Jumat, 23 April 2010

DISEBABKAN SARA: BURUH GALANGAN KAPAL DI BATAM MENGAMUK


Batam - Ribuan buruh galangan kapal PT Drydocks World Graha di Batam, Kepulauan Riau, mengamuk di dalam lokasi pabrik, Kamis (22/4). Aksi yang awalnya dipicu pernyataan bernada rasisme seorang pekerja ekspatriat itu ditengarai merupakan akumulasi perasaan tertindas akibat ketidakadilan yang mereka alami selama ini.

Aksi berlangsung selama sekitar dua jam, mulai pukul 08.30 WIB. Sejumlah petugas dan aparat keamanan yang berada di lokasi tidak mampu membendung aksi mereka.

Amuk massa buruh menyebabkan kantor manajemen dan gudang penyimpanan peralatan kerja rusak dan hangus terbakar. Kaca-kaca pecah. Dokumen-dokumen kantor, termasuk gambar produksi, pun musnah. Kantor pemilik tak luput dirusak pula. Sedikitnya 27 mobil dirusak, 6 di antaranya dibakar. Mobil tersebut milik perusahaan, pribadi, dan tamu.

Setelah mengamuk di dalam lingkungan perusahaan, massa bergerak ke luar dan berkumpul di gerbang masuk perusahaan. Mereka melakukan unjuk rasa spontan, dan sekitar pukul 12.00 membubarkan diri.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyesalkan kerusuhan yang terjadi di perusahaan itu. Ia segera membentuk tim pencari fakta terkait kasus tersebut.

”Kami menyesalkan kejadian ini yang disebabkan kesalahan komunikasi antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja lokal di Batam. Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing. Peristiwa itu tidak akan terjadi apabila manajemen, buruh, dan serikat buruh menjalin komunikasi yang baik,” katanya.

Kerugian

Manajer SDM PT Drydocks World Graha Baharum menyatakan, pihaknya belum menghitung jumlah kerugian. Namun, dengan sejumlah kerusakan yang terjadi serta terhentinya pengerjaan lima proyek, kerugian dipastikan triliunan rupiah.

Tak ada korban meninggal dunia dalam amuk massa itu, tetapi sedikitnya tiga buruh ekspatriat luka-luka karena menjadi sasaran massa. Seorang buruh ekspatriat lainnya juga luka akibat meloncat dari lantai tiga. Mereka dilarikan ke sebuah rumah sakit di Kota Batam.

Menurut keterangan buruh, amuk massa dipicu perkataan seorang buruh setingkat supervisor asal India berinisial B yang menyinggung perasaan. Kata-kata itu disampaikan saat B memberikan pengarahan sekitar pukul 07.30 WIB kepada sekitar 20 buruh warga negara Indonesia di bagian listrik yang akan mengerjakan kapal L 205.

”Orang itu memberikan briefing sambil marah-marah karena ada pemasangan kabel yang terlalu panjang,” kata salah seorang buruh.

Sempat terjadi kontak fisik, sampai akhirnya B dan beberapa buruh India di bagian itu lari ke kantor manajemen. Permasalahan lalu melebar menjadi aksi solidaritas semua buruh Indonesia lain di galangan kapal itu.

Setelah amuk massa mereda, para pekerja ekspatriat yang berjumlah sekitar 30 orang dievakuasi polisi ke Markas Kepolisian Kota Besar Batam-Rempang-Galang. Sebagian di antara mereka dievakuasi dari kawasan galangan kapal melalui Selat Bulang menggunakan kapal polisi air.

Kepala Kepolisian Kota Besar Batam-Rempang-Galang Komisaris Besar Leonidas Braksan menyatakan, masalah tersebut adalah masalah perselisihan yang akan diselesaikan secara hukum. B, yang untuk sementara diduga sebagai pemicu, pada Kamis malam ditetapkan sebagai tersangka. Ia dikenai Pasal 28 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pengungkapan rasa permusuhan, menjadi salah satu pasal yang mungkin menjeratnya.

Melalui Leonidas, pihak perusahaan menyatakan menjamin tidak akan ada pemecatan buruh. Perusahaan juga akan berusaha semaksimal mungkin agar operasional galangan kapal bisa pulih kembali. Namun, menurut PT Drydocks, paling cepat pemulihan galangan kapal dilakukan satu minggu.

Ketua Konsulat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kota Batam Nurhamli menilai amuk massa itu merupakan bentuk akumulasi dari penindasan yang dialami buruh. Selama ini terjadi pelanggaran-pelanggaran hak normatif buruh tanpa adanya pengawasan dan sanksi.

Hal senada dikatakan anggota DPRD Kota Batam, Udin P Sihalolo. ”Banyak pekerja asing kualitasnya sama atau bahkan lebih rendah dibanding buruh Indonesia, tetapi posisinya selalu lebih tinggi,” kata Udin.

Upah buruh dihitung per jam dan nilainya beragam. Di bagian piping, misalnya, seorang buruh mendapatkan upah Rp 6.450 per jam. Lama kerja rata-rata delapan jam per hari. Jika lembur, upah bersih yang diterimanya Rp 1,3 juta per bulan, sementara jika tanpa lembur Rp 900.000 per bulan.

”Mana mungkin bisa menabung. Untuk hidup di Batam yang ongkos hidupnya mahal saja sudah pas-pasan,” kata Andi, seorang buruh.

PT Drydocks, dengan kapasitas membangun 12 kapal per tahun, berdiri di atas lahan daratan dan hasil reklamasi seluas 57 hektar. Perusahaan ini memiliki sekitar 9.000 buruh, dan 200 di antaranya ekspatriat yang bekerja di level menengah ke atas.

Level terendah, yakni helper, sampai quality control, diisi buruh Indonesia, dan semuanya berstatus outsourcing. Hanya segelintir orang Indonesia yang bekerja di level supervisor ke atas.

Namun, Baharum menyatakan, tidak bisa kalau peristiwa itu bersumber dari ketidakadilan perusahaan. ”Selama ini kami sudah menerapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” katanya.

Ia menambahkan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan buruh, untuk mencari tahu duduk persoalan buruh. (LAS/HAM/FER/ANS)