Kamis, 04 Februari 2010

Bu Dukun Pergi ke Kantor


Dukun bayi punya kantor? Puskesmas Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, adalah kantor Dg Sina, sanro dari Desa Bontokanang.

Saya menggantikan sanro yang berhalangan menunggui Halia,” ujar Dg Sina (55). Sanro adalah dukun bayi dalam bahasa setempat. Halia (18) dan suaminya, buruh serabutan, tinggal di Desa Mangindara, 10 kilometer dari puskesmas.

Bayi itu baru berumur dua hari saat dikunjungi, beberapa waktu lalu. Beratnya 2,8 kilogram.

”Nyusu-nya kuat,” ujar Salmiati (33), bidan yang membantu persalinan Halia. Dengan sanro di sisinya, ”Saya merasa lebih tenang,” ujar Halia, yang mengaku memeriksakan diri ke bidan dari usia kehamilan dua minggu atas dukungan sanro.

Dg Sina bekerja sebagai sanro selama 30 tahun. Keahlian itu diperoleh turun-temurun. Namun, pekerjaan itu dilakukan lebih sebagai amanah. ”Sekasihnya, kadang tak dibayar uang,” ujar Suniati Dencaya (60), sanro dari Desa Sawakung.

Sejak dicanangkan Program Kemitraan Bidan-Dukun Bayi tahun 2007—diprakarsai Pemerintah Kabupaten Takalar dan difasilitasi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef)—Suniati dan Dg Sina tak lagi berpraktik. Mereka membantu bidan dan mendapat insentif Rp 50.000 dari bidan untuk tiap calon ibu yang mau kontrol ke puskesmas sejak awal kehamilan sampai melahirkan.


Perubahan kultural


Program itu membuat situasi di Puskesmas Bontomarannu berubah. ”Sampai 2006, kontak pertama ibu hamil dengan kami rata-rata 60 persen, setelah kemitraan menjadi 100 persen, juga kunjungan lengkap,” ujar Siti Rochani (50), koordinator bidan. Wilayah puskesmas itu mencakup sembilan desa dengan 22.139 jiwa atau 759 keluarga, separuhnya tergolong tak mampu.

Komplikasi saat melahirkan pun bisa langsung ditangani. ”Tahun 2009 tujuh ditangani di sini, 23 dirujuk langsung ke rumah sakit,” sambung Rochani.

Kemitraan bidan-dukun bayi juga memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Menurut Kepala Puskesmnas Bontomarannu Abdulrahman SKM, ”Sebelumnya paling banyak 10 pasien sehari, sekarang 70 pasien lebih, dilayani 1 dokter, 1 dokter gigi, 19 tenaga kesehatan, dan 25 tenaga sukarela.”

Mungkin program berobat praktis dari pemerintah kabupaten adalah sebabnya. Namun, jaminan itu saja tak cukup. Kemauan periksa kesehatan secara formal di ruang publik harus dilihat sebagai lompatan kultural-sosial-psikologis.

Dalam konteks itulah diletakkan kemitraan bidan dan dukun bayi. Mengutip Kepala Perwakilan Unicef Makassar Purwanta Iskandar, dokter Willy Kumurur, MPH dari Unicef Makasar mengatakan, gagasan kemitraan itu jauh lebih rumit dari sekadar soal medis-teknis.

”Harus ada perubahan budaya dalam masyarakat. Dukun berperan besar karena mereka bagian dari tradisi,” ujar Willy.

Perda khusus

Akses terbuka pada pelayanan kesehatan reproduksi tak bisa diandaikan akan begitu saja dimasuki. Dalam model kemitraan itu, kuncinya justru pada peran dukun bayi.

Mereka membujuk dan mengajak calon ibu memeriksakan kandungan sejak dini dan mau melahirkan di puskesmas. Peran teknis-medis dipegang bidan, termasuk advokasi gizi dan kesehatan ibu hamil.

Inilah model kemitraan atas dasar sipakatau (saling menghargai) yang ditengarai sebagai praktik cerdas mengurangi angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Takalar dan Bone

”Sebelum kemitraan, banyak ibu meninggal ketika melahirkan,” ujar Bupati Takalar Ibrahim Rewa.

Menurut Willy, sebelum tahun 2006 angka kematian ibu di Kabupaten Takalar 159 per 100.000 kelahiran hidup, menjadi 57 tahun 2007 dan 18 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2008. Angka rata-rata nasional berkisar antara 228 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2008) dan 405 per 100.000 kelahiran hidup (Laporan Bank Pembangunan Asia, 2009).

Sampai tahun 2006, 75 persen persalinan di Galesong dilakukan di rumah, sebagian besar oleh dukun. Sejak tahun 2007, semua persalinan berlangsung di fasilitas kesehatan sehingga tiga hal penyebab kematian ibu, yakni perdarahan, infeksi, dan eklamsia/preeklamsia bisa diminimalkan.

”Tahun 2009 angka kematian ibu di Takalar nol,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar dr Grace V Dumalang.

Program Kemitraan Bidan-Dukun Bayi diamankan dengan perda, disahkan DPRD, 29 Januari lalu. Dengan perda itu, pemerintah kabupaten melalui APBD menyediakan insentif untuk dukun. ”Nanti diatur dalam SK bupati,” ujar Grace.

Penurunan angka kematian ibu sampai 75 persen pada 2015 dari rasio angka kematian ibu tahun 1990 merupakan bagian dari target Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs), suatu komitmen internasional yang disepakati di PBB tahun 2000.

Namun, bukan target angka yang terpenting. Bagi Willy, jauh lebih penting adalah perubahan budaya warga menyangkut kesehatan. Meski demikian, ”praktik cerdas” di Takalar itu harus terus diuji.(Maria Hartiningsih/KP)