Sabtu, 22 Mei 2010

TANAH AIR: PERTARUHAN KEARIFAN LOKAL DAN KAPITALISME


Oleh Ichwan Susanto

Pemekaran Raja Ampat dari Kabupaten Sorong tahun 2002, pelan tetapi pasti, membawa perkembangan bagi kawasan wisata di daerah Provinsi Papua Barat itu. Salah satunya dari sisi moda transportasi laut.

Pada tahun 2000-an, jadwal operasi kapal motor pengangkut massal dari Sorong ke salah satu distriknya, Raja Ampat, masih tak menentu. Saat itu para penumpang terpaksa mengandalkan speedboat yang mahal atau perahu mesin tempel yang rawan kecelakaan.

Kini di jalur itu setiap hari tersedia jasa pelayanan Kapal Marina Express pukul 14.00. Bahkan, pada akhir pekan atau liburan juga beroperasi kapal-kapal motor lain. Moda transportasi ini jauh lebih murah dan aman. Tarif Kapal Marina Express Rp 120.000 dan kapal motor lain Rp 100.000 sekali jalan. Bandingkan kalau menumpang speedboat harus membayar Rp 300.000 atau menyewa Rp 3 juta sekali jalan.

Raja Ampat pantas dijuluki Kabupaten Bahari. Maklum, dari sekitar 46.000 kilometer persegi total luas wilayahnya, 80 persen berupa lautan. Namun, hal ini menjadi dilematis. Di satu sisi, daerah ini sedang giat-giatnya membangun. Sementara sebagian besar area perairan telah disepakati menjadi kawasan konservasi laut daerah.

Dengan luas daratan terbatas dan dilindungi undang-undang kehutanan, situasi ini diakui Bupati Raja Ampat Marcus Wanma sebagai hal yang menyulitkan. ”Waisai yang kami tempati ini sebelum pemekaran adalah hutan belantara yang masuk cagar alam, tetapi dibuka karena kebutuhan daerah,” ucapnya.

Beberapa ruas jalan pun sedang dibangun untuk menghubungkan antarkampung di satu pulau. Sarana penginapan berupa resor yang lengkap dengan perlengkapan selam pun menjamur di beberapa tempat.

Kini telah berdiri Acropora Resort milik Pemkab Raja Ampat yang terletak di tepi Pantai Waisai Tercinta (WTC). Belum lagi Misool Eco Resort, Raja Ampat Dive Resort, dan Papua Paradise Eco Resort yang mencoba bersaing dengan Kri Cape Eco Resort dan Sorido Bay Resort yang jauh lebih dulu berdiri di areal Pulau Mansuar.

Marcus Wanma mengatakan, dirinya mulai fokus pada pariwisata bahari tahun 2007. Mulai tahun itu, setiap pengunjung yang akan menyelam di Raja Ampat diwajibkan membeli pin seharga Rp 500.000 (turis mancanegara) dan Rp 250.000 (turis domestik) yang berlaku selama setahun. Pin ini bisa didapat di Pusat Informasi Wisata Raja Ampat di Bali, Bandara Domine Eduard Osok Sorong, serta beberapa hotel berbintang di Papua.

Dominasi wisatawan asing

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Raja Ampat mencatat, pada tahun 2009 daerah ini dikunjungi sekitar 3.800 wisatawan, terdiri atas 800 wisatawan domestik dan 3.000 wisatawan mancanegara yang didominasi turis Amerika dan Eropa. Turis mancanegara yang tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan turis lokal datang menggunakan jasa Liveaboard Dive Boats dari Bali.

Selain menyimpan pemandangan bawah laut yang tersohor, perut bumi Raja Ampat juga memendam sumber daya mineral nikel dan krom yang sangat tinggi. Berdasarkan Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Raja Ampat (2006), kandungan nikel itu tersebar di Pulau Gebe, Kawe, Gag, Batangpele, Manyaifun, Nawan, dan Waigeo Utara, serta Selatan Teluk Mayalibit.

Menurut Dinas Pertambangan dan Energi Raja Ampat tahun 2008, pihaknya mencatat di daerah ini terdapat 16 perusahaan tambang dalam tahap eksplorasi, eksploitasi, dan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan. Bahkan, menurut pihak Pangkalan TNI AL Sorong, dalam tahun 2008 sudah tujuh kali daerah itu mengekspor bahan galian nikel ke China, tiap kali pengapalan berbobot 35.000 ton.

Adapun menurut data Forum Kerja Sama LSM Regio Kepala Burung, pengiriman nikel ke Queensland, Australia, sejak 2004 hingga awal 2008 yang diperkirakan dikirimkan dari perusahaan-perusahaan tambang di Raja Ampat mencapai 15 kali. Setiap pengiriman rata-rata 50.000 ton bahan galian nikel.

Pada September 2008, di perairan Distrik Wawarbomi Waigeo Utara, Kompas sempat melihat tongkang Gold Trans-1 yang sedang dipindahkan isinya (berupa tanah kecoklatan) ke lambung Kapal Pacific Mercury. Di daerah itu terdapat perusahaan pertambangan nikel yang diduga telah menyebabkan perairan masyarakat sekitar tercemar endapan lumpur.

Kampung Warwanai di Waigeo Utara itu hingga kini masih menjadi saksi bagaimana dampak perusakan tambang bagi masyarakat setempat. Pantai dipenuhi lumpur yang hanyut dari pertambangan terbuka. Endapan lumpur ini mematikan karang serta biota laut lainnya yang lamban atau tidak dapat berpindah diri. Dampaknya, warga kini kesulitan mendapatkan ikan tangkapan karena kerusakan lingkungan ini.

Tentang berbagai aktivitas pertambangan ini, Bupati Marcus Wanma mengaku telah berkomitmen menghentikan dan tidak lagi mengizinkan aktivitas pertambangan di daerahnya.

Bupati Marcus Wanma telah menerbitkan kuasa pertambangan perusahaan bagi PT Anugrah Surya Pratama, PT Anugrah Surya Indotama, PT Pasific Nickel Mining, PT Harita Multi Karya Mineral, PT Duta Karya Harita Tambang, PT Giri Delta Mining, dan PT Berkat Bumi Waigeo.

Namun, ia kini memastikan tak akan ada lagi izin pertambangan yang dikeluarkan Pemkab Raja Ampat hingga penyusunan rencana tata ruang wilayah Raja Ampat dan Provinsi Papua Barat selesai dilakukan.

Ia mengakui, antara pertambangan dan pariwisata yang mengandalkan keelokan alam tak ada titik temu, ibarat air dengan minyak. Karena itu, selain pariwisata, ia pun sedang menggarap sektor perikanan melalui berbagai budidaya kerang mutiara dan rumput laut.

Pakar lingkungan Universitas Negeri Papua, Manokwari, Ir Max J Tokede MS, sangat mendukung kebijakan bupati.

”Yang namanya pertambangan terbuka itu pasti akan berdampak negatif pada lingkungan. Apalagi Raja Ampat, yang merupakan pusat karang dunia. Kalau karang mati, tidak ada lagi kehidupan di laut. Lalu, masyarakat makan apa, hidup dari apa?” ujar Max J Tokede MS.

Di sinilah kearifan lokal diharapkan jadi benteng pertahanan.