Jumat, 08 Januari 2010

MERASAKAN TOPAN DAN GEMPA DI JEPANG


Terjangan badai hujan berkecepatan 50-70 kilometer per jam sangat terasa di sekujur tubuh, membuat badan sedikit oleng. Begitu juga guncangan hebat gempa berkekuatan 7,3 sampai 9 skala Richter.

Tidak ada kepanikan, kecuali menarik napas panjang, bahkan dengan sedikit senyuman tertahan. Itulah pengamalan unik di gedung simulasi bencana topan dan gempa di Tokyo, Jepang, November lalu.

Pemerintah Jepang memang menyiapkan gedung simulasi dan latihan menghadapi bencana gempa dan topan, lebih-lebih setelah gempa dahsyat memorakporandakan Kobe tahun 1995.

Jepang memang sangat serius mengantisipasi bencana gempa, topan, dan tsunami, yang bisa datang menerjang tiba-tiba setiap saat. Paling tidak, setahun sekali dilakukan simulasi menghadapi bencana topan, gempa, tsunami, dan banjir.

Tidak mengherankan, setiap hari masyarakat umum, rombongan anak sekolah, dan pegawai perusahaan berbondong-bondong ke gedung simulasi untuk melatih memadamkan api, menyelamatkan diri dari gempa, tsunami, dan banjir.

Kesadaran tentang ”hidup bersama bencana” itu cukup meluas. Setiap warga masyarakat, tanpa terkecuali, tidak hanya diingatkan, tetapi juga dilatih secara rutin bagaimana mengantisipasi dan menghadapi bencana topan, gempa, tsunami, dan banjir.

Setiap orang diasumsikan dapat bertahan sendiri sampai setengah hari setelah bencana datang, sebelum pertolongan dan penyelamatan tiba. Maka setiap rumah tangga di Jepang umumnya menyediakan cadangan air minum untuk tiga hari dan makanan khusus yang memadai.

Tidak ketinggalan senter untuk mengantisipasi kemungkinan listrik padam ketika bencana datang pada malam hari. Juga tidak boleh lupa pula radio, yang dibutuhkan untuk menyimak siaran berita tentang bagaimana menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman.

Ketika gempa dan topan datang, penduduk yang hidup di pesisir diingatkan soal bahaya tsunami, sementara penduduk di lereng gunung diminta waspada terhadap longsor.

Perubahan mendasar

Segala bentuk simulasi dan antisipasi yang dikembangkan memperlihatkan kesadaran dan perilaku bangsa Jepang, yang berubah secara mendasar sejak gempa dahsyat memorakporandakan Kobe di Prefektur Hyogo tahun 1995.

Guncangan gempa berkekuatan 7,3 skala Richter pada musim dingin bulan Januari itu menimbulkan trauma besar, antara lain karena menewaskan sekitar 6.000 orang dan menghancurkan sekitar 100.000 rumah penduduk.

Sekalipun sisa gempa itu tidak terlihat jelas lagi, kecuali di museum, tragedi 15 tahun lalu itu mengubah kesadaran pemerintah dan bangsa Jepang.

Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Nishimura Chinami menyatakan, bencana itu membawa perubahan, tak hanya bagi Kobe, tetapi juga bagi seluruh negeri. Perempuan berlatar belakang ilmuwan itu mengungkapkan, masyarakat Jepang terus disadarkan tentang pentingnya mengantisipasi bahaya gempa. Hal senada ditegaskan Gubernur Prefektur Hyogo Toshizo Ido dalam pertemuan di kantornya di Kobe.

Gedung sekolah andalan

Tidak kalah penting membangun tempat-tempat perlindungan jika benar-benar bencana datang. Pemerintah Jepang dengan sengaja merancang gedung sekolah dasar dan gedung sekolah menengah atas, yang menjadi milik komunitas lokal, agar tahan gempa. Sejumlah bangunan publik pun dibangun tahan gempa.

Gedung sekolah dirancang sebagai tempat perlindungan dan berteduh jika bencana datang. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah pengalaman pahit yang terjadi saat gempa tahun 1995 karena banyak orang telantar.

Di setiap gedung sekolah disediakan cadangan air minum, bahan makanan yang awet, senter, dan sejumlah perlengkapan untuk kebutuhan menghadapi bencana. Secara sengaja memang disiapkan makanan khusus yang tahan lama dan kemasan air yang tahan sekitar dua tahun.

Seiring dengan langkah itu, aparat pemerintah terus mengawasi proses pembangunan gedung dan rumah agar tahan terhadap gempa. Secara berkala pula dinas pemadam kebakaran memeriksa lorong-lorong di gedung agar tidak terhambat oleh barang yang dapat mengganggu proses evakuasi.

Jelas sekali, kegetiran atas tragedi gempa di Kobe telah mengubah secara mendasar kesadaran dan perilaku bangsa Jepang agar lebih siap menghadapi amukan topan, tsunami, dan gempa yang bisa datang tiba-tiba.(Rikard Bangun/kp)