Senin, 10 Mei 2010

ARTIKEL: SIAP KALAH DAN MENANG DALAM PILKADA MEDAN


Oleh : Drs. Marihat Situmorang, M.Kom

Dua belas Mei 2010 akan menjadi sejarah khusus bagi Kota Medan. Seorang Walikota dan Wakil akan terpilih dari 10 pasang calon yang ada.

Hati masing- masing calon akan dag… dig… dug… mengapa tidak mereka akan bermimpin apakah bisa menjadi Walikota dan Wakil Walikota Medan lima tahun kedepan? Yang paling urgen lagi, apakah kesemuanya calon Walikota dan Wakil Walikota Medan ini bisa menerima kekalahan nantinya? Mengingat selama ini deklarasi siap kalah dan siap menang hanya menjadi seremonial. Semua pilkada rawan dengan gugatan karena ketidakpuasan dalam berbagai hal. Padahal sebelumnya sudah berjanji akan menerima kekalahan dengan legowo. Sebelum sampai ke final kekuatan dan komponen civil society perlu mendorong agar kita dalam berpilkada mampu menciptakan iklim politik yang kondisif dan saling mendidik.

Coba kita lihat di negara-negara maju, dalam setiap event kompetisi sekalipun ada kecurangan selalu mengatakan selamat kepada pemenang. Sudah lama kita menerjemahkan bahwa kekalahan adalah sesuatu yang memalukan dan menyakitkan. Padahal, kekalahan merupakan sebuah ujian Tuhan yang bertujuan untuk mengukur keimanan seseorang, sejauhmana dia mampu bersabar atas ujian yang diberikan Tuhan kepadanya. Semua ajaran agama menyatakan "Iman itu seperti dua sisi mata uang, yaitu sabar dan syukur."

Artinya keimanan seseorang dapat diukur dan dilihat dari implementasi nilai syukur jika mendapat nikmat dan sabar jika mendapat ujian dalam kehidupan. Dari hadis di atas dipahami bahwa seseorang belum dapat menyatakan dia memiliki iman yang teguh jika belum diuji oleh Tuhan. Banyak orang yang mengaku beriman, tetapi ketika tidak terpilih menjadi caleg (calon legislatif), dia kecewa, marah dan putus asa.

Demikian juga seorang mahasiswa tidak berhak mendapat gelar kesarjanaan sebelum menempuh sejumlah ujian yang diberikan oleh dosennya. Manusia akan mendapatkan kemuliaan dengan sejumlah gelar yang disandangnya jika dia lulus menempuh sejumlah ujian yang diberikan kepadanya. Demikian pula halnya manusia berhak mendapatkan kemuliaan di hadapan Tuhan setelah dia lulus menempuh dan menjalani sejumlah ujian dari Tuhan. Sudah menjadi hukum alam dan hukum sejarah yang ditetapkan Tuhan bahwa pribadi yang mau tumbuh dan berkembang kuat mesti dihadapkan lebih dahulu dengan sejumlah ujian dan cobaan agar seseorang atau bangsa dipaksa untuk menggali potensi yang masih tersembunyi (Kamaruddin Hidaya: Psikologi Kematian; 23).

Orang yang tidak mampu melihat secara jernih terhadap hakikat kekalahan dan tidak berpegang kepada hukum sebab-akibat, akan sangat mudah kehilangam visi dan energi hidup. Jika ditelaah lebih dalam, hakikat kekalahan (dalam konteks pilpres misalnya) merupakan bentuk kasih sayang Tuhan kepada yang bersangkutan.

Kesepuluh pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota tersebutt sudah berniat ikhlas mendedikasikan jiwa-raga dan waktunya pembangunan Kota Medan ini. Mereka berjuang menuju Medan-1 dan Medan-2.

Kita melihat sejumlah zikir didengungkan, dan sekian banyak doa dipanjatkan, namun jika ternyata Tuhan tidak mengabulkan doa/permintaannya bukan bermakna Tuhan tidak cinta dan sayang kepadanya. Justru ini merupakan bentuk kasih-sayangNya kepada manusia. Tuhan lebih tahu dan mengerti apa yang akan terjadi. Sama halnya ketika seorang anak meminta dibelikan sepeda motor kepada orangtuanya, atau seorang anak kecil menangis meminta dibelikan ice cream tetapi orang tuanya menolak permintaan sang anak. Tidak dikabulkannya permintaan sang anak sesungguhnya bukan bermakna orangtua tidak memberikan kasih sayang, justru cara inilah bentuk kasih sayang hakiki orangtua kepada anak, sebab mereka lebih mengerti apa yang akan terjadi jika permohonan itu dikabulkan.

