Minggu, 31 Januari 2010

ARTIKEL: PARADIGMA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Oleh : H.A. Malik Fadjar

I

“Saya mesti bekerja keras, untuk meletakkan batu pertama dari pada amal yang besar ini. Kalau saya lambatkan dan saya hentikan karena sakitku ini, tidak ada orang yang akan meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan lekas yang tinggal sedikit ini, mudahlah yang datang kemudian menyempurnakannya.”

Petikan di atas merupakan ucapan langsung K.H. Ahmad Dahlan yang tertera di bawah potretnya yang dimuat dalam buku TUNTUNAN HIZBUL WATHAN, yang disusun oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tahun 1961, pada halaman 3. Sesungguhnya petikan di atas merupakan sepenggal dari pembicaraan Kyai dan istrinya, Nyi Dahlan, pada bulan-bulan akhir hayat pendiri Muhammadiyah. Ini terkait dengan permintaan murid-murid Kyai Ahmad Dahlan, agar Nyi Dahlan meminta Kyai untuk istirahat sehubungan dengan sakitnya yang bertambah keras. Dan itulah kata-kata yang keluar dari lubuk jiwanya (Hamka, 1952:29).

Penggal ucapan pendiri Muhammadiyah itu saya pandang menarik untuk diambil kembali dalam pembicaraan kita kali ini guna menarik benang merah bagaimana kegigihan dan komitmen seorang pembaharu terhadap perjuangan yang dirintis dan diretasnya itu perlu melintasi bentangan waktu ke depan, menjangkau hitungan kesinambungan generasi. Kalau kata-kata di atas diucapkan oleh K.H. Ahmad Dahlan mendekati tahun 1923, yakni tahun kewafatannya, dan sekarang sudah akhir tahun 2009, maka suara hati beliau dibuktikan oleh sejarah. Generasi demi generasi penerus Muhammadiyah telah memperoleh maupun mengenyam kemudahan itu dengan bentuk-bentuk amal usaha nyata maupun pranata-pranatanya yang takaran jumlah dan jenisnya terus bertambah.

Khusus dalam amal usaha kependidikan dapat kita bayangkan secara grafis ada tanjakan yang amat berarti sekaligus menarik perhatian dari berbagai pihak termasuk pemerhati Islam Indonesia. Betapa tidak, jumlah lembaga sekolah dan lembaga pendidikan luar sekolah Muhammadiyah dari tahun 1923 ( - sekali lagi, tahun kewafatan pendiri Muhammadiyah itu ) sampai sekarang yang notabene lembaga sekolah dan pendidikan luar sekolah itu merupakan simbolik “ruh pembahasan” gerakan persyarikatan. Secara kualitatif, “Islam yang murni” (The Genuine Islam) bersendikan Al-Qur’an dan As-Sunnah juga semakin terbentuk di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Gejala kualitatif ini tidak saja khas kehidupan Islam kota, tetapi sudah merambah ke desa-desa. Langsung atau tidak langsung kenyataan serupa ini adalah “outcomes” pendidikan (formal, non formal, dan informal) yang menjadi salah satu inti, bahkan ujung tombak gerak persyarikatan.


Lalu, kalau sekarang menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-46, Juli 2010, di Yogyakarta – kota tempat kelahirannya, dan menyongsong Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah kita berbicara mengenai paradigm pendidikan Muhammadiyah, maka “dari mana” dan “ke arah mana” pembicaraan itu akan memberikan makna dan membuahkan manfaat bagi gerak persyarikatan, bagi kehidupan dan kemajuan umat, dan bagi bangsa yang saat ini berada di era globalisasi?

“K.H. Ahmad Dahlan, adalah seorang tokoh yang mewakili jiwa dan semangat aktivisme dari zaman 1912.” Demikian, antara lain dinyatakan oleh seorang tokoh nasionalis Roeslan Abdulgani (1962:41). Tahun 1912, oleh Roeslan Abdulgani disebut sebagai satu tahun – detik dari satu babak sejarah bangsa Indonesia. Suatu babak yang dikenal dengan nama Zaman Kebangunan Nasional. Pada era kebangunan nasional itulah Muhammadiyah lahir sebagai organisasi yang membawakan reformasi atau renaissance di dalam gerakan Islam. Jiwa dari gerakan Muhammadiyah sejalan dengan kelahirannya di Zaman Kebangunan adalah menuju kemajuan yang ruhnya adalah pembebasan dari belenggu-belenggu kekolotan pandangan, pencemaran akidah, keterbelakangan amaliah, kerapuhan etika, dan kemiskinan dalam penalaran dan gagasan. Belenggu-belenggu ini seluruhnya memudarkan cahaya Islam.

“Islam memerdekakan akal dari tiap-tiap yang membelenggunya dan melepaskan dari segala taklid yang memperhambanya. Dipulangkannya ia kepada kerajaannya dimana ia harus memerintah dengan pertimbangan dan kebijaksanaan; dan dalam segala hal yang diperbuatnya ia hanya tunduk kepada Allah dan menjaga batas-batas yang ditentukan oleh undang-undangan Tuhan, tetapi dalam batas-batasnya itu ia merdeka seluas-luasnya dan tiada habis-habis pertimbangan yang dilakukan di bawah panji-panjinya.”

