Sabtu, 16 Januari 2010

PEREMPUAN: KEKERASAN KEMBALI TERJADI DI ACEH


Perempuan Aceh kembali mengalami kekerasan, kali ini korbannya mahasiswi (20) di Langsa. Mahasiswi itu diduga diperkosa tiga polisi syariah (Wilayatul Hisbah/WH) di kantor WH di Kota Langsa.

Kepala Kepolisian Resor Langsa Ajun Komisaris Besar Yosi Muhammartha mengatakan, polisi sudah menangkap dua anggota WH yang diduga kuat melakukan pemerkosaan dan masih mengejar satu tersangka lain (Jakarta Post, 12/1).

Sebelumnya Serambi Indonesia (www.serambinews.com) pada Minggu (10/1) melaporkan, petugas WH menangkap mahasiswi tersebut bersama teman laki-lakinya, Kamis (7/1) siang, di tepi jalan lingkar luar PTPN-1 Langsa. Keduanya diduga melanggar qanun tentang berkhalwat (berdua-dua di tempat sunyi yang mengarah pada zina). Sementara si laki-laki dilepas, mahasiswi tersebut tetap ditahan di kantor WH. Jumat (8/1) pagi seorang anggota WH melihat mahasiswi tersebut terus menangis. Saat ditanya, mahasiswi itu mengatakan diperkosa tiga anggota WH yang bertugas pada Jumat dini hari.




Reaksi


Kekerasan seksual itu mengundang reaksi keras masyarakat. Aliansi Masyarakat Pemerhati Hak Perempuan yang terdiri dari 24 organisasi masyarakat sipil dan perguruan tinggi di Aceh menuntut kekerasan itu diusut tuntas. Reaksi keras tersebut menyangkut pemerkosaan itu sendiri dan wewenang WH.

Qanun No 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam Bab VI tentang pengawasan, penyidikan, dan penuntutan Pasal 14 Ayat 3 dan 4 menyebutkan, WH berwenang menegur dan menasihati pelanggar. Jika pelanggar tak berubah, WH menyerahkan kasus itu kepada penyidik (polisi). Dengan kata lain, WH tidak berwewenang menahan dan memeriksa. Karena itu, penahanan oleh WH melanggar ketentuan hukum dan melampaui batas kewenangannya.

Aliansi menuntut agar kepolisian dan kejaksaan Langsa menyelesaikan kasus ini ke pengadilan, bukan melalui cara kekeluargaan karena pemerkosaan adalah perbuatan kriminal yang merusak martabat kemanusiaan dan harga diri korban. Qanun No 6/2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Pasal 20 Ayat 1 menyebutkan, semua perempuan Aceh yang menghadapi masalah hukum wajib diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Formalisasi”Definisi berkhalwat multitafsir. Sebelumnya disebutkan berkhalwat adalah keadaan di mana perempuan dan laki-laki berdua-dua di tempat sunyi yang mengarah ke zina. Dalam perkembangannya, berkhalwat hanya diartikan berdua-dua di tempat sunyi,” kata Ketua Dewan Pengurus LBH APIK Aceh Samsidar.

Selain ketidakjelasan definisi ”mengarah ke zina” dan ”bersunyi-sunyi”, pun qanun memberi kesempatan masyarakat berpartisipasi mengatur sehingga memperbesar kemungkinan beda penafsiran.

Menurut Samsidar, pada tahun 2005 ketika masih menjadi pelapor khusus situasi perempuan Aceh untuk Komnas Perempuan, dia sudah mengajukan desakan agar qanun berkhalwat direvisi atau dihilangkan.

Aktivis perempuan Lies Marcoes Natsir yang dua tahun terakhir terlibat dalam pemberdayaan hakim-hakim di Aceh, terutama menyangkut hak-hak perempuan dan keadilan jender, melihat kekerasan seksual adalah masalah mendasar ketidaksetaraan relasi jender dan relasi kekuasaan.

Pemerkosaan terjadi juga karena WH merasa punya kekuasaan lebih besar dari polisi sebab mendapat mandat menjaga moral masyarakat.

”Yang paling berbahaya dari hukum yang berakar dari agama adalah subyek hukum tidak setara dan penguasa cenderung sewenang-wenang. Hukum nasional berasal dari hukum adat atau adaptasi dari hukum Barat (Belanda) yang buatan manusia sehingga bisa didiskusikan, sementara yang berasal dari agama menjadi mutlak (menurut penafsir), lebih tinggi posisinya karena dianggap berasal dari agama,” kata Lies.

Reaksi pejabat pemerintah, antara lain Ketua DPRD yang mengatakan kesalahan adalah pada perekrutan anggota WH, menurut Lies, mengecewakan. Pemerkosaan adalah masalah sistemik dan menjadi ancaman terus-menerus karena relasi jender dan relasi kekuasaan yang tak setara.

Lebih jauh lagi, menurut pekerja hak-hak perempuan dan mantan komisioner Komnas Perempuan, Ita F Nadia, pemerkosaan ini memperlihatkan kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan melalui formalisasi agama untuk kepentingan ”keteraturan sosial”.

Perkembangan ini memperlihatkan di Aceh tengah terjadi formalisasi agama melalui pelaksanaan syariah. Yang menjadi fokus dalam pembuatan aturan formal untuk mengatur tata kehidupan masyarakat adalah pengaturan cara berpakaian, simbol-simbol perempuan saleh, pengaturan moralitas hingga ruang publik yang lebih patut bagi perempuan.

”Tidak pernah diungkap esensi syariah untuk kemaslahatan umat, misalnya bagaimana memerangi kemiskinan, menerapkan keadilan,” ujar Ita.

Di balik formalisasi agama lewat pengaturan tubuh dan moralitas perempuan adalah politik kekuasaan yang menjadikan tubuh dan seksualitas perempuan sebagai yang bertanggung jawab dalam menciptakan ”ketertiban, keberlanjutan, dan ketenteraman” tatanan sosial masyarakat.

Karena itu, kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan menjadi tanggung jawab pemilik aturan sosial kekuasaan, yaitu laki-laki, bukan milik perempuan. Dalam kasus pemerkosaan ini, WH menganggap berhak menahan dan menghukum perempuan yang dianggap melanggar aturan yang berlaku.

Samsidar dan Lies-Marcoes berpendapat, berbagai kekerasan terhadap perempuan di Aceh seyogianya menjadi pertimbangan meninjau lagi dualisme hukum di Aceh, yaitu antara hukum nasional dan hukum syariah, karena Aceh adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga harus memberlakukan hukum nasional.

”Pemulihan korban dan langkah hukum adalah keharusan seraya mengubah syariah menjadi lebih manusiawi, adil, berperspektif jender dan mengakui hak-hak perempuan,” kata Ita. (Ninuk M Pambudy/KP)