Rabu, 21 April 2010

RADEN ADJENG KARTINI (MUNGKIN) MENANGIS


Oleh : Iwan Guntara

Dia adalah perempuan dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah.

Raden Adjeng Kartini, begitulah dia dikenal. Lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904, pada umur 25 tahun. Kartini pandai berbahasa Belanda dan gemar membaca buku serta berkirim surat.

Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang dibacanya, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Sehingga, timbullah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Surat-surat Kartini kepada beberapa sahabatnya di luar negeri, berisi harapan untuk memperoleh pertolongan dari luar. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Itulah sekelumit kisah Kartini. Yang selalu dikenang dan dituturkan kembali setiap tanggal 21 April. Sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tertanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Kartini juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Ya..setiap tahun, berbagai acara pun digelar untuk mengenang Kartini oleh berbagai kalangan. Baik di sekolah-sekolah maupun di instansi pemerintah. Terkadang berbagai lomba pun digelar untuk memeriahkan acara peringatan itu. Mulai dari lomba memasak hingga lomba berkebaya dan berkonde, ala Kartini.

Sayangnya peringatan yang digelar setiap tahun itu, terkesan hanya seremonial dan berhura-hura. Sementara, pemikiran dan semangat untuk melakukan perubahan serta memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan yang digelorakan Kartini sejak 131 tahun lalu, sering terlupakan.

Padahal, kondisi perempuan yang dilihat Kartini, ketika itu, masih menyata hingga saat ini. Kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik saat ini masih lebih rendah, jika dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan juga belum sepenuhnya terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Selain itu, masih banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan.

Perangkat hukum pidana yang ada, juga belum cukup lengkap dalam melindungi setiap individu, terutama tindak kekerasan dalam rumah tangga. Peraturan perundang-undangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsisten untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan, termasuk memberikan perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Bersedih

Jika boleh berandai-andai, Kartini mungkin akan bersedih hati. Atau bahkan menangis. Seandainya dia hidup dan melihat kondisi kaumnya saat ini. Bagaimana tidak, kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan kaum perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki. Lihat saja, data persentase penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah, yaitu sebesar 10,90 persen pada tahun 2004, sedangkan besarnya persentase penduduk laki-laki hanya setengahnya yaitu 4,92 persen. Begitu juga dengan perempuan yang buta huruf, persentasenya sekitar 11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki hanya sebesar 5,34 persen.

Tidak hanya itu, kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan juga masih memprihatinkan. Buktinya, angka kematian ibu (AKI) melahirkan masih tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI tahun 2002–2003).

Di bindang ekonomi, peran perempuan juga masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan laki-laki. Itu terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). TPAK perempuan masih relatif rendah, yaitu 50,19 persen bila dibandingkan dengan TPAK laki-laki yang sebesar 85,68 persen.

Selain itu, keterwakilan perempuan di bidang politik juga masih lebih rendah daripada laki-laki. Berdasarkan hasil pemilu tahun 2004, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hanya 11 persen di DPR dan 19,8 persen di DPD. Sementara itu, di lembaga yudikatif, komposisi perempuan hanya 20 persen dari hakim yang ada, 18 persen sebagai hakim agung dan 27 persen sebagai jaksa (2004).

Ironisnya lagi, perlindungan perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan juga masih belum memadai. Hal itu ditandai dengan masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, jumlah kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003.

Seandainya, Kartini hidup di Kota Medan , Sumatera Utara, hatinya pasti semakin terluka. Lihat saja, temuan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumut, antara tahun 2007-2008. Sedikitnya 3.000 anak perempuan baru gede (ABG) di Medan, yang dieksploitasi dan dimanfaatkan secara seksual dan komersil oleh oknum tidak bertanggungjawab. Jumlah itu tersebar di sejumlah daerah, termasuk di Medan, Tanjungbalai, Serdang Bedagai, Langkat dan Nias/Nias Selatan. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat, seiring meningkatnya beban hidup masyarakat, akibat naiknya harga BBM dan harga berbagai bahan kebutuhan pokok.

Bertindak

Lantas, kira-kira apa yang akan dilakukan Kartini, saat ini, setelah melihat kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa nasib kaumnya tidak jauh berbeda dengan yang dilihat dan dialaminya di masa lalu. Tentu Kartini tidak akan tinggal diam. Dan diam bukanlah sifat dan karakter dari seorang Kartini. Kartini pasti akan melakukan apapun untuk memperjuangkan kaumnya, termasuk mengorbankan kepentingan pribadinya.

Mungkin Kartini, akan ikut berkompetisi dan mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Setidaknya, dengan menjadi Kepala Daerah (KDh), peluangnya untuk memperjuangkan nasib perempuan semakin terbuka lebar. Termasuk menyusun berbagai kebijakan yang dapat menjamin terwujudnya kesetaraan gender. Peningkatan kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik. Serta perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekeresan dan diskriminasi.

Dengan menjadi kepala daerah, Kartini juga akan lebih leluasa mengalokasikan anggaran pemerintah daerah. Terutama untuk pendidikan dan sosial. Sehingga anggaran untuk pendidikan dan pemberdayaan perempuan menjadi prioritas pembangunan. Termasuk pendidikan gratis dan mendirikan sekolah untuk semua kalangan. Seperti yang pernah dia cita-citakan ketika menerima tawaran orang tuanya untuk menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Kartini juga akan memanfaatkan seluruh sahabat dan relasinya, baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk membantu dan mendukung cita-citanya dalam meningkatkan kesejahteraan dan derajat kaum perempuan di daerahnya. Baik dukungan moril maupun dukungan materil.

Kartini juga pasti ingin menjadi pengusaha sukses. Sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan untuk kaum perempuan. Dan tidak ada lagi penyiksaan serta pelecehan seksual oleh majikan di luar negeri.

Sayangnya, secara fisik, Kartini mustahil hidup kembali ke dunia ini. Namun, semangat dan pemikirannya untuk memperjuangkan kaum perempuan akan terus bergelora sampai kapanpun, selama pemikiran-pemikiran itu direkonstruksi dalam kondisi ke-kini-an. Bahkan, tidak hanya satu Kartini, yang lahir. Tetapi, Kartini-Kartini baru akan lahir di setiap waktu, setiap kesempatan dan di setiap lapisan masyarakat. Selamat untukmu, Ibu! Selamat untuk kaum Perempuan!***

*Penulis adalah wartawan yang tinggal di Kota Medan.