Rabu, 12 Mei 2010

ARTIKEL: REPUBLIK MAFIA


Oleh Todung Mulya Lubis

Susno Duaji, seorang mantan Kabareskrim yang belakangan getol menjadi ”peniup peluit” (whistleblower) membongkar mafia di kepolisian, akhirnya ditahan oleh kepolisian. Dia diduga menerima suap dalam sebuah kasus.

Sejauh mana itu benar tentu pengadilan yang akan mengujinya, tetapi penahanan ini mengindikasikan bahwa nyanyian soal mafia ini bukanlah nyanyian yang sumbang. Penyelidikan dan penyidikan harus secara tuntas dilakukan karena soal mafia yang selama lebih dari satu dasawarsa dibantah, nyatanya sekarang diakui ada oleh pemerintah.

Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat serius dan bisa menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. Korupsi adalah persoalan global di mana tak sebuah negara pun yang tak terserang korupsi. Di banyak negara lain, gerakan pemberantasan korupsi menjadi gerakan nasional yang bergandeng tangan dengan gerakan global. Maka, muncul banyak terminologi yang dipakai untuk melawan korupsi, seperti perlunya good governance dan good corporate governance.


Sejalan dengan itu, berbagai survei dilakukan oleh beberapa lembaga internasional yang nyatanya menyedot perhatian dunia dan dijadikan rujukan di banyak negara termasuk Indonesia. Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh Transparency International selalu dipublikasikan luas dan dirujuk oleh Presiden di rapat kabinet. Tahun 2009, misalnya, IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada tahun 2008 yang 2,6. Indonesia termasuk negara yang tingkat korupsinya sangat parah dan di kawasan Asean masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Semua upaya pemerintah dalam memberantas korupsi tak mampu mengubah persepsi yang negatif tentang korupsi.

Kuartal terakhir 2009, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai terlibat kasus pembunuhan yang seperti sebuah cinta segitiga walau dikaitkan pula dengan adanya kasus yang ditangani. Kemudian dua komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditengarai menerima suap dan berseteru dengan kepolisian. Tuduhan ini ternyata tidak berdasar fakta, melainkan sebuah pelemahan terhadap institusi KPK sudah dimulai.

Publik mulai melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti sesuatu yang muskil. Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK ini berlangsung disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini membuat iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.

Barangkali Presiden sadar bahwa dia mesti melakukan sesuatu untuk merebut kembali kepercayaan rakyat. Sebuah tim, tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dibentuk sebagai ujung tombak pelaksanaan komitmen pemerintah memberantas korupsi. KPK mesti didukung, apalagi KPK mulai terserang semacam demoralisasi. Dalam keadaan seperti ini, sebuah survei dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang celakanya menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di antara 16 negara yang disurvei. Skor Indonesia adalah 9,27. Indonesia lebih buruk ketimbang Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), Malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Survei dengan rentang 0-10, 0 untuk negara paling bersih korupsi dan 10 untuk negara paling korup, menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada situasi terburuk di mana korupsi hampir sempurna. Sama sekali saya tak terkejut. Siapa pun tak seharusnya terkejut karena survei ini diadakan pascapelemahan KPK yang terjadi pada kuartal keempat 2009. Pesimisme memang sesuatu yang tak terhindarkan.

Apakah antisipasi terhadap persepsi yang semakin negatif ini yang membuat Presiden membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum saya tidak tahu. Namun, Satgas telah membuka kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara keras. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan telah berekor panjang: menyebar ke mana-mana sehingga sekarang masyarakat melihat bahwa ada tali-temali mafia hukum yang menyebar di kantor pajak, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, profesi advokat, dan lembaga pemasyarakatan.

Mereka disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam ”unwilling whistle blower” yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini terkuak. Proses hukum terhadap mereka ini tengah berjalan dan sejauh mana perkembangannya akan segera kita saksikan.

Yang pasti sekarang kata mafia hukum tak bisa terbantahkan lagi. Presiden menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa negara ini dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang seketika. Dalam negara yang korupsinya sistemik, endemik, dan merajalela, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memerangi korupsi. Yang penting adalah jangan pemberantasan korupsi ini hanya untuk politik pencitraan, hangat-hangat tahi ayam.

Pemberantasan mafia hukum ini harus semakin agresif walau saya lebih cenderung operasi pemberantasan mafia hukum ini difokuskan pada satu dua institusi saja. Menetapkan target sembilan mafia adalah target yang terlalu besar yang bisa jadi mengaburkan tujuan pemberantasan mafia hukum itu sendiri. Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau kepolisian, dan menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai ”island of integrity’” pulau integritas yang akan dijadikan model bagi pengembangan pulau-pulau lainnya.

Mengejar sembilan mafia akan membuat fokus pemberantasan mafia menjadi lemah. Di sini, pengalaman Hongkong yang berkonsentrasi pada kepolisian menjadi pelajaran menarik. Karena yang kita bangun di sini adalah sistem, reformasi sistem birokrasi. Bukan sekadar menjebloskan orang ke penjara. Kalau sistem itu tak dibangun dalam bangunan sistem birokrasi yang bersih, mafia akan tumbuh kembali, dan pelan atau lambat negeri ini akan jadi apa yang secara sinis dikatakan sebagai ”republik mafia”. Sekaranglah saatnya untuk mengatakan bahwa bukan mafia yang memerintah negara, melainkan negaralah yang berkuasa dan memerintah.

Todung Mulya Lubis Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia