Jumat, 09 April 2010

MUI dan Muhammadiyah Sepakat Koruptor Dihukum Mati


Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia setuju apabila hukuman mati juga diberlakukan untuk para koruptor. Hukuman mati dianggap perlu karena dapat memberikan efek jera kepada orang yang ingin melakukan korupsi.

“Saya setuju dengan upaya hukuman mati karena memberikan hukuman efek jera karena koruptor mengambil hak orang lain,” kata Ketua Muhammadiyah, Dien Syamsuddin dalam jumpa pers tentang pelaksanaan kongres umat Islam ke-5 di gedung MUI, Menteng, Jakarta, Kamis (8/4).

Din menyatakan dirinya sangat setuju perihal wacana hukuman mati bagi koruptor. Pasalnya perbuatan korupsi dianggap sangat mematikan begitu banyak rakyat serta negara secara ekonomis maupun materil.

“Karena selama ini baru para pelaku kriminal, teroris maupun narkoba yang sudah divonis untuk hukuman mati walaupun undang-undang tentang hal itu sudah ada namun belum direalisasikan,” tambahnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua MUI Amidan. Dirinya mengatakan dalam ajaran Islam dapat dianalogikan dengan Qisos, yaitu dengan penekanan terhadap pentingnya hak asasi manusia. “Oleh karena itu sebaiknya hukuman mati segera dilaksanakan untuk para koruptor agar dapat membuat efek jera,” pungkas Amidan.

Hal senada diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD. Ia berpendapat, koruptor itu perlu diberi hukuman mati karena upaya membongkar kasus korupsi ternyata tidak mengurangi korupsi.

"Kasus korupsi itu sudah berkali-kali dibongkar, tapi korupsi tetap saja ada karena itu sebaiknya ada perbaikan sistem," katanya setelah berbicara dalam seminar di Gedung PWNU Jatim, Kamis.

Di sela-sela seminar untuk memperingati 100 hari wafatnya mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, mantan Menhan di era Gus Dur tersebut mengusulkan dua sistem yang diperlukan untuk "menghabisi" korupsi. "Sistemnya, jatuhkan hukuman mati kepada koruptor dan buka peluang UU Pembuktian Terbalik untuk kasus korupsi, tapi UU itu memang harus diberlakukan secara hati-hati," katanya.

Menurut mantan birokrat, legislator, dan sekarang memimpin lembaga yudikatif (MK) itu, sistem pembuktian terbalik memang harus diberlakukan dengan ekstra hati-hati agar tidak jadi alat memeras. "Kalau tidak hati-hati, sistem pembuktian terbalik itu akan dapat dijadikan alat memeras oleh penegak hukum, karena tersangka korupsi takut mati," katanya.

Namun, katanya, sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan dengan sederhana, misalnya gaji seseorang pejabat adalah Rp10 juta per bulan, maka dalam dua tahun hanya Rp240 juta. "Kalau dalam dua tahun ternyata dia memiliki uang Rp20 miliar, maka dia diminta untuk membuktikan asal-usul uang itu dalam 2-3 bulan dan bila tidak mampu memberikan bukti akan dijatuhi hukuman mati," katanya. (dtc/Ant)