Selasa, 05 Januari 2010

ACEH LIMA TAHUN PASCA TSUNAMI


Shalawat Badar bergema di atas kapal PLTD Apung di Kelurahan? Punge Blang Cut Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh? yang terdampar? ke darat sekitar 5 km akibat hempasan gelombang Tsunami dari Pelabuhan Ulee Lheu lima tahun yang lalu, tepatnya 26 Desember 2004.
Puluhan masyarakat dari kota Banda Aceh maupun para wisatawan mendatangi kapal pembangkit listrik PLN itu yang kini? menjadi salah satu monument dari bencana besar gempa dan Tsunami Aceh yang telah mengambil korban sedikitnya 250 ribu nyawa di provinsi itu.
Para pemuda di kelurahan itu tengah sibuk menyiapkan? Peringatan Lima Tahun Tsunami Aceh dengan Shalawat Badar, zikir dan tahlil , tausyiah Tsunami dan pembacaan doa bagi para korban? menjelang magrib sehari sebelum tragedy itu. Di sudut-sudut kota sejumlah banner menyambut peringatan itu terpampang dengan ukuran besar berisi himbauan bagi warga untukmenyikapi peringatan Tsunami? sebagai Kebangkitan Menuju Aceh Makmur, Sejahtera dan Bermartabat.

Sudah lima tahun terakhir ini, Muhammad Yusuf menyempatkan diri untuk berkunjung ke kuburan massal yang berada di beberapa titik di kota Banda Aceh ,ibukota provinsi Nangroe Aceh Darussalam ini seperti kuburan spiritual Syiah Kuala.? Kehilangan? enam anggota keluarga yaitu adik lelakinya, almarhum Sulaiman sekeluarga dan seorang paman yang tidak pernah lagi ditemukan jasadnya membuat Yusuf menjadikan kuburan missal sebagai tempat untuk berziarah.
Tidak usah ditanya lagi bagaimana perasaan dan sesak dadanya setiap kali melewati tanggal 26 Desember? setiap tahun. Kepedihannya belum seberapa dibandingkan warga Aceh lainnya yang kehilangan 60 orang dalam satu ikatan keluarga mulai dari kakek-nenek hingga keponakan yang hilang di daerah Cot Langkeuweuh.
Musibah besar yang telah menimpa Aceh lima tahun silam telah berlalu meninggalkan berbagai kenangan pahit bagi seluruhkeluarga yang ditinggalkan. Namun peristiwa itu justru telah menciptakan perubahan besar? bagi masyarakat Aceh sekaligus menimbulkan simpati dunia dan membuka jalan perdamaian untuk mengakhiri konfik pada 15 Agustus 2005.
Jalan perdamaian setelah 29 tahun pertikaian itu dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dan berhasil mengakhiri konflik di Aceh dengan formula: “Tidak ada yang disetujui sampai segala sesuatu disetujui”. MoU perdamaian yang ditandatangani di Helsinki , Finlandia itu akhirnya menghasilkan UU no 16/2006 tentang pemerintahan Aceh.
Kini peringatan Tshunami Aceh tidak lagi dipandang semata-mata untuk mengingat kembali kehancuran yang telah terjadi dan malapetaka. Sebaliknya menjadi? event nasional tahunan yang dilaksanakan pemerintah daerah bekerjasama dengan stakeholder lainnya seperti unsur? dan tokoh masyarakat, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota, perwakilan lembaga negara donor,? NGO dari dalam dan luar negri hingga para pelajar.
Mewakili pemerintah pusat, Wapres Budiono kali ini menghadiri? Peringatan Lima Tahun? Tsunami Aceh yang di pusatkan di KomplekPelabuhan Ulee Lheu, Gampong Pante Cermin dihadiri sedikitnya 6000 orang.
Konflik berkepanjangan dan Tsunami? menjadi dua peristiwa besar yang melahirkan berbagai tragedi kemanusiaan di? tanah rencong? memang membawa dampak positif dan negatif bagi masyarakat Aceh.
Saat ini, kata Yusuf, ada sebagian masyarakat yang belum pulih dari trauma dan menjadi gila karena tak kuat atas ujian hidup yang dihadapinya kehilangan semua anggota kelurga.? Sesaat pasca gempa dan tsunami warga Aceh bukan hanya di uji soal keimanan dan ketaqwaannya? kepada Allah SWT tetapi juga diuji dengan hawa nafsu.
Mereka yang sebelum tsunami hidup berkecukupan dan memiliki rumah besar, setelah Tsunami mendadak kaya raya menyewakan rumahnya untuk kantor perwakilan negara donor dan NGO. Harga sewa rumah melambung yang sebelumnya hanya Rp 1 juta per tahun mendadak jadi Rp 30 juta. Bahkan banyak pula pengusaha property dadakan karena piawai memanfaatkan peluang menggetok pihak-pihak yang memberi bantuan dengan menyewakan rumah seharga Rp 500 juta per bulan.
Said, warga Aceh lainnya bercerita, tidak sedikit pula teman-temannya yang membantu LSM asing mengalami gegar budaya, bergaya hidup seperti orang Barat. Ketika para NGO asing kini meninggalkan Aceh, teman-temannya sekampung itu sulit? ikut bergotong royong lagi? dengan warga kampung karena paska Tsunami mereka bekerja membangun? proyek-proyek mendapat bayaran? minimal Rp 35.000.
Bagi anggota masyarakat yang tidak mengalami langsung dua peristiwa konflik dan Tsunami seperti dokter hewan? Agam yang bekerja di proyek pemberdayaan masyarakat di desa tertinggal Maheng. Semangatnya untuk mendukung pembangunan Aceh kembali diwujudkannya dengan membimbing masyarakat desa beternak ikan lele dumbo dan ternak kambing peranakan Etawa.
''Dulu orangtua sering menggambarkan Maheng sebagai daerah? menakutkan tempat GAM. Desa terpencil dan miskin itu kini sudah diubah menjadi daerah pertanian yang subur. Masyarakat? dibantu dua yayasan setempat maupun dari Thailand kini menanam jagung, buah naga, sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai sumber penghasilan.''
Seperti halnya Muhammad Yusuf, introspeksi dan membangun semangat untuk mendukung pembangunan Aceh kembali juga dilakukan oleh Dede, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang telah kembali pada keluarganya paska konflik. Hidup di hutan dan bukit-bukit Pucok Krueng bersama teman-temannya sudah ditinggalkan dan beralih profesi menjadi pemandu wisata.
''Dulu saya ingin menjadi TNI tapi tidak pernah lulus tes, namun keinginan memanggul senjata dan akumulasi kekecewaan lainnya membuat saya memilih menjadi anggota GAM,'' kata Dede.
Paska konflik dan kembali ke rumah, ayahnya langsung menghajarnya bukan menyambut anak yang sudah lama tidak pulang. ''Cuma satu kali saja saya dihajar habis oleh ayah tapi setelah itu kami berkumpul lagi dalam suatu keluarga yang normal hingga menikah. Istri sayapun sudah saya tunjukkan dimana saja tempat kami bergerilya dan kucing-kucingan dengan TNI dulu,'' tandasnya.
Peringatan Renungan Lima Tahun Tsunami memang tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita anak negeri semasa konflik, namun kedua peristiwa itu yang pasti telah membangkitkan seluruh unsur masyarakatnya untuk saling mendukung, mengisi pembangunan kembali Aceh ke arah kehidupan yang lebih baik. (oleh : Hilda Sabri Sulistyo)