Setelah proses peradilan yang cukup lama dan melelahkan, akhirnya Prita dibebaskan dari jerat hukum.. Untuk ke depan, seharusnya kasus ini bisa menjadi pembelajaran demi perbaikan pelayanan kesehatan . Sebenarnya kasus yang menyedot perhatian dan mengundang banyak simpati itu, tidak perlu terjadi kalau hubungan Prita sebagai pasien dengan rumah sakit, dokter, dan perawat terjalin dengan baik. Terutama Hubungan dokter-pasien, merupakan batu ujian yang menjadi dasar baik buruknya proses penyembuhan dan “outcome” yamg diinginkan oleh pasien dan dokter. Untuk itu, baik pasien maupun dokter harus dapat memahami esensi hubungan dokter-pasien dan hubungan itu harus dijaga dengan baik agar berjalan dengan sehat.
Terlepas dari penyebab ungkapan keluhan Prita terhadap pelayanan rumah sakit dan dokter yang disalurkan melalui email ke teman - temannya, yang jelas adalah bahwa ada ketidakpuasan Prita terhadap pelayanan yang diterimanya. Ketidakpuasan ini tentu saja karena tidak sesuainya harapan atau ekspektasi Prita sebagai pasien dengan kenyataan yang diterimanya. Sejalan dengan perkembangan struktur sosial masyarakat, perkembangan teknologi kesehatan sendiri, pengaruh pendidikan, peningkatan kesadaran pasien terhadap hak-haknya , semua ini berpengaruh terhadap hubungan dokter-pasien dan tentu juga ekspektasi pasien terhadap pelayanan kesehatan .
Dulu seorang pasien akan menerima apa saja tindakan yang akan dilakukan oleh seorang dokter terhadap dirinya, sampai pasien sembuh atau akhirnya meninggal. Pasien sangat percaya akan keahlian seorang dokter dan hanya mengharapkan sesuatu yang tebaik untuk dirinya. Pasien secara total menyandarkan dirinya yang sakit kepada dokter, karena baik secara keahlian, etis, dan moral, pasien percaya kepada dokter. Hubungan ini dikenal dengan pola hubungan paternalistik. Dalam hubungan paternalistik ini , ibaratkan hubungan antara seorang bapak dengan anak yang baik, anak tentu akan patuh, akan mengkuti semua nasehat, perintah, kemauan sang bapak tanpa berani membantah walaupun tidak setuju, dongkol, tidak senang dan sebagainya. Era hubungan paternalistik ini di negara maju berlangsung sejak zaman Hippocrates sampai akhir tahun 60- an. Era hubungan paternalistik ini dikenal juga sebagai era dokter. Era dimana seorang dokter mempunyai hak otoriter untuk melakukan sesuatu kepada pasiennya dan pasien sangat tergantung kepada dokternya. Dalam era hubungan ini seorang dokter juga pada dasarnya bertindak atas dasar kepentingan yang paling baik bagi pasien
Seperti diktakan diatas, sesuai dengan perkembangan struktur sosial masyarakat, kemajuan ekonomi, kemajuan teknologi kedokteran, kemajuan ilmu kedokteran sendiri, berkembangnya spesialisasi dan subspesialisasi, pendidikan, dan diakuinya hak otonomi sebagai hak asasi manusia , pola hubungan paternalistik ini mulai ditinggalkan, bergeser ke pola hubungan kesetaraan, hubungan yang saling menguntungkan antara dokter dan pasien. Dalam pola hubungan kesetaraan ini pasien mulai menyadari akan hak-haknya. Pasien mulai menganggap bahwa dokter mempunyai kedudukan yang sama dengan dirinya, dan seorang dokter juga dapat melakukan kesalahan yang berakibat buruk terhadap dirinya. Disamping itu seperti diketahui., dengan berkembangnya ilmu kedokteran dan teknologi kedokteran, seorang dokter juga mempunyai pilihan-pilihan dalam menegakkan diagnosis dan terapi. Pilihan-pilhan tersebut dapat menentukan penegakan diagnosis dan terapi itu. Tiap-tiap pilihan yang diambil mempunyai risiko dan hasil yang berbeda. Dari aspek biaya juga tidak sama, setiap tindakan yang diambil baik dalam menegakkan diagnosis maupun terapi yang diberikan, memerlukan biaya berbeda dan hasil yang diharapkan juga tidak sama. Keadaan ini tentu saja akan mempengaruhi hubungan dokter dengan pasiennya, dan ekpektasi pasien terhadap pelayanan yang diberikan. Akibatnya, pasien tidak akan percaya saja sepenuhnya kepada sang dokter. Pasien tentu saja tidak akan menerima begitu saja apa yang disarankan dokter atau apa yang akan dilakukan seorang dokter terhadap dirinya. Dalam kasus Prita kalau saya tidak salah ada semacam keraguan dari saudara Prita terhadap hasil laboratorium yang menjadi dasar diagnosis penyakitnya. Prita tidak puas atau tidak mendapatkan informasi yang jelas yang menimbukan ketidakpuasan awal..
Penelitian menunjukkan bahwa , dari beberapa aspek hubungan dokter-pasien, yang sering memicu ketidakpuasan pasien dan kadang berujung pada tuntutan hukum adalah: buruknya komunikasi antara dokter dan pasien. Jarang pasien menuntut seorang dokter atau rumah sakit karena kualitas tindakan medik atau terapi , tetapi lebih sering pada cara bagaimana tindakan medik dan terapi itu sendiri diberikan. Jarang pasien mempersoalkan tindakan medis itu sendiri, tetapi yang sering adalah bagaimana tindakan itu diberikan, disampaikan dan dikomunikasikan dengan pasien. dengan kata lain bagaimana seorang dokter berkomunikasi, berinteraksi dengan pasien ataupun keluarganya. Sebagai contoh: seorang pasien tidak akan mempersoalkan prosedur tindakan operasi yang diberikan sudah benar atau salah. Kalau terjadi juga suatu tuntutan karena kesalahan prosedur tindakan medik, biasanya juga diawali dengan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan seperti ; pasien merasa tidak dihargai, dilecehkan, tidak ditanggapi dengan baik atas keluhannya, tiak diberikannya informasi yang jelas atas penyakit yang dideritanya , tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang penting, dokter dan perawat yang kasar, tidak empati, dan sebagainya.
Sebagai penutup seorang pasien yang datang kepada seorang dokter atau rumah sakit, tidak hanya ingin untuk disembuhkan penyakitnya, tetapi adalah diri dia yang sakit. Dia ingin didengar keluhannya, diperhatikan, dihargai, dijaga martabatnya, dihormati privacynya, dipenuhi hak-haknya. Hal ini akan terwujud bila, baik dokter maupun pasien dapat memahami esensi hubungan dokter –pasien yang mulai berubah. Hubungan kepercayaan yang setara, yang saling menghargai, menghormati, terbuka, jujur dan mutualistik.
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Minggu, 10 Januari 2010
Belajar Dari Kasus Prita: Berubahnya Hubungan Dokter Pasien
Label:
Info Kesehatan