangsa ini, sayangnya kurang diakui dalam penulisan sejarah Indonesia. Padahal gerakan perempuan tidak pernah lelah ikut berjuang, termasuk dalam era reformasi. Siapa pun tidak bisa mengabaikan peran seperti gerakan Suara Ibu Peduli.

Sebelumnya, pada pertengahan 1980-an sudah muncul lembaga Yasanti di Yogyakarta dan Kalyanamitra di Jakarta yang konsisten mengkritik kebijakan orde baru yang meminggirkan perempuan. Sayang, setelah reformasi, yang muncul adalah wajah-wajah dari rezim lama yang sama sekali tidak reformis yang ikut melanggengkan kebijakan yang tidak ramah perempuan.

Isunya tidak terlampau jauh beranjak. Tetapi yang menguat pada dasawarsa terakhir adalah kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai tipologinya. Misalnya dalam catatan Komnas Perempuan, kasus KDRT semakin naik grafiknya. Hal ini dimungkinkan karena sudah ada UU KDRT, atau perempuan sekarang sudah relatif berani mengungkapkan perasaannya, atau memang tingkat kekerasannya semakin tinggi. Lalu kekerasan di wilayah konflik, baik berlatar politik, etnik, meupun agama. Juga ada kekerasan berbasis akses pada sumber daya alam. Dalam kasus ini perempuan dipinggirkan oleh investor yang menguasai akses sumber daya alam. Kemudian kekerasan akibat migrasi, terutama yang dialami oleh para tenaga kerja wanita.

Angin segar berhembus bagi kaum perempuan, adanya aturan kuota 30persen dalam rekruitmen politik memang patut disambut gembira. Namun, kecenderungannya hal itu baru sebatas kebijakan di atas kertas. Implementasinya masih agak jauh. Misalnya, seorang perempuan aktivis partai, sekalipun ia sudah mengabdi habis-habisan di partainya, pada penetapan caleg dia tetap saja ditempatkan di ranking bawah.

Jadi, kebijakan yang baik pada tingkat undang-undang itu pada implementasinya di partai masing-masing masih belum sesuai. Ada kecenderungan partai-partai itu sekedar memenuhi kuota 30 persen. Belum ada jaminan bahwa partai dan politisi perempuan yang direkrutnya itu memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan.

Pada tataran kebijakan, ada beberapa prestasi yang layak disebut. Misalnya kehadiran Komnas Perempuan, sebagai anak sulung reformasi. Lalu ada UU KDRT, UU Perlindungan Trafficking, UU HAM. Di tingkat akar rumput juga ada perspektif keadilan jender, misalnya sekarang secara umum masyarakat memandang bahwa tindakan poligami itu negatif.

Karena tidak ada isu yang menyatukan. Kalau ada isu yang merekatkan dan menyatukan, misalnya pada kasus RUU Pornografi, persoalan personal di antara aktivis perempuan bisa disingkirkan. Jadi, para aktivis perempuan itu memang harus menciptakan isu yang dapat menyatukan, sekalipun pada implementasi gerakannya mungkin akan berbeda-beda.

Penguatan Perempuan

Seperti disampaikan Staff Diklat CU Persada Perempuan sebagai salah satu bagian dari Yayasan Sada Ahmo di Dairi, Rouli Manurung, gerakan yang dilakukan untuk penguatan perempuan cenderung pada gerakan kebudayaan karena sifatnya yang mendorong tumbuhnya civil society. Gerakan semacam ini lebih berurusan dengan hati, mendorong kesadaran dan tidak ada paksaan. Setelah kesadaran itu muncul lewat pendekatan yang intensif, maka akan muncul kekuatan civil societyyang nantinya akan menghasilkan kekuatan politik pula.

"Sebenarnya, pembangunan berwawasan gender dimaksudkan untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita atau mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan," paparnya.

Sada Ahmo, lanjut Rouli Manurung berarti satu persaudaraan. Sebelum mencalonkan diri untuk maju pada Pemilu 2009 lalu, kegiatan yang dilakukan Rouli dalam upaya memberdayakan perempuan, dimana dalam pelaksanaannya dilapangan Rouli lebih menekankan penguatan perempuan. "Berdasarkan pantauan di Dairi dan Pakpak Bharat, ada banyak perempuan yang perlu dikuatkan dan diberdayakan untuk ikut berperan dalam banyak hal," paparnya.

Salah satu bentuk penguatan yang dilakukan adalah dengan mengedukasi mereka tentang banyak hal mulai dari pemenuhan gizi dalam rumah tangga, tentang pentingnya ASI bagi pertumbuhan anak dan beberapa bekal keterampilan seperti bertani dan sektor usaha lainnya.

"Penguatan yang kita lakukan pada awalnya adalah memebrikan mereka pinjaman untuk membuka usaha atau menambah modal usaha untuk lebih baik lagi. Lambat laun, upaya itu mendapat sambutan positif dan perempuan di beberapa daerah seperti di Pakpak Bharat sudah banyak yang menikmati hasilnya," tandas ibu dari 2 anak ini.

Adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa kedudukan perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki. Perbedaan pendapat ini, kata Rouli perlahan diarahkan ke berbagai hal yang menjadikan pemikiran perempuan hanya sebagai orang nomor dua mulai pupus. Perempuan dan ibu-ibu juga sudah mulai dilibatkan dalam rapat-rapat di Balai Desa, padahal sebelumnya ibu-ibu tak pernah ikut berpartisipasi dalam rapat.

Selain menguatkan perempuan untuk ikut serta dalam mensejahterakan keluarga, tandas Rouli, Sada Ahmo juga peduli dengan pendidikan anak-anak di beberapa desa di Pakpak Bharat.

Tak heran kalau sampai hari ini sudah ada sekitar 5 Taman Bina Asuh Anak (TBAA) yang setara dengan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Dalam hal ini, Sada Ahmo jemput bola sampai ke rumah-rumah utuk mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi perkembangan anak memasuki usia sekolah.

"Ada perkembangan kalau sampai hari ini minat dan kesadaran orangtua untuk memasukkan anaknya ke TBAA sudah mulai membaik," paparnya.

Ini semua dilakukan untuk memberikan pendidikan gender dan pendidikan politik bagi kaum perempuan di pedesaan. Perempuan juga punya potensi dan potensi itu harus digali sedemikian rupa sampai menunjukkan hasil. Karena, tambahnya, berdasarkan temuan di lapangan masih banyak juga ibu-ibu di beberapa desa di Pakpak Bharat yang tidak bisa baca tulis hitung alias buta aksara.

Ke depan, kata Rouli, semua elemen perlu bersinergi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kaum perempuan di Dairi dan Pakpak Bharat. Mulai dari pemberdayaan dan penguatan mereka dalam kedudukannya sebagai perempuan sekaligus ibu dalam rumah tangga serta memberikan pendidikan gender yang pada akhirnya menyadarkan mereka untuk bangkit dan ikut serta perpartisipasi dalam mengisi pembangunan.