Begitulah, antara lain ditegaskan oleh K.H. Ahmad Dahlan seputar paham keislamannya sebagaimana dikutip Amir Hamzah Wirjosukarto (1968:54).

II

Dalam upaya pencerahan kembali Islam, K.H. Ahmad Dahlan menempatkan pendidikan sebagai wahana utama dari aktivitas dan kiprah gerakan. Dan K.H. Ahmad Dahlan langsung memasuki dunia praksis. “Dia bukan seorang teoritikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya: “sedikit bicara, banyak bekerja,” demikian tulis Steenbrink (1986:52). Bahkan sebelum Muhammadiyah berdiri. Kyai Dahlan telah merintis “pendidikan pragmatisnya” itu dengan contoh tindakan membenarkan praktek beragama dalam bentuk “membuat tanda shaf” dalam Masjid Agung dengan kapur.

Tanda shaf itu bertujuan member arah kiblat yang benar dalam masjid. Tindakan ini dilakukan setelah terlebih dahulu beliau belajar kepada ahlinya. “Dia pernah mengunjungi observatorium di Lembang, Bandung, untuk menanyakan cara menetapkan arah kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan.” (Steenbrink, 1982:52). Bertalian dengan apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, tokoh nasionalis Roeslan Abdulgani menyebutkan dalam tulisannya bahwa bidang utama gerakan Muhammadiyah adalah social-pedagogis melawan formalism dan konservatisme dalam gerakan Islam (1962:39).

Pendidikan sebagai wahana utama untuk “pencerahan kembali” Islam dan “pemberdayaan” umat Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan bersama-sama pendukung-pendukungnya dengan Muhammadiyah itu menampilkan watak baru dalam “tiga dimensi,” yakni: idenya, caranya, dan sekaligus produknya. Hal ini bias dilihat dalam khazanah praktek pendidikan banyak kejadian (yang dimaknai dari sudut pandang pendidikan) dengan gamblang menjelaskannya. Ambil beberapa contoh, misalnya: Dari segi ide, ingin dicapai pemahaman dan pengamalan Islam yang lebih “genuine”, namun yang lebih merangkum seluruh aspek kehidupan nyata. Pada fase perkembangan di Indonesia, Islam nampak suram, statis, dan mengalami penyempitan makna, maka ide di muka jelas merupakan sesuatu yang baru.

Dari segi cara, misalnya, Muhammadiyah mengembangkan tabigh sebagai kegiatan awal terpenting organisasi. Tabligh merupakan sarana transmisi pengetahuan dan wawasan agama secara terencana dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 tabigh dapat dipandang sebagai unsure baru (Steenbrink, 1986:54). Dari segi produk, ada pengakuan dari seorang pendidik dan ahli pendidikan nasionalis (yakni Prof. Soegarda), bahwa pendidikan Muhammadiyah memberikan sumbangan bagi bangsa yang dapat dikategorikan suatu “inovasi social.” Menurut Soegarda, pendidikan Muhammadiyah (dalam hal ini sekolah-sekolahnya) telah menjembatani jarak social, jurang pemisah antara golongan santri dan golongan priyayi abangan.

Menyimak yang tersurat dan tersirat tersebut di atas, rasanya bukan suatu kesimpulan yang mengada-ada ataupun dicari-cari kalau kita mengatakan bahwa paradigm pendidikan Muhammadiyah adalah “paradigm pembaharuan.” Ini memang suatu peneguhan kembali. Dan, sungguh bukan sesuatu yang sederhana apabila kita bermaksud meng - “konversi”- kan pembaharuan sebagai “skema mental” yang secara efektif melandasi dan memandu gerak pendidikan Muhammadiyah: dalam ide, dalam cara, dan dalam produk. Untuk ini, pengertian dan komitmen saja belum cukup. Harus diwujudkan dalam “praksis” terutama dengan dibarengi “kompetensi managerial,” terutama untuk bias member “ruh dan warna ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan” di era globalisasi ini.


III

Kini, dalam liku-liku perjalanan panjang, baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka hingga “satu abad,” pendidikan Muhammadiyah tetap eksis dan memainkan peran “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahannya, namun pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut. Mulai dari apa yan gdisebut PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Sekolah Dasar dan Menengah hingga Pendidikan Tinggi (Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, Politeknik, dan Diploma), secara kuantitatif cukup bermakna.

Boleh dikatakan pendidikan Muhammadiyah itu, baik kegiatan maupun kelembagaannya telah menajdi bagian menyeluruh dari bangunan Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan dakwah. Bahkan juga sudah menjadi bagian menyeluruh dari bangunan system pendidikan nasional (perhatikan isi, jiwa, dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003). Maka “profil dan karakter pendidikan Muhammadiyah yang holistik” itu terwujud dalam keseluruhan perwujudan idenya, caranya, dan produknya.

