Selasa, 18 Mei 2010

DBD DI RUMAH MEWAH: PENGASAPAN YANG TERLALU SERING MERUSAK EKOSISTEM


Jakarta - Pemberantasan sarang nyamuk di permukiman elite kerap menemui kendala, antara lain, rumah kosong dan kurang pedulinya pemilik rumah. Padahal, serangan nyamuk demam berdarah dengue bisa terjadi di mana saja, termasuk di permukiman mewah.

Kepala Suku Dinas (Sudin) Kesehatan Jakarta Pusat Angliana Dianawati, Senin (17/5), mengatakan, ada kesulitan teknis bagi juru pemantau jentik (jumantik) untuk memeriksa jentik di rumah mewah dan memberitahukan pemberantasan sarang nyamuk kepada pemilik rumah mewah. Kesulitan itu terjadi karena pemilik rumah tidak ada di tempat atau tidak mengetahui kedatangan jumantik.

”Kami bekerja sama dengan lurah setempat agar lurah ikut mencari pemilik rumah yang kosong,” ucap Angliana.

Hingga kemarin, ada 958 penderita DBD sepanjang tahun 2010 di Jakarta Pusat. Selama 1-17 Mei, penderita DBD asal Jakarta Pusat berjumlah 13 orang, 5 di antaranya berasal dari Kecamatan Menteng. Padahal, Menteng termasuk kecamatan dengan banyak rumah mewah.

Dari total 958 kasus DBD di Jakarta Pusat, 248 orang berasal dari Kecamatan Kemayoran. Kemayoran adalah salah satu kecamatan yang padat penduduk.

Angliana mengatakan, pemeriksaan jentik di permukiman padat umumnya lebih mudah karena pemilik rumah terbuka bagi jumantik.

Petugas jumantik di Jakarta Selatan juga kesulitan mengawasi jentik nyamuk di permukiman elite. Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Selatan Hakim Maulana Siregar mengatakan, perkembangan nyamuk Aedes aegypti di permukiman elite tak terpantau.

”Masyarakat di daerah itu cenderung mengabaikan genangan air di sekitar rumah mereka. Penghuni mungkin tidak terjangkit DBD karena jarang di rumah. Namun, warga sekitar yang menjadi korban,” katanya.

Merusak ekosistem

Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, sejak Januari hingga minggu ketiga Mei, ada 40-60 pasien setiap hari. Jumlah pasien yang meninggal dunia 9 orang. ”Jumlah pasien belum turun. Namun, jumlah ini masih dalam batas toleransi karena belum sampai 100 orang per hari,” kata Kepala Humas RSUP Fatmawati Atom Khadam.

Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Barat Yenuarti mengingatkan bahaya pengasapan dalam penanggulangan DBD. ”Jika tidak tepat, pengasapan merusak ekosistem yang membuat pemangsa nyamuk mati,” ujarnya.

Ketidaktepatan pengasapan terjadi jika merek obat di luar rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sehingga takaran dan campuran obat berlebihan. Menurut Yenuarti, obat untuk pengasapan tak selalu manjur karena nyamuk penyebar DBD mengalami proses kekebalan. ”Jadi, salah jika ada anggapan, satu lokasi tertentu harus diasap ketika ada penderita DBD di sana,” kata Yenuarti.

Sejak Januari hingga Jumat lalu, ada 326 penderita yang diduga DBD di Kecamatan Cengkareng, 89 di Grogol Petamburan, 166 di Kebon Jeruk, 202 di Kembangan, 137 di Palmerah, 115 di Tamansari, dan 87 orang di Tambora. (NDY/WIN/ART/KPS)