Senin, 31 Mei 2010

ARTIKEL: FENOMENA GOLPUT HANTUI PUTARAN KEDUA PILKADA MEDAN



Oleh : Usep Kurnia

Hasil rekapitulasi Pilkada Medan 12 Mei lalu sangat memprihatinkan akibat tingginya angka golongan putih (golput) dan rendahnya partisipasi warga Medan. Partisipasi warga Medan terendah dibandingkan dengan daerah lainnya yang menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Sumatera Utara. Pilkada Medan akhirnya harus digelar dua putaran karena dari sepuluh pasangan tidak ada yang melampaui garis 30 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Harapan saat ini tertuju pada kontes putaran kedua yang menurut Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Medan digelar pada 19 Juni 2010. Penetapan tanggal 19 Juni sepertinya merupakan keputusan final yang diambil oleh KPUD Kota Medan setelah sebelumnya mengubah tanggal penetapan dari 16 Juni dimajukan menjadi 15 Juni dengan alasan takut partisipasi akan semakin anjlok karena bersamaan dengan adanya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNPTN) di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

KPUD Medan selanjutnya mengundurkan jadwal pemungutan suara menjadi 19 Juni dengan dengan alasan terlalu berdekatan dengan tanggal putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan pasangan Arif Nasution- Supratikno, yakni 11 Juni 2010. Menurut KPUD Medan tanggal 19 Juni juga sudah disepakati oleh kedua pasangan.

KPUD Medan memilih tanggal 19 Juni dengan harapan akan meningkatkan partisipasi publik dalam Pilkada dari sebelumnya hanya sekitar 35,66 persen menjadi lebih dari 50 persen. Suatu usaha yang wajar di tengah apatisme warga dalam menggunakan hak pilihnya. Sabtu, 19 Juni, menjadi pilihan KPUD Medan dengan asumsi bahwa saat itu hari libur sehingga tidak ada alasan para karyawan untuk mangkir dari pemilihan.

Namun yang menjadi pertanyaan apakah asumsi KPUD Medan itu akan sesuai dengan kenyataan yakni terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat? Tentu hal ini baru akan terlihat seusai pemungutan suara nanti. Hanya saja, KPUD Medan perlu mengevaluasi mengapa partisipasi publik rendah bahkan terendah bukan hanya di Kota Medan dan Sumatera Utara melainkan juga di Indonesia.

KPUD Medan saat ini memiliki waktu singkat untuk membalikan apatisme publik. KPUD Medan berharap dalam waktu singkat ini angka 35 persen berbalik setidakny menjadi 53 persen. Tentunya semua daya dan upaya sosialisasi harus dikerahkan dalam membujuk publik agar sadar menggunakan hak pilihnya.

Akan tetapi, kekhawatiran tetap menghantui putusan KPUD Medan tentang tanggal 19 juni ini. Bukankah setelah dianalisa pemungutan suara tanggal 12 Mei tidak tepat, karena sehari berikutnya libur nasional yang berujung pada libur panjang akhir pekan. Akibatnya walaupun tanggal 12 Mei diliburkan, bukannya mendorong warga beramai-ramai ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) tapi justru banyak yang berbondong-bondong berlibur ke sejumlah tempat rekreasi.

Lalu, apa bedanya dengan Sabtu tanggal 19 Juni yang sehari berikutnya juga libur Minggu? Tentunya tidak tertutup kemungkinan warga yang sudah apatis itu juga memilih pergi berlibur ketimbang antri ke TPS. Jika hal itu terjadi maka sulit untuk KPUD Medan dapat meningkatkan partisipasi warga.

KPUD Medan tentunya dapat melakukan tindakan lain berupa mengintesifkan sosialisasi. Namun dalam proses sosialisasi baik langsung maupun melalui media massa hanya akan diperoleh tiga dampak yaitu kognitif yakni bertambahnya pengetahuan publik; afektif yaitu mengubah perasaan tertentu suka atau tidak suka; dan konatif yaitu tindakan nyata apakah mengikuti anjuran atau menolak anjuran.

Dalam kontek Pilkada Medan sebenarnya masyarakat sudah melampau efek pertama yaitu kognitif. Jika ditanya kepada masyarakat apakah mereka tahu ada Pilkada Medan? Kebanyakan jawaban mereka pasti menjawab, tahu. Masyarakat jelas tidak buta dan tuli dengan informasi baik langsung melalui aparatur pemerintahan di tingkat lingkungan, atau tidak langsung melalui sosialisasi media luar ruang seperti beragam spanduk dan baliho yang berserakan dan sosialisasi melalui media massa cetak dan elektronik tentang adanya pilkada.

Walaupun sudah digempur berbagai sosialisasi, pada pase afektif dan konatif yang kurang menyentuh hati masyarakat. Di benak masyarakat justru dominan adalah perasaan tidak peduli yang berdampak pada pada penolakan partisipasi. Keadaan ini sebenarnya bukan hanya menjadi tugas KPUD Medan melainkan juga butuh peranan antara lain calon walikota beserta partai politiknya, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.

Bagi kedua calon beserta partai pendukungnya yang akan bertarung pada grand final Pilkada Medan tentunya jumlah partisipasi publik yang meningkat merupakan pertaruhan yang harus diperjuangkan. Jika partisipasi tinggi pastinya akan menambah legitimasi yang besar kepada kandidat yang menang. Sebaliknya jika partisipasi tetap rendah atau bahkan menurun menunjukan tidak paripurnanya legitimasi yang disandang oleh pemenang.

