Jumat, 22 Januari 2010

KAUM PINGGIRAN: HIDUP DI KESUMPEKAT RUMAH SUSUN


Rizal (31) baru saja selesai istirahat ketika ditemui pada Kamis (21/1) siang. Sejak pagi buta ia bekerja di Tempat Pelelangan Ikan Rajawali, Makassar, Sulawesi Selatan.

Begitu tahu ada tamu berkunjung, langsung dipersilakannya masuk ke kamar tidur. Tidak ada lagi tempat lain yang lebih layak.

Kamar bagian depan yang seharusnya berfungsi sebagai ruang tamu sudah disulap menjadi toko. Kamar tidur seluas 5 meter persegi itulah pusat kehidupan Rizal beserta istrinya, Merry (28), dan dua putrinya.

Di dalamnya hanya terdapat kasur yang tidak muat bila dipakai dua orang dewasa, lemari pakaian, meja belajar milik anaknya yang duduk di kelas II SD, dan pesawat televisi. Sumber penerangan alami mereka berasal dari jendela dengan pemandangan Teluk Losari.

Kamar mandinya berukuran 1,5 meter x 1,5 meter berisi toilet jongkok, keran air, dan pancuran air untuk mandi. Satu-satunya ”ruang kosong” berupa lorong sepanjang 1,5 meter dipakai untuk dapur dan tempat menyimpan barang ataupun sepeda milik Rizal.

Ruang tamu yang difungsikan untuk toko bahkan sudah sesak dipenuhi bahan kebutuhan sehari-hari. Sebutlah seperti makanan ringan, minuman kemasan, bumbu dapur, dan sabun detergen. ”Seperti inilah keseharian tinggal di rumah susun,” ujar Rizal memamerkan rumahnya yang berada di menara B3 Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Mariso di Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso, Makassar.


Pembangunan dua menara rusunawa berisi 576 unit tersebut dimulai pada 2006. Kehadirannya dimaksudkan untuk mengatasi permukiman kumuh di selatan Kota Makassar yang dihuni warga bermata pencarian sebagai buruh bangunan dan nelayan. Penghasilan mereka rata-rata di bawah Rp 500.000 per bulan.

Lewat sistem pengundian, warga yang tinggal di sekitar rusunawa berhak tinggal di sana. Setiap bulan mereka cukup menyisihkan uang sewa sekaligus untuk biaya pemakaian air dan listrik.

Kompleks rusunawa seluas 1,2 hektar itu kini seakan menjadi tempat lega di antara kepungan permukiman padat penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Makassar, Kecamatan Mariso termasuk daerah terpadat di kota itu. Setiap 1 kilometer persegi wilayah ini dihuni sekitar 30.000 penduduk. Jauh berbeda dibandingkan dengan daerah lainnya, taruhlah seperti Kecamatan Ujung Tanah dengan rasio kepadatan 8.145 jiwa per kilometer persegi.

Kota Makassar sendiri menghadapi masalah perkotaan berupa kemiskinan dan tata kota. Dengan penduduk 1,3 juta jiwa, Makassar limbung dengan bertambahnya penduduk dan urbanisasi dari daerah lain.

Mulai bocor

Sewaktu berbincang di kamar tidur Rizal, dua kaleng kosong diletakkan di dekat pintu masuk. ”Untuk menampung tetesan air dari langit-langit kamar,” katanya.

Rizal juga menunjukkan retakan kecil pada sambungan dinding dengan tiang beton sehingga sinar matahari bisa menerobos masuk. Sebaliknya, bila hujan deras, kamar tidur itu tidak luput dari air hujan.

”Inilah yang disebut tetap kebanjiran meski tinggal di tempat bertingkat,” ujar Rizal yang menempati ruangan di lantai dasar.

Meski tinggal di rumah yang sempit untuk menampung empat orang, Rizal dan Merry mengaku tetap kerasan. Awalnya memang sempat kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sempit semacam itu. Akan tetapi, karena dipaksa keadaan, mereka kini sudah mulai terbiasa, baik untuk masak, mencuci pakaian, maupun berbagi tempat tidur di ruang yang sempit tersebut.

Guna menyiasati penghasilan Rizal yang rata-rata hanya Rp 250.000 per bulan, pasangan itu membuka toko di rumahnya. Dengan cara itulah mereka bisa menyisihkan Rp 300.000 untuk sewa bulanan, termasuk iuran listrik dan air, berikut sedikit tabungan untuk berjaga-jaga.

Selama tinggal di rumah susun tidak banyak hiburan yang bisa dinikmati keluarga Rizal dan penghuni lain. Letak rusunawa ini memang jauh dari pusat keramaian. Adapun tempat anak-anak bermain hanya di sepanjang lorong dan lantai dasar yang sengaja dikosongkan.

”Bila punya dana mencukupi, saya berencana memboyong keluarga pindah ke rumah yang lebih layak,” kata Rizal.

Hanya saja, Rizal sadar betul bahwa impiannya itu akan sulit terwujud, setidaknya hingga lima tahun mendatang. Untuk itu, ia mengaku akan tetap bertahan tinggal di rusunawa ini, dan mencoba betah, bagaimanapun keadaannya.

Tentang status kepemilikan rusunawa, Rizal mengungkapkan bahwa sebagian besar penghuni saat ini adalah warga setempat yang memilih tinggal di sana. Namun, ada juga yang menyewakannya kembali kepada orang lain, atau malah mengalihkan hak sewanya, yang mereka sebut dengan istilah over kunci.

Benar saja, itu pun yang ditawarkan salah seorang penghuni bernama Masitha (42), yang ditemui di menara rumah susun yang lain. Ternyata banyak juga orang yang datang untuk mengontrak tahunan ataupun bulanan. Mereka itu umumnya warga pendatang dari daerah lain yang bekerja di Makassar.

”Harus cepat memutuskan, kalau terlambat bisa diambil orang lain,” ujar Masitha.