Selasa, 26 Januari 2010

Tahun 30-an, Perempuan Muhammadiyah Pencari Nafkah Utama


Yogyakarta- Dr. Ruhaini Dzuhayatin, MA menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya di tahun -30 an dahulu istri-istri para tokoh Muhammadiyah dan Sarikat Islam yang bertugas mencari nafkah dalam keluarga. “Ini bisa dilihat dari keluarga pedagang batik, karena bapak-bapak tidak ada urusan dengan uang” terangnya.

Dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Aisyiyah di Gedung Moehammadijah, Jl KHA Dahlan 103 Yogyakarta, Sabtu (23/10/2010), Ruhaini menerangkan bahwa di tahun 30-an tersebut Muhammadiyah tidak ada konsep bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama. “Laki-laki mengurusi urusan sosial, politik dan pendidikan, sedangkan bisnis itu urusan istrinya” paparnya. “Dua-duanya mendapatkan status sosial yang sama di masyarakat dengan peran masing-masing” lanjutnya kemudian.

Lebih lanjut pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut menyatakan bahwa karena akses perempuan pada partisipasi politik dan pendidikan kurang, maka Muhammadiyah memperjuangkan persamaan kesempatan untuk mendapatkan kedua hal tersebut. Karena itulah, menurut Ruhaini, mengapa ikon gerakan perempuan Muhammadiyah adalah Aisyiyah yang secara harfiah berarti pengikut Aisyah, istri kedua Rasullah Muhammad SAW yang cerdas, bukan Khadijah yang menguasai bisnis. “Nah kenyataan ini kemudian berubah seiring dengan runtuhnya industri batik” kisahnya.

“Karena inilah poligami tidak populer di kalangan Muhammadiyah, salah satunya karena perempuanlah memegang faktor ekonomi” terangnya kemudian. “Pada tahun 30-an itu realitas gender lebih egaliter dari sekarang”tegasnya. (arif).