Minggu, 09 Mei 2010

Deforestasi Jadikan Bumi Makin Panas


Oleh : Tauhid Ichyar

Aktivitas manusia senantiasa berlebihan, meninggalkan banyak persoalan lingkungan yang mempertaruhkan kelangsungan hidup manusia itu sendiri, meningkatnya panas bumi, menipisnya lapisan ozon, berubahnya lahan produktif menjadi padang pasir, gundulnya hutan tropis, susutnya sumber mata air, punahnya spisies-spesies tertentu dan hal lain yang merusak lingkungan.

Memprihatinkan bila sejenak kita memperhatikan fenomena alam yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, berbagai peristiwa tragis dan memilukan menimpa bangsa ini, gempa, banjir, atau tanah longsor. Bencana datang bagaikan pesanan siap saji yang menjadi langganan rutin, atau arisan propinsi silih berganti mendapat giliran, membawa korban jiwa dan harta yang tidak sedikit.

Tanpa didahului tanda-tanda alam semacam musim hujan atau panas, gempa bumi datang mengguncang, meninggalkan kepedihan yang dalam, sedangkan pada masa musim penghujan, maka hampir seluruh daratan rendah di Indonesia akan menerima banjir, baik banjir bandang maupun air pasang. Sementara pada daerah dataran tinggi akan terjadi longsor yang banyak mengambil korban jiwa, sebaliknya, bila musim kemarau datang, maka kebakaran dan pembakaran hutan banyak terjadi.

Kini masyarakat semakin menyadari pentingnya upaya mengatasi masalah lingkungan hidup. Di antara masalah lingkungan yang banyak mendapat perhatian publik adalah keterbatasan ketersediaan sumber daya alam, penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran serta eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Hutan Indonesia dengan aneka ragam tanaman pohon-pohonnya beberapa dekade lalu menutupi hampir 80-95 persen dari luas lahan total kepulauan nusantara, tutupan hutan total saat itu diperkirakan sekitar 170 juta Ha, flora dan fauna menikmati masa keemasannya, namun dalam perjalanannya, eksploitasi secara sistematis, terencana dan ambisius hingga mencapai degradasi kerusakan hutan hampir 98 juta Ha.

Tingkat deforestasi semakin meningkat seiring dengan ambisiusnya para penguasa dan pengusaha, menjadikan Indonesa kehilangan hutan potensial sekitar 17 persen pada priode 1985-1997, rata-rata kita telah kehilangan sekitar satu juta hektar hutan setiap tahun, ditahun 1980 dan sekitar 1,7juta ha/tahun pada tahun 1990an, sejak tahun 1996, deforestasi kelihatannya semakin meningkat lagi laju pembinasaannya hingga mencapai 2 juta Ha per tahun.

Pada tingkat yang membahayakan ini hutan dataran rendah Indonesia yang menyimpan keanekargaman hayati dan cekungan-cekungan sumber daya air semakin mempercepat proses eleminasinya.

Menurut World Research Institut dari seluas 130 juta hektar hutan Indonesia, hanya tersisa 28 persen karena 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun, yang berarti 7,2 hektar kerusakan hutan dalam 1 menit. (Kompas16/09/’08).

Kawasan hutan di Sumatera Utara berdasarkan SK Menhut No. 44/2005 mencapai 3,742 juta hektare, terdiri atas 447. 070 hektare hutan suaka alam dan kawasan pelestarian hutan, 1,297 juta hektare hutan lindung, 879.270 hektare hutan produksi terbatas, 1,036 juta hektare hutan produksi tetap dan 52.760 hektare hutan produksi yang dapat dikonversi.

Kawasan hutan ini meliputi 52,21 persen dari luas daratan yang mencapai 7,168 juta hektare. Namun sekitar 20 persen di antaranya atau seluas 748.424 hektare telah mengalami degradasi, sementara upaya rehabilitasi sejauh ini belum menunjukkan hasil signifikan.

Hutan Berkurang

Memprihatinkan, saat ini luas 3,742 juta hektare hutan di Sumatra Utara bakal berkurang sekitar 1,373 juta hektare atau 34 persen, sesuai usulan revisi terhadap SK Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan dari 18 kabupaten di daerah ini, seluruh kabupaten di Sumatera Utara yang wilayahnya terdapat hutan telah memasukkan usulan revisi terhadap SK Menhut Nomor 44 Tahun 2005.

“Total luas hutan yang berkurang sesuai usulan 18 kabupaten tersebut mencapai 1,373 juta hektare, sementara total kawasan hutan yang dipertahankan tinggal 2,370 juta hektare,” ujar Kasubdis Program Dinas Kehutanan Provinsi Sumut, Didim S Ilyas

Menurut Didim, program rehabilitasi kawasan hutan kritis membutuhkan biaya sebesar Rp15 juta per hektare untuk masa rehabilitas selama tiga tahun. “Dengan asumsi 20 persen hutan di Sumut mengalami kerusakan, maka dibutuhkan Rp11 triliun lebih untuk merehabilitasi seluruhnya, katanya.

Hutan di Sumut rusak akibat kebakaran hutan, praktik perambahan yang serampangan serta pencurian kayu secara ilegal. Tidak diketahui secara pasti berapa kerugian negara akibat kerusakan hutan di daerah itu. Namun demikian kerusakan hutan terbesar disebabkan praktik perambahan dan ilegal logging. Bila diteliti ternyata usulan pengurangan luas kawasan hutan itu sendiri seluruhnya untuk areal penggunaan lain (APL), meliputi perubahan fungsi hutan suaka alam, hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Koversi diperuntukkan bagi perluasan pemukiman penduduk dan perladangan pada kabupaten kota, ini menunjukan ketidak pedulian terhadap penyelamatan penyanggah resapan air. Masing-masing beralasan pengurangan luas kawasan hutan diantaranya, karena sebagian telah dirambah, telah dijadikan pemukiman oleh masyarakat, serta telah menjadi kawasan perkebunan sawit.

Acaman

Apa yang dicanangkan Pemerintah dipertengahan tahun 2003 yakni mengeluarkan kebijakan untuk mulai melakukan perbaikan lingkungan secara nasional melalui rehabilitasi hutan dan lahan seluas 300.000 hektar pada 15 daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia menjadi tidak sejalan tentunya dengan adanya revisi SK Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan.

Deforestasi, menjadikan bumi semakin panas, udara kian pengap, menipisnya lapisan ozon, berubahnya lahan produktif menjadi padang pasir, susutnya sumber mata air, punahnya spisies-spesies tertentu. Guyuran hujan deras selama musim penghujan tidak mampu mengisi air tanah pada daerah resapan, air hujan masuk ke dalam tanah, genangan air langsung masuk ke selokan dan sungai, dampak negatif yang ditimbulkan sesuai dengan fungsi hutan sebagai penyanggah resapan air, berkurangnya cekungan-cekungan waduk air bawah tanah, susutnya air permukaan, menurunnya daya dukung sumber air, puncaknya bencana banjir serta krisis air bersih melanda kita.

Siapkah kita bila suatu saat air minum menjadi barang langka dinegri yang pernah menjadi jambrut khatuliswa, sumur dan sungai kita mengering, kran-kran tak lagi menetes, jangan dinanti prahara kekeringan ditengah kita, selamatkan hutan kita. (penulis adalah pengamat dan pemerhati masalah lingkungan).