Minggu, 04 April 2010

MENIKMATI JAKARTA DI MINGGU PAGI


Hari Minggu pada pekan keempat setiap bulan, jalur Senayan, Sudirman, Thamrin, sampai Silang Monas menjadi milik rakyat. Bagi warga Jakarta yang setiap hari didera kemacetan dan asap kendaraan bermotor, hari itu ibarat hari ”pembebasan”. Mereka dipersatukan oleh sebuah kebutuhan bersama, yaitu ruang publik yang ramah dan murah.

Nani Khurul Jannah (20), mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta, mempersiapkan diri dengan serius untuk menyambut hari bebas kendaraan bermotor yang jatuh pada Minggu (28/3) itu. Ia bangun tidur sekitar pukul 02.00. Dari Ciputat, Tangerang Selatan, ia berkumpul bersama teman-temannya sekitar pukul 04.00.

Kelompok ini tiba di Bundaran Hotel Indonesia sekitar pukul 06.30.

Nani dan teman-temannya bermain teater di atas panggung dengan penampilan tubuh serta rambut dicat hijau dan dihiasi dedaunan. Mereka mengampanyekan pelestarian lingkungan. Sambil beraksi, mereka membagikan brosur. ”Kami bisa berkampanye lingkungan untuk masyarakat. Sambutannya bagus, lho,” kata Nani.

Bersama ribuan warga lainnya, Nani memanfaatkan sebaik-baiknya enam jam di pusat Jakarta yang ada hanya sehari dalam sebulan itu. Warga Jakarta lebih suka menyebutnya dengan car free day (CFD).

Jam belum menunjukkan pukul 07.00, tetapi ribuan orang sudah menyemut di sepanjang jalur Thamrin-Sudirman. Beragam aktivitas berlangsung. Ada yang menutup satu jalur di depan Hotel Mandarin untuk bermain futsal, sementara di depan halte busway Tosari dipasang papan luncur untuk bermain sepeda BMX.

Polda Metro Jaya juga tak ketinggalan berkampanye ”Aksi Peduli untuk Keselamatan Lalu Lintas”.

Bagi komunitas sepeda, CFD sudah seperti ”daerah tujuan wisata”. Sejumlah warga Pamulang, misalnya, menggowes sepedanya sejak pukul 05.30 menuju kawasan Senayan. ”Merasakan Thamrin-Sudirman serasa milik kita,” kata Zul dari komunitas sepeda THCC Pamulang.

Para penggowes umumnya mengajak serta keluarga mereka. ”Rasanya luar biasa. Kami bisa berolahraga sambil mengakrabkan hubungan keluarga dan pertemanan,” kata Sriyanto (45), pegawai dinas perindustrian. Pagi itu, ia mengajak istri, dua anak, adik, dan keponakannya mengayuh sepeda dari kawasan Pasar Minggu ke Bundaran Hotel Indonesia.

Keakraban dalam komunitas sepeda tidak hanya terjadi di antara mereka, tetapi juga terhadap pendatang baru yang belum dikenal. Mereka saling menyapa ketika berpapasan, saling membantu jika ada pengendara sepeda yang mengalami kesulitan. ”Itu sangat sulit kita temui pada kehidupan sehari-hari di Jakarta,” kata Sriyanto.

Mobilitas pejalan kaki

Hari bebas kendaraan bermotor pada awalnya digagas sejumlah LSM peduli lingkungan tahun 2002. Setelah itu, Koalisi Udara Bersih (koalisi masyarakat sipil dan LSM) menginisiasi draf peraturan daerah (perda) untuk pengendalian pencemaran udara pada tahun 2004.

”Kita sisipkan ide car free day ke dalam draf perda dengan harapan bisa dioper menjadi tanggung jawab pemerintah dan itu berhasil. Saat Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara disahkan, car free day sudah diakomodasi menjadi keharusan untuk dilaksanakan Gubernur,” kata Ahmad Safrudin, Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbel.

Sejak pertama kali dilaksanakan, CFD disambut gembira masyarakat. Bahkan, kini CFD telah berkembang di lima wilayah kota di DKI sekalipun frekuensinya masih sangat minim, hanya dua kali dalam setahun. Namun, ketika animo masyarakat begitu besar, jam pelaksanaan CFD justru terus dikurangi. Awalnya adalah 12 jam. Kemudian dikurangi menjadi delapan jam pada 2008 dan sejak tahun 2009 hanya tinggal enam jam, mulai dari pukul 06.00 hingga 12.00.

Bagi pengamat perkotaan dan ahli arsitektur, Marco Kusumawijaya, CFD di Jakarta ibarat gula-gula alias pemanis sesaat. ”Pemerintah belum berhasil mewujudkan sebuah kota yang nyaman dan dapat dinikmati. Alhasil, orang mencari outlet melalui peristiwa khusus semacam car free day. Padahal, seharusnya warga bisa menikmati kenyamanan seperti itu sehari-hari,” katanya.

Yang dibutuhkan warga adalah tempat berjalan kaki yang baik di seluruh kota, bukan cuma berjalan kaki di Jalan Thamrin-Sudirman pada hari Minggu dan hanya di akhir bulan. ”Lihatlah, betapa tidak nyamannya berjalan kaki di trotoar Jakarta. Tidak rata dan banyak lubang,” ujar Marco.

Dengan kata lain, pemerintah seharusnya memiliki visi ke depan berikut langkah yang konsisten untuk memperbaiki tata ruang kota. ”Namun, adakah komitmen seperti itu?” tanyanya.

Antusiasme warga yang tumpah ruah di setiap Minggu pagi sudah merembet ke wilayah pinggiran, seperti Bintaro, Serpong, Kelapa Gading, dan Depok. Bahkan, konsep CFD Jakarta telah menginspirasi kota lain di Indonesia.

Masyarakat memang merindukan ruang publik yang nyaman dan murah untuk sejenak jeda dari rutinitas kehidupan kaum urban yang diburu-buru waktu, didera kemacetan parah, dan dibalut asap kendaraan bermotor. Sayang, masih terlalu lama menunggu kedatangan Minggu pagi yang bersahabat berikutnya….(MYR/IAM/IND/USH/CAN/XAR/KPS)