Jumat, 23 April 2010

KESEHATAN REPRODUKSI: SAATNYA MEMBERI HAK REMAJA


Oleh Ninuk Mardiana Pambudy dan Maria Hartiningsih

Aira (17) awalnya enggan diajak bicara tentang kesehatan reproduksi. Dia ogah-ogahan saat ditanya dari mana mendapat informasi dan apakah informasi yang dia dapat memadai.

Suasana berubah ketika temannya, Kania (18), mau berbagi tentang pengetahuan kesehatan reproduksi yang dia dapat. ”Kalau dari sekolah minim sekali informasi yang dikasih. Dibicarakan waktu pelajaran Biologi, tetapi sekadarnya, yakni saat membahas materi tentang fertilitas dan penyakit menular, jadi tidak khusus,” kata siswi SMA negeri papan atas di Jakarta Selatan itu.

Sebaliknya dengan Aira, siswi SMA swasta Islam di Jakarta Selatan. Selain melalui pelajaran Biologi, sekolahnya juga memberi informasi tentang kesehatan reproduksi remaja dalam diskusi dengan mendatangkan dokter kebidanan. ”Lumayan nambah pengetahuan,” kata Aira.

Adapun Ary (19) dan Nia (19), keduanya mahasiswi di Jakarta, mendapat pengetahuan kesehatan reproduksi dari orangtua mereka. ”Pertama kali tahu tentang menstruasi karena lihat nyokap (ibu) sering kesakitan saat haid. Terus dijelasin sama bokap (ayah), dia dokter kandungan,” kata Ary tentang pengalamannya saat usia enam tahun. Sekolah, menurut Nia, tidak memberi pengetahuan memadai sehingga tidak menjawab keingintahuan.

Keempatnya beruntung karena di keluarga mereka kesehatan reproduksi dibicarakan cukup terbuka. Sementara itu, jutaan remaja lain boleh jadi tak seberuntung mereka. Membicarakan kesehatan reproduksi dan seksualitas di masyarakat masih dianggap tabu karena anggapan relasi tersebut hanya boleh diketahui suami-istri.

Tidak heran bila remaja tak mengenali tubuh mereka dengan baik. Mitos seputar kesehatan reproduksi pun bertebaran, tak jarang menyesatkan hingga dewasa. Tak tersedianya informasi akurat membuat mereka sembrono dengan akibat tak diingini, dari infeksi menular seksual hingga kehamilan yang tak dikehendaki.

”Masih ada orangtua mengibaratkan lahirnya bayi seperti beli dari toko dan menggunakan kata perumpamaan untuk organ genital,” kata Sri Kusyuniati, Kepala Perwakilan Indonesia World Population Fund (WPF) Indonesia. WPF menyurvei perilaku seksual remaja di kota-kota Sumatera, Jawa, hingga Papua, dan kini menyusun modul pendidikan dan informasi kesehatan reproduksi bagi anak hingga remaja.

Mitos dan tabu

Di negara-negara yang masyarakatnya mengukuhi tabu seputar seksualitas dan menekankan relasi seksual hanya untuk pasangan sah biasanya informasi kesehatan reproduksi remaja juga minim. Keadaan tersebut mengandaikan remaja dapat mengatasi sendiri persoalan tubuhnya justru ketika mereka sebetulnya butuh panduan informasi yang benar saat fisik berubah dari anak-anak menjadi dewasa. ”Orangtua dan guru sering menganggap anaknya baik- baik saja,” kata Kusyuniati.

Dalam kasus yang ditemui Kompas, remaja dapat berhubungan seks tanpa tahu sebelumnya apa artinya. Arni (16, bukan nama sebenarnya) terperangkap hubungan seksual dengan laki-laki paruh baya. Dila (15, bukan nama sebenarnya), sahabat Arni, memperkenalkan siswi kelas I sekolah kejuruan di Jakarta Timur itu kepada laka-laki tadi. Setelah diajak makan di mal serta dibelikan baju, sepatu, dan aksesori, pada pertemuan ketiga laki-laki itu memaksakan hubungan intim.

”Saya tidak punya bayangan seperti apa. Menakutkan,” kata Arni dalam pertemuan dengan Kompas, Februari lalu di kawasan Manggarai, Jakarta. Guru sekolahnya kemudian mengetahui dan melaporkan kepada orangtua Arni. ”Saya tidak menyangka karena setiap hari dia pergi sekolah. Kalau pulang telat, bilangnya main ke rumah teman,” kata ayah Arni, penjual keliling mainan anak di Jakarta Timur.

Arni pindah sekolah dan melanjutkan pendidikan, sementara laki-laki tadi mendekam di tahanan polisi. Dalam pemeriksaan kesehatan kemudian, menurut Ratih Erningtyas, koordinator program afiliasi grup End Child Prostituion and Trafficking (ECPAT) di Indonesia, yang sempat mendampingi Arni, remaja itu terkena infeksi menular seksual meski tak fatal.

Kusyuniati mengaku cukup terkejut melihat rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Dalam survei di Maumere, Papua, ada siswi SMA yang tidak menyadari sedang hamil. ”Remaja butuh informasi yang benar dan terpercaya. Karena tidak mendapat dari guru dan orangtua, mereka mencari melalui film atau internet. Tanpa pendampingan, informasi yang didapat tidak tepat,” tandas Kusyuniati

Dijamin undang-undang

Menurut dr Ramonasari dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), informasi kesehatan reproduksi di sekolah cenderung normatif. ”Yang dikasih tahu hanya perkembangan reproduksi remaja secara umum,” kata Ramona. PKBI bertahun-tahun melakukan penyuluhan kesehatan reproduksi remaja di sekolah-sekolah.

Padahal, remaja punya persoalan, seperti keadaan seksual aktif karena fisiknya berubah menjadi dewasa serta orientasi dan hubungan seksual. Selain jumlah terbatas, layanan dan informasi kesehatan reproduksi remaja juga tak ramah. Di puskesmas, demikian Ramona, layanan kesehatan reproduksi dicampur dengan layanan umum sehingga ruang layanan remaja menjadi sangat sempit.

Kesehatan reproduksi remaja kini masuk di dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Negara wajib menyediakan informasi dan edukasi kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, bagi remaja agar dapat hidup sehat dan bertanggung jawab. Kesehatan reproduksi remaja juga menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), yaitu tujuan 5 tentang penurunan angka kematian ibu melahirkan (berhubungan dengan kehamilan usia remaja) dan tujuan 6 (pengendalian HIV/AIDS).

Menghalangi remaja mendapat informasi dan layanan kesehatan reproduksi meningkatkan risiko kesehatan dan merugikan masyarakat. Informasi dasar kesehatan remaja untuk remaja bukan hanya tentang tubuh, mencegah penularan HIV/AIDS, dan kehamilan, melainka juga kesetaraan jender dan pemberdayaan./KPS