Senin, 17 Mei 2010

Wagub Aceh: Penerapan Syariat Islam di Aceh Baru Simbolis


Banda Aceh - Penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh yang sudah beberapa tahun diberlakukan, ternyata hingga kini masih sebatas simbolik yang dalam pelaksanaannya sangat radikal sehingga terkesan memperolok-olok agama untuk kepentingan tertentu.

Hal itu terjadi karena keterbatasan kualitas beragama dan suka menyimpang. Kenyataan penuh kekurangan itu menyebabkan masyarakat, kelompok masyarakat, sampai pejabat sering salah mengambil kebijakan atau membuat pernyataan tentang kehidupan sosial agama.

Demikian disampaikan Wakil Gubernur (Wagub) Aceh, Muhammad Nazar, pada acara pembukaan Haul (hari jadi) ke-35 Dayah Malikul Saleh Panton Labu, Aceh Utara dan Mubahasah (Diskusi) ulama dayah se-Aceh, di hadapan ribuan ulama, guru dayah dan santri, Sabtu (15/5).

"Kita masih saja jalan di tempat, kaku dan kurang kualitas dalam menerapkan agama. Paling-paling kita sibuk dan ribut-ribut terus dengan hal-hal simbolik. Pasti kita dengan mudah melihat orang lain telah menjadi kafir, sesat dan maksiat, lalu kita tangani pula dengan cara-cara yang sama dosanya dengan kekafiran, kesesatan dan kemaksiatan," ujar Muhammad Nazar.

Mengolok agama

Menurutnya, ada yang berpikir itu langkah benar yang menjamin orang sejahtera dan dapat menuju ke surga. Ternyata tidak, dan bahkan mengerdilkan, mengolokkan dan meradikalkan agama serta umatnya. Sehingga, agama kemudian mengalami distorsi, kehilangan daya tarik dan keagungannya.

Ini memprihatinkan, apalagi ini terjadi karena ulah orang Islam sendiri, termasuk pemimpin dan pejabat yang tidak paham Islam tapi ingin memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sehingga keadaan agama pasti tambah kacau.

"Karena itu kita harus bekerja keras dan berjuang serius mengembalikan penerjemahan serta praktek Islam kepada keasliannya. Sehingga jangan sampai agama dipasang baju radikalisme dan ekstremisme. Agama bukan gerakan radikal dan bahan olokan," jelas Nazar.

Akan tetapi, ingatnya, agama Islam menciptakan umat dan manusia untuk melakukan gerakan kebaikan tanpa menyakiti siapapun.

"Maka marilah berhenti melakukan radikalisasi dan memperolok-olok agama. Kalau tidak paham agama, tanya dulu kepada yang paham baru berikan pendapat di media massa. Kalau mau masuk surga harus taat dan tidak boleh destruktif. Ini saya serukan kepada semua umat Islam, termasuk para pemimpin, politisi dan pejabat, supaya agama tetap menjadi jalan kebaikan dari Allah untuk semua manusia," terangnya.

Disebutkannya, masyarakat Aceh boleh saja bangga ketika orang luar menyebut Aceh sebagai daerah Serambi Mekkah. Tetapi pada saat yang sama jangan lupa berkaca terus-menerus karena saat ini begitu banyak persoalan umat Islam di Aceh yang harus ditangani bersama-sama.

"Persoalan tersebut sangat memprihatinkan. Apabila kita terlambat dan kaku menangani urusan agama, maka ada kemungkinan ke depan Aceh akan tidak layak lagi menjadi Serambi Mekkah dan tersisalah umat yang bermasalah," sebutnya.

Membangun peradaban

Masalah pembangunan, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi misalnya, semua haruslah memuat nilai-nilai Islam yang menciptakan peradaban atau tamaddun. Itu semua harus menjadi bagian Islam dan budaya masyarakat.

Namun, persoalannya, apakah kita memahami hal ini sehingga dapat melengkapi penerapan Islam secara total atau hanya menganggap hudud, jinayah dan ibadah mahdhah saja sebagai bagian dari Islam.

"Atau, apa yang kita lakukan di hadapan publik berdasarkan Qanun Syariat Islam hanya sebagai simbol dan langkah politik saja? Tentu akan sulit kita jawab serta jabarkan dalam tindakan keislaman yang benar kalau umat kita rendah kualitas SDM-nya, jika ulama perannya tidak lagi vital, jika dayah dan lembaga pendidikan lainnya tidak mampu mengubah," ujarnya.

Apalagi, jika regulasi serta kekuasaan tidak pro pembangunan nilai agama. Ditambah pula dengan perilaku dan sistem dunia global yang mau tidak mau pasti masuk juga ke Aceh dan siap mengalahkan nilai keislaman.

Di sisi lain, lanjutnya, sekarang ini di beberapa kabupaten/kota di Aceh didapatkan ada individu dan kelompok umat yang menyimpang.

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ada yang hendak mengimpor pemikiran radikal dan ekstrem, yang jauh dari kultur Aceh.

"Dulu pemikiran dan gerakan radikal itu lahir di Arab Saudi, Afghanistan dan beberapa negara Islam lain yang sangat teraniaya oleh kolonial serta imperialis barat. Jadi kolonialis dan imperialislah yang mendorong munculnya kekerasan mengatasnamakan agama. Sekarang orang Islam yang ikut terjebak," tambahnya.

Lalu dengan itu orang anti Islam menstigmakan terorisme, radikalisme dan ekstremisme kepada Islam.

"Ini harus dihentikan dengan baik, agar Islam dan umatnya menjadi rahmat, tidak dijauhi dan dibenci. Caranya dengan strategi pendidikan, kebudayaan dan ekonomi, juga penerapan syariat Islam berbasis formulasi yang mudah diterima kultur masyarakat setempat," katanya. (mhd/ANS)