Minggu, 10 Januari 2010

5.000 BAYI INDONESIA LAHIR TULI SETIAP TAHUN


Jakarta, Kasus kehilangan pendengaran di Indonesia cukup memprihatinkan mulai dari bayi sampai orang dewasa. Bahkan 4.000-5.000 bayi Indonesia lahir tuli setiap tahunnya yang kebanyakan penderitanya masyarakat kurang mampu.

Indonesia,-- berdasarkan survei Multi Center Study di Asia Tenggara--, termasuk dalam 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6 persen. Sedangkan 3 negara lainnya yakni Srilangka (8,8 persen), Myanmar (8,4 persen) dan India (6,3 persen).

"Meski bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6 persen sudah cukup menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat," ujar Prof Dr dr Jenny Endang Bashiruddin, SpTHT-KL(K) yang baru dikukuhkan sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Sabtu (9/1/2010).


Penyebab bayi terlahir tunarungu diduga prosesnya terjadi pada saat hamil sang ibu terkena virus TORCH, rubella (campak), herpes, sifilis. Bayi yang terlahir prematur, kurang oksigen, atau penggunaan obat keras semasa ibu hamil berisiko memicu tunarungu bayi.

"Umumnya orang tua baru menyadari ada masalah bila kemampuan bicara anaknya tidak seperti anak sebayanya, hal itu berarti anak sudah berusia 2-3 tahun," tutur Profesor kelahiran Pekalongan, 11 Januari 1958.

Masih terbatasnya sarana, metode skrining dan belum adanya program deteksi dini menyebabkan penemuan kasus gangguan pendengaran menjadi lebih lambat. Mahalnya alat bantu dengar dan pemasangan implan koklea juga masih menjadi kendala.

"Hal ini adalah tantangan bagi kita semua, keberpihakan pada pasien yang kurang mampu harus diperjuangkan dengan tulus ikhlas," ujar Prof Jenny.

Kasus gangguan pendengaran lainnya di Indonesia di luar balita kebanyakan disebabkan karena Tuli Akibat Bising (TAB), tuli akibat infeksi atau OMSK (Otitis Media Supurativa Kronik), tuli kongenital dan tuli pada usia lanjut (presbiakusis).

Profesor Jenny menegaskan gangguan pendengaran harus menjadi masalah penting yang harus diperhatikan oleh dokter maupun pemerintah. Pendengaran tak hanya sebagai alat komunikasi tapi juga berfungsi sebagai alat untuk menyelamatkan diri. Meski demikian, banyak yang menganggap sepele anugerah tersebut dan baru menyadarinya setelah terjadi gangguan pendengaran.

Melalui program Sound Hearing 2030 yang digagas WHO sejak tahun 2005, diharapkan 90 persen gangguan pendengaran dapat dicegah. Sound Hearing 2030 mengkordinasikan kegiatan pencegahan gangguan pendengaran di kawasan Asia Tenggara.

Misi organisasi ini adalah untuk menurunkan gangguan pendengaran yang dapat dicegah sebesar 50 persen pada tahun 2015 dan 90 persen pada tahun 2030.

Menurut WHO 50 persen gangguan pendengaran yang dapat dicegah (preventable deafness) adalah gangguan pendengaran karena infeksi, bising, akibat pemakaian obat-obat ototoksik dan pernikahan keluarga (dtc).