Pilkada putaran kedua sangat berpotensi membuat partisipasi meningkat dan menurun dibandingkan dengan putaran pertama. Partisipasi bisa meningkat apabila jumlah golput yang mencapai 65 persen berhasil distimulus. Sebaliknya akan menurun dengan alasan antara lain: rakyat semakin bosan, rakyat memanfaatkan waktu pemungutan suara untuk berlibur, rakyat tidak percaya terhadap janji yang dikemukakan dua kandidat, rakyat menjadikan golput gerakan perlawanan aktif sebagai wujud frustasi politik, dan rakyat yang memilih di putaran pertama tidak merasa perlu lagi memilih karena kandidat yang didukungnya pada putaran pertama sudah kalah.

Apabila prediksi itu terjadi, dapat semakin memperburuk hasil pilkada Medan.Tentunya kemungkinan turunnya tingkat partisipasi harus dicegah dari sekarang. Cara mencegah golput memang tidak mudah, tapi bisa dilakukan.

Peran Kandidat

Peranan yang paling besar mendongkrak partisipasi pemilih adalah dua kandidat dan mesin partai pendukungnya. Salah satu resep paling mujarab merangsang publik menggunakan hak pilihnya adalah mulai sekarang harus menjauhi ‘bohong’. Bohong adalah biangnya dosa.

Kedua kandidat wali kota harus mampu meyakinkan pemilih bahwa mereka tidak akan bohong. Dalam meyakinkan publik bisa dibuat berbagai macam cara misalnya kontrak politik tertulis dan lain sebagainya. Apabila dua kandidat dan parpol pendukungnya mengabaikan janjinya, maka setelah Pilkada selamanya rakyat tidak akan percaya. Perlu disadari keadaan sekarang ini pada hakekatnya adalah buah dari keadaan sebelumnya.

Seperti diketahui, wali kota Medan periode 2005-2010 bermasalah dengan hukum dikarenakan tidak amanah dan membohongi janjinya kepada rakyat . Misalnya program KTP gratis. Sampai sekarang warga tetap harus membayar untuk membuat KTP di Kota Medan meskipun berdasarkan janji Wali Kota Medan digratiskan. Penyalahgunaan uang rakyat dan pembangunan Kota Medan yang timpang.

Dua kandidat dan parpol pendukungnya harus objektif dan realistis mengikuti kemauan rakyat. Kandidat dan parpol harus menghilangkan hasrat keinginan berkuasa menjadi alat perjuangan rakyat menuju kesejahteraan dan keadilan sosial.

Sebagai perbandingan saya contohkan pilkada di Kota Solo, Jawa Tengah, yang digelar pada 26 April 2010 lalu. Partisipasi rakyat Solo mencapai 71,80 persen. Di daerah itu memang cuma ada dua kandidat yaitu incumbent Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo (PDIP, PKS, dan PAN) melawan pasangan Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi (Golkar-Demokrat).

Pasangan Joko Widodo-FX Hadi memperoleh suara fantastis 248.243 (90,09 %). Jauh meninggalkan lawannya Eddy-Supradi yang hanya memperoleh 27.306 (9,91%). Sebuah kemenangan mutlak yang jarang terjadi di pilkada manapun di tanah air.

Mengapa pasangan Joko Widodo-FX Hadi bisa meraih kemenangan fenomenal? Penyebabnya tidak lain karena di masa kepemimpinannya Joko Widodo dekat dengan rakyat, senantiasa menjauhi ‘bohong’, dan berupaya semaksimal mungkin bertindak amanah. Selama menjadi Wali Kota, Joko Widodo mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin yang mengayomi, bukan penguasa yang mengakali.

Pelajaran dari Solo tentunya dapat diambil hikmahnya oleh dua kandidat dan parpol yang saat ini bertarung menuju Balai Kota Medan. Dua kandidat dapat meningkatkan voting behavior (prilaku memilih) rakyat sebagaimana dijelaskan secara teorotis dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pertama, pendekatan sosiologis, yakni menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan prilaku pemilih.

Kedua pendekatan psikologis, yaitu mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi. Kandidat harus rajin mendatangi dan berdialog dengan konstituen untuk menjalin ikatan psikologis sehingga terbangkitkan rasa tanggung jawab konstituen untuk menggunakan hak pilihnya.

Ketiga adalah pendekatan politis rasional, yaitu menggulirkan isu-isu politik yang nyata dan rasional. Pendekatan politis rasional ini diadaptasi dari ilmu ekonomi yaitu yang berhubungan dengan perhitungan untung rugi dalam menentukan pilihan politiknya. Kalkulasi ini berkaitan dengan kandidat mana yang menawarkan program-program sesuai dengan preferensi politiknya.

Isu-isu politik yang akan dijual harus riil, rasional dan dapat dilaksanakan sehingga dapat meyakinkan rakyat. Tidak perlu lagi terlalu membesarkan isu suku, agama, ras, dan antar gologan (SARA). Isu SARA justru hanya akan mengkotak-kotakan rakyat sehingga berpotensi mengggangu kondusifitas Kota Medan sebagai miniatur pembauran di Indonesia.

Manusia terkadang memang tidak bisa dinilai berdasarkan SARA. Apabila SARA menjadi acuan tentunya Wali Kota Medan yang terdahulu tidak akan terjerat hukum karena korupsi. Karena kita tahu korupsi dalam hukum agama dan pandangan suku apapun adalah haram.

Isu SARA juga hanya akan menjadi satu hambatan yang justru dapat berdampak semakin lemahnya partisipasi publik. Sebab apakah kita yakin suku atau agama tertentu lebih akan punya tanggung jawab moral yang lebih baik kepada suku asalnya atau agama yang dianutnya? Bukankah kita tahu bahwa yang terpenting dalam kepemimpinan di tengah masyarakat yang pluralis adalah amanah dan keadilan untuk semua.

Penulis adalah Mahasiswa S2, Ilmu Komunikasi Islam IAIN Sumut)