Kamis, 20 Mei 2010

SELAMATKAN BANGUNAN BERSEJARAH DI MEDAN


DIRUNTUHKANNYA gedung yang pernah menjadi kantor Dinas Perkeretapian Belanda di Medan kembali menyentakkan kita.

Peruntuhan gedung ini bukan hanya menunjukkan bahwa kita kembali gagal melindungi gedung-gedung bersejarah di kota ini, tapi juga menunjukan bahwa kita merupakan bangsa yang senang melupakan sejarah.

Gedung yang dahulu merupakan kantor Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), terletak di perempatan jalan Timor dan Jalan Perintis Kemerdekaan itu, kini telah rata dengan tanah. Hanya tinggal satu gedung -- yang amat pasti segera juga akan dihancurkan.

Padahal bangunan ini jelas merupakan bangunan bersejarah yang harus dilindungi. Gedung ini dibangun pada 1915 dan karena dipakai oleh Dinas Perkeretapian Belanda, gedung ini tak dapat dipungkiri merupakan bagian dari sejarah kota Medan. Ditambah dengan arsitekturnya yang khas, gedung ini jelas memiliki nilai sejarah yang amat tinggi.

Penghancuran gedung DSM ini dilakukan tak lama setelah diruntuhkannya bangunan bersejarah lainnya, Villa Kembar, di Jalan Dipenegoro. Bangunan dengan arsitektur khas Melayu ini dibangun pada 1890-an yang pernah menjadi penginapan bagi pengusaha asing yang datang ke Medan.

Penghancuran gedung ini menambah daftar banyaknya gedung-gedung bersejarah di kota Medan -- dan juga di kota-kota lain di Indonesia -- yang diruntuhkan dan diganti dengan gedung-gedung modern.

Penghancuran gedung-gedung bersejarah ini jelas merupakan cermin dari sikap bangsa Indonesia dalam menilai sejarahnya sendiri. Bangsa ini memang begitu mudah melupakan sejarah, menghapus jejak jejak bangsa di masa lalu.

Kebijakan kita atas gedung-gedung bersejarah ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara lain di dunia, terutama negara-negara Eropa. Mereka begitu menghargai sejarah dan menerapkan kebijakan yang keras terhadap bangunan bangunan bersejarah. Tidaklah mengherankan jika berada di kota-kota Eropa, kita menyaksikan gedung gedung tua dan bersejarah begitu amat terpelihara. Gedung-gedung itu dijadikan landmark dan menjadi destinasi wisata utama. Entah kapan bangsa Indonesia bisa meniru sikap bangsa Eropa ini.

Sebagian masyarakat kita memang sempat mengeluarkan protes atas penghancuran gedung-gedung ini. Tapi pemerintah kita, baik aparat maupun institusi terkait, seakan tidak peduli, sehingga jeritan protes itu hanya terdengah lirih dan berhenti begitu saja.

Roda modernisasi ala Indonesia memang begitu kejam melindas peninggalan bersejarah kita. Kepentingan komersial begitu kuatnya sehingga faktor sejarah dianggap tak berarti. Para pemilik modal yang membeli gedung dan lahan bersejarah itu secara resmi dari sisi hukum dengan begitu leluasanya menghancurkan gedung-gedung bersejarah ini dan menggantikannya dengan gedung-gedung modern, yang memberikan keuntungan lebih dari segi komersial.

Dengan kekuatan para pemilik modal ini, maka harapan kita satu-satunya bagi penyelamatan gedung ini adalah pada pemerintah. Kita sangat mengharapkan pemerintah lebih serius dalam menangani bangunan-bangunan bersejarah.

Kita mengharap pemerintah bisa tegas dalam melarang penghancuran gedung gedung ini, karena memang pemerintah lah yang punya kekuatan untuk mencegah para pemilik modal menghancurkan gedung gedung ini.

Pemerintah dan juga para pemangku kepentingan lainnya seharusnya memiliki strategi -- baik secara hukum maupun komersial -- untuk menyelamat gedung-gedung bersejarah ini.

Kita akui bahwa dana yang dimiliki institusi terkait sangat terbatas, tapi itu bukan berarti menjadi alasan bagi aparat kita untuk mengangkat tangan menyerah dari para pemilik modal. Buatlah solusi agar pemeliharaan sejarah bisa sejalan dengan kegiatan komersial. Kalau Eropa bisa, mengapa kita tidak bisa ?