Walaupun Pendidikan Muhammadiyah itu, baik aktifitas maupun kelembagaannya tumbuh dan berkembang dari bawah yang terorganisasi dalam amal usaha tingkat Ranting, Cabang, Daerah, dan Wilayah yang kondisi social, ekonomi, dan budayanya berbeda-beda, namun sebagai penyandang nama atau beridentitas “Perguruan Muhammadiyah,” visi dan misinya tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari bagian menyeluruh bangunan Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan dakwah dan system pendidikan nasional. Boleh dikatakan pendidikan Muhammadiyah itu tumbuh dan berkembang di atas komunitas basisnya (social, ekonomi, budaya, dan lingkar geografisnya). Oleh karena itu dalam memaknai dan menilainya, baik kuantitas maupun kualitasnya harus dan tetap dalam kerangka serta alur cita-cita pendiri sekaligus peletak fondasinya, K.H. Ahmad Dahlan: “jadilah ulama yang dapat mengikuti zaman, dan janganlah jemu-jemu bekerja untuk masyarakatmu.”

Ikhwal paradigm, yang bias dimaknai sebagai “beriman, bertaqwa, dan beramal saleh sejalan dengan yang dipikirkan” (we do what we think), maka pengejawantahan “paradigm pembaharuan” Perguruan Muhammadiyah itu, baik aktifitas maupun kelembagaannya akan mencerminkan wajah “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” – dalam ide atau cita-citanya,caranya, dan produknya. Ini berarti, bahwa “Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah dan ke depan dalam gerak “melintasi zaman” perlu perencanaan yang terukur berdasarkan pada program-program aksi yang berupa “pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan berkelanjutan.” Kalau tidak, Perguruan Muhammadiyah yang di dalamnya terdiri dari berbagai jenjang dan model sekolah dan perguruan tinggi hanya akan berjalan rutin, tanpa menampilkan ataupun melahirkan ide-ide maupun keunggulan baru di bidang pendidikan.

Perguruan Muhammadiyah bukan lagi merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam (H.A. Mukti Ali, 1989). Lebih-lebih dalam gerak melintasi zaman ke depan yang hamper semuanya termasuk dunia pendidikan akan, bahkan sudah berada di dalam tatanan kehidupan masyarakat yang dipenuhi persaingan atau kompetisi. Boleh dikatakan ke depan tiada lagi ruang dan waktu dalam masyarakat tanpa persaingan. Langsung maupun tidak langsung persaingan akan merupakan prinsip hidup yang baru. Dunia semakin terbuka dan bersaing untuk memposisikan diri agar berada di urutan terdepan dalam menghasilkan karya-karya unggulan dan merebut setiap kesempatan serta peluang yang terbuka di pasar kerja, pasar untuk berbagai produk, jasa, dan teknologi telah menjadi kenyataan yan gtak terelakkan. Persaingan bukan lagi sebatas dunia bisnis, investasi, industri, dan ekonomi, melainkan juga di bidang pendidikan, kesenian, dan kebudayaan. Oleh karena itu agar tetap eksis dan survive, serta mampu “berfastabiqul khairat” (Qur’an, Al-Maidah:48) – berkompetisi atau berlomba dalam meraih kebijakan, pendidikan Muhammadiyah ke depan dengan paradigm pembaharuan harus terus menerus mengembangkan: “kemampuan mengantisipasi; mengerti dan mengatasi; mengakomodasi; dan mereorientasi terhadap tantangan, tuntutan, dan perubahan masa depan” (Makaminan Makagiansar, 1990). Pesan Khalifah Ali Bin Abi Thalib: “Didiklah dan persiapkanlah generasi penerusmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, karena mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan lagi zamanmu;” patut kita jadikan acuan.

Gerak pendidikan adalah gerak menuju terwujudnya peradaban baru (peradaban utama) atau masyarakat madani (civil society) yang di dalamnya menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam berbagai bidang keagamaan, moral, etika, kesenian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintahan, dan wawasan pemikiran. Artinya, bahwa pendidikan Muhammadiyah yang dijiwai dan disemangati “ruh Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” itu haruslah bersifat “reflektif, transmitif, dan progresif.” Dan tetap berbasis atau bertumpu pada keseluruhan potensi dan lingkungan, baik fisik maupun non fisik yang menjadi komunitas basisnya. Sehingga membuni dan tidak mengawang-awang.


Sumber Bacaan:

1. Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang Diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah, UP. Ken Mutia, malang, 1968.
2. Departemen Penerangan 1962, Muhammadiyah Setengah Abad, 1912-1962.
3. H.A. Mukti Ali, Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, UMS Press Surakarta, 1989.
4. Hamka, K.H. Ahmad Dahlan dalam Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah, Panitia Pusat Perayaan 40 Tahun Persyariaktan Muhammadiyah, Jakarta, 1952.
5. Makaminan Makagiansar, Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi, Mimbar Pendidikan No. 4 Tahun IX Desember 1990, University Press, IKIP Bandung, 1990.
6. Streenbrink Kareel A, Pesantren, Madrasah, Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1986.