Dengan demikian, hakikat kekalahan dalam sebuah kompetisi bukanlah kekalahan dalam sebuah reputasi dan harga diri, tetapi hakikat kekalahan adalah bentuk dan cara Tuhan untuk lebih memuliakan dan menyayangi hambaNya dengan cara menyelamatkannya dari jebakan kekuasaan dan kemegahan yang biasa dapat membawa seseorang lupa daratan.

Fakta sudah berbicara, betapa banyak anak manusia yang reputasinya hancur, harga dirinya anjlok karena faktor kekuasaan, sehingga agama mengingatkan kepada manusia untuk senantiasa waspada terhadap harta (kekayaan dan kemegahan), wanita dan tahta (kekuasaan). Jika pasangan yang kalah pada hakikatnya sedang diuji Tuhan, maka pasangan Calon Walikota yang menang sedang dicoba dengan kekuasaan. Hakikat kemenangan bukanlah ketika manusia mampu memenangkan sebuah pertarungan, tetapi hakikat kemenangan adalah kemampuan untuk mempertahankan prestasi dan menjaga integritas dirinya setelah pertarungan usai.

Jauh Lebih Berat

Dibanding dengan pasangan yang mengalami kekalahan, beban Calon Walikota dan Wakil Walikotaterpilih nantinya jauh lebih berat karena harus memikul sejumlah amanah rakyat yang diberikan kepadanya. Beban yang dihadapi pasangan terpilih nanti pada tanggal 12 Mei 2010 begitu rumit dan kompleks.

Di tengah dunia mengalami krisis global, janji perbaikan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, penanggulangan pengangguran, mutu pendidikan dan kesehatan serta tersedianya lapangan kerja harus direalisasikan. Masyarakat Kota Medan pasti menagih janji-janji politik yang pernah disampaikan di saat kampanye yang lalu.

Dalam bahasa agama janji itu adalah utang. Siapa saja yang pernah berjanji kepada masyarakat di saat pemilu dengan janji apapun, maka pada hakikatnya dia telah berutang kepada masyarakat. Utang harus dibayar dan dilunasi, karena agama menyatakan dua hal yang menyebabkan sulitnya ruh menghadap Tuhan di saat manusia wafat yaitu (1) masalah utang piutang, dan (2) dosa kepada orang lain.

Dengan demikian, baik yang kalah maupun yang menang, sesungguhnya masing-masing dalam posisi terhormat, dengan catatan masing-masing saling menghargai dan menghormati. Dalam kaitan ini calon yang kalah nanatinya harus memberi teladan kepada masyarakat dengan mengucapkan selamat kepada pasangan terpilih. Ini merupakan sebuah sikap seorang ksatria sejati yang tentu memberi dampak positif dalam kehidupan demokrasi lokal di Kota Medan

Ary Ginanjar Agustian penemu ESQ Model, di salah satu TV Swasta pernah mengibaratkan pilpres seperti falsafat tinju. Ketika sebuah perhelatan tinju akbar akan digelar, para pelatih dan sejumlah tim sukses memberikan masukan kepada sang petinju agar mampu memenangkan pertandingan. Tidak jarang terjadi perang urat saraf antar kedua tim dan sesumbar untuk saling mengalahkan.

Bahkan sejumlah pengamat mencoba memprediksi siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Ketika gong ditabuh, dua orang petinju saling beradu strategi untuk memenangkan pertandingan. Pukulan demi pukulan terkadang membuat muka memar, berdarah bahkan knock down. Akan tetapi, umumnya setelah pertandingan usai, apakah menang angka atau knock down, dua petinju itu saling berangkulan saling mengucapkan selamat dan kemudian melepaskan sarungnya.

Dalam konteks Kota Medan, ketika pemilukada Kota Medan nantinya usai pada tanggal 12 Mei 2010 ini, maka seyogianya setiap kontestan harus saling merangkul dan melepas sarung tinjunya. Tidak perlu lagi saling menyerang. Pertandingan telah usai. Yang kalah mengambil pelajaran dari kekalahannya untuk menatap hari esok yang lebih baik, sedangkan yang menang harus mampu membuktikan prestasinya di tengah masyarakat. Apakah Bapak/Ibu Calon Walikota Medan dan Wakil Walikota Medan sudah siap?

Penulis adalah: Dosen FMIPA USU/ Pimpinan Bimbel METRO Medan.