Kamis, 13 Mei 2010

ARTIKEL : GIZI DAN KEMISKINAN


Oleh : Mandroy. P

Indonesia, banyak yang mengatakan bahwa kita adalah negara yang kaya akan segalanya Namun apa fakta yang terjadi dalam masyarakat kita? Kemiskinan terjadi dimana-mana.

Sejak terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia, hingga saat ini masalah gizi dengan kondisi masalah gizi kurang pada balita di atas 20 persen. Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan sumber daya manusia Indonesia ke depannya. Masalah yang dihadapi Indonesia disebabkan 21,5 persen remaja atau wanita usia subur menderita Kekurangan Energi Kronik (KEK), yang menyebabkan bayi yang dilahirkan akan mengalami berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Bukan hanya itu saja, 24,6 persen anak balita juga menderita gizi kurang, serta 36,3 persen anak usia masuk sekolah termasuk pendek (tinggi badan tidak sesuai dengan umur).

Kehidupan penduduk Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Bahkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Kemiskinan memiliki variasi manifestasi mencakup kekurangan pendapatan, sumberdaya produktif untuk menjamin kehidupan yang layak dan langgeng, kelaparan dan gizi kurang, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan dasar, morbiditas dan mortalitas karena penyakit meningkat, perumahan yang tidak layak bahkan tidak memiliki rumah, lingkungan tidak aman, diskriminasi dan eksklusi sosial.

Pengalaman menunjukkan bahwa menjangkau masyarakat miskin tidaklah mudah, sehingga meski kita telah merdeka hampir 65 tahun, masih saja dijumpai penduduk miskin, lapar, dan gizi kurang.

Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi. Gizi seimbang merupakan aneka ragam bahan pangan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, baik kualitas (fungsinya), maupun kuantitas (jumlahnya).

Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Dunia pers lebih suka pakai istilah "busung lapar" meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap "lapar" banyak zat gizi lainnya.

Gizi buruk ini merupakan bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.

Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus.

Dari sekitar 5 juta anak balita (27,5 persen) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,24 persen) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,8 persen) (BPS, 2005).

Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata penderitaan anak: sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk terutama bagi mereka yang masih hidup di bawah garis kemiskinan tersebut.

Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu, dengan syarat bahwa posyandunya masih melakukan fungsi utamanya, yakni melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Menurut penelitian, banyak posyandu yang tidak lagi melakukan fungsi tersebut dengan baik dan benar. Banyak orang berpendapat bahwa terus maraknya kasus gizi buruk di desa-desa salah satu sebab utamanya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar.

Bukan hanya untuk anak balita dan anak anak saja, tetapi untuk kelompok umur remaja, bahkan dewasa pun banyak mengalami gizi kurang atau dapat dikatakan status gizinya tidak baik. Dan hal ini dapat kita lihat dari keadaan fisiknya juga, apakah seseorang itu mengalami masalah gizi dalam kehidupannya sehari-hari atau kita dapat menanyakan apakah mereka mengalami penyakit yang membuat mereka tidak selera makan dan terganggunya metabolisme makanan dalam tubuh. Dan yang lebih utama lagi bagaimanakah keluarga apakah sanggup memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari yang dipengaruhi satus ekonomi dan kemiskinan yang melanda keluarga tersebut.

Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara maksimal disebabkan tidak produktif dan penghasilan yang tak mencukupi. Data kemiskinan berasal dari pendataan yang dilakukan oleh BKKBN. Pengertian keluarga miskin adalah suatu keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu indikator atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi yaitu pangan, sandang, papan, penghasilan, kesehatan, dan pendidikan.

Secara garis besar indikator yang digunakan untuk menentukan keluarga Pra KS adalah alasan ekonomi yang terdiri dari (1) indikator penentu kemiskinan, yang meliputi pangan, sandang, papan; (2) indikator penyebab, dilihat dari penghasilan; dan (3) Indikator Pendukung, meliputi variabel kesehatan dan pendidikan.

Secara umum kemiskinan sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan berdampak dalam segala hal termasuk kesehatan (status gizi dan penanggulangan penyakit), pendidikan, hak kepemilikan dan lain-lain. Kemiskinan yang masih banyak dialami oleh bangsa Indonesia menimbulkan masalah gizi di mana-mana bahkan banyak terjadi busung lapar di daerah daerah di Indonesia.

Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya.

Hubungannya bersifat timbal balik. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi dan seterusnya.

Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab di atas. Kemiskinan tidak memungkinkan anak balita mendapat MPASI yang baik dan benar.

Kemiskinan dan pendidikan rendah membuat anak tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak memperoleh ASI, misalnya. Kemiskinan juga menghambat anak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

Apakah dengan demikian untuk mencegah gizi buruk harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan? Masalahnya berapa lama kita harus menunggu perbaikan ekonomi, dan membiarkan anak-anak mati akibat gizi buruk. Kita tahu pembangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pada masa Orde Baru diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40 persen (1976) menjadi 11 persen (1996).

Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat (Soekirman, Pidato Pengukuhan Guru Besar IPB, 1991).

Hal ini sudah dilakukan pemerintah sejak Orde Baru dalam berbagai program Repelita. Sejak krisis ekonomi tahun 1998 dilakukan program JPS dan penanggulangan kemiskinan. Pertanyaannya, mengapa masih juga muncul gizi buruk. Tentunya ada penyebab tidak langsung lain yang lebih pokok dan salah satunya adalah KKN.

Penyakit KKN mengurangi efektivitas pelaksanaan program sehingga program dan proyek yang ditujukan untuk memperbaiki berbagai faktor penyebab (ketahanan pangan, pengasuhan anak, dan pelayanan kesehatan) tidak tampak dampaknya.

Pernyataan rasanya masih relevan sampai saat ini. Selama penyakit KKN belum dapat dituntaskan, kemiskinan dan gizi buruk sepertinya akan masih menghantui anak balita di beberapa wilayah di negeri kita.***

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.