Bicara mengenai aborsi di Indonesia memang tidak ada habisnya. Meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Pasal 75, 76 dan 77, persoalan aborsi tetap menimbulkan pro dan kontra. Dari sisi etika, persoalan aborsi juga menjadi bahan diskusi menarik.
Etika merupakan pembahasan filsafat moral. Etika selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut cara bertindak benar dan salah, hakikat kewajiban moral dan apa yang disebut kebaikan hidup. Pertanyaan mendasar dari Aristoteles dalam etika adalah ”kehidupan baik yang bagaimanakah yang harus saya jalani?”
Kaum feminis menganggap bahwa pertanyaan dasar Aristoteles itu dijawab oleh teori etika melalui sudut pandang laki-laki (male stream philosophy), yang tidak memasukkan persoalan perempuan di dalamnya. Maksudnya, perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom. Perempuan tidak pernah dibiarkan untuk ”memilih kehidupan yang baik untuk dirinya sendiri”.
Pertanyaannya kini, apakah yang baik untuk perempuan? Etika ini melakukan revisi terhadap filsafat moral dan menantang hegemoni teori etika patriarkat. Persoalan ini adalah refleksi dari penuntutan perempuan terhadap hak mereka untuk melakukan kontrol terhadap tubuhnya sendiri, her bodies, herselves.
Moralitas aborsi
Pandangan anti aborsi didasarkan pada pemahaman bahwa sebuah janin adalah manusia sejak saat terkonsepsi. Pandangan anti aborsi ini sama sekali tidak mengikuti penjelasan-penjelasan medis tentang perkembangan janin yang menunjukkan bahwa saat terkonsepsi, janin tersebut masih berupa kumpulan sel-sel. Menurut ilmu kedokteran, baru pada minggu ke-4 denyut jantung berdetak dan pada minggu ke-10 janin tersebut mempunyai bentuk muka, tangan, kaki, jari, dan sebagainya. Karena itu, bila kita mengatakan bahwa sejak terkonsepsi janin sudah menjadi manusia adalah keliru. Dalam Undang-Undang Kesehatan, aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir.
Mary Anne Warren menegaskan bahwa memang benar persoalan kapan manusia dianggap manusia (personhood) merupakan pertanyaan yang penting dalam persoalan aborsi. Warren mengajak kita untuk mendefinisikan dua hal, yaitu definisi ”manusia” dan definisi ”moral kemanusiaan”. Dalam mendefinisikan ”kapan manusia disebut manusia” sepanjang masa selalu ada perbedaan pendapat antara anti aborsi yang mendefinisikan manusia sejak awal konsepsi dan yang pro-choice aborsi sejak jantung manusia berdetak (empat minggu).
Argumen kelompok pro-choice aborsi adalah bahwa di bawah empat minggu aborsi masih dapat dilakukan. Argumen Warren lainnya yang cukup menarik adalah bahwa bila janin dianggap sebagai manusia, apakah ia dapat dikatakan memiliki moralitas kemanusiaan? Apakah moralitas kemanusiaan dibentuk saat terkonsepsi ataukah saat ”manusia” tersebut mempunyai konsep kesadaran diri, aktivitas, dan komunikasi?
Isu jender
Alasan-alasan yang sering diutarakan mengapa aborsi dilakukan adalah karena kegagalan alat kontrasepsi, kehamilan yang tidak diinginkan (baca: kasus pemerkosaan), ketakutan akan hukuman orangtua, kehamilan remaja, dan ketidakmampuan secara ekonomi dan psikologis.
Dimensi isu jender dalam kasus-kasus aborsi adalah bahwa laki-laki sering kali tidak bertanggung jawab dalam menanggung beban persoalan kehamilan yang tidak diinginkan.
Berbagai kajian juga menunjukkan bahwa perempuan miskin merupakan kelompok yang paling dirugikan. Status hukum yang mengilegalkan praktik aborsi mengakibatkan banyak praktik gelap aborsi yang meminta bayaran tinggi sehingga hanya perempuan yang ”mampu” yang mendapatkan pelayanan aborsi dengan aman. Selebihnya, perempuan miskin mendapatkan pelayanan yang sama sekali tidak aman.
Di dunia di mana individu ditindas oleh kelas, jender, atau ras dan dibentuk lewat struktur-struktur sosial dan diskursus bahasa, maka perangkat kerasionalan yang harus dimiliki untuk mendapatkan keadilan tidak dimiliki oleh perempuan.
Thomas Aquinas mengatakan bahwa ”pribadi” adalah makhluk individual yang mempunyai kodrat rasional. Immanuel Kant memahami ”pribadi” sebagai ”sesuatu yang sadar akan identitas numerik mengenai dirinya sendiri”. Jadi, biarlah soal aborsi dikembalikan kepada perempuan sebab perempuanlah yang mempunyai tubuhnya sendiri.
Soffa Ihsan Alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan Penulis Sejumlah Buku
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Sabtu, 16 Januari 2010
ABORSI: KETERPINGGIRAN DAN KEWENANGAN PEREMPUAN
Label:
Info Kesehatan