Kamis, 04 Februari 2010

PERTANIAN: LAMPU KUNING UNTUK BERAS LOKAL


Tahun ini beras belum masuk skema Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China atau CAFTA karena dinilai sebagai komoditas yang sangat sensitif. Dengan demikian, penurunan bea masuk beras menjadi 0 persen baru pada tahun 2015. Lalu, apa yang harus disiapkan menghadapi masa itu.

Jangan sampai saat tahun 2015 tiba, daya saing beras produk dalam negeri terpuruk, sama dengan hortikultura, produk peternakan, dan produk tanaman pangan lainnya.

Salah mengurus beras akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan bernegara karena komoditas ini sangat strategis dan sarat nilai politis.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian memang telah berbuat banyak. Namun, yang dilakukan hanya fokus pada pengembangan benih padi konvensional atau inbrida.

Bahkan, PT Sang Hyang Seri (SHS), badan usaha milik negara (BUMN) yang memproduksi benih padi, belum menggarap benih hibrida yang dikembangkan pemulia lokal. BUMN ini lebih senang jalan pintas, yakni bekerja sama berbagi keuntungan dengan China untuk pengembangan benih padi hibrida.

Induk benih padi milik China dikembangkan di Indonesia. PT SHS bertugas menggarap pasar dan memproduksinya. Dalam jangka panjang, tidak banyak manfaat yang didapat dari kerja sama semacam ini karena PT SHS tetap akan kesulitan mengembangkan benih induk.

Di sisi lain, kerja sama lembaga penelitian pemerintah dan SHS untuk mengembangkan benih padi hibrida belum berjalan.

Lalu, bagaimana menghadapi 2015, yang notabene akan berhadapan dengan China sebagai pesaing. China telah jauh melangkah, bahkan menjadi pelopor pengembangan padi hibrida dengan produktivitas tinggi.

Swasta memulai

Pengembangan padi hibrida justru dilakukan oleh swasta. Di Sidoarjo Jawa Timur, misalnya, swasta mengembangkan benih padi hibrida varietas Adirasa 1. ”Dua minggu lagi kami panen,” kata Mikael Kristianus, penanggung jawab pengelolaan dan pengembangan usaha pembibitan PT Triusaha Sari Tani (TST).

Benih padi hibrida yang diperdagangkan dan ditanam adalah turunan pertama (F1). Benih F1 dihasilkan melalui persilangan benih jantan dan betina dari tanaman yang berbeda, bukan yang berasal dari satu pohon.

Sifat unggul yang dibawa oleh dua induk tanaman tersebut menghasilkan padi hibrida yang produktivitasnya jauh lebih tinggi ketimbang padi konvensional atau padi inbrida.

PT TST adalah satu dari beberapa perusahaan pembibitan padi hibrida di Jawa Timur. Lahan produksi perusahaan ini tidak hanya di Sidoarjo, tetapi juga tersebar di wilayah lain, seperti Lumajang dan Jember dengan total area 30 hektar.

Di Sidoarjo, TST memiliki empat hamparan, yang membagi proses produksi benih padi hibrida dalam beberapa fase.

Luas lahan produksi yang hanya 30 hektar itu memang belum signifikan untuk memenuhi kebutuhan benih padi hibrida untuk Jawa Timur, apalagi nasional. Namun, ini sebuah langkah awal yang cukup berarti bagi pengembangan benih padi hibrida di dalam negeri,

Apalagi, TST melakukannya pada saat sejumlah perusahaan pembibitan lebih senang mengimpor benih daripada mengembangkannya di dalam negeri.

Mikael optimistis upaya akan mendatangkan hasil yang baik. Indonesia memiliki lahan yang luas, dengan iklim tropisnya memungkinkan budidaya padi dilakukan sepanjang tahun. Kebutuhan benih padi pun akan berlangsung sepanjang tahun.

Bermitra dengan petani

Tidak memiliki lahan luas bukan halangan bagi TST untuk mengembangkan usahanya. Bermitra dengan petani adalah jalan keluarnya.

”Saya mendatangi petani satu-satu di rumahnya, menjelaskan kepada mereka untung-ruginya. Langkah persuasif ini terkadang harus dilakukan hingga malam hari,” kata Mikael.

Usaha yang dilakukan tidak sia-sia. Produksi benih padi bisa dimulai tahun 2003, dengan mendatangkan pakar pembibitan padi hibrida dari China.

Bentuk kemitraan yang dibangun dengan petani adalah TST menyediakan benih dan petani menanam padi untuk produksi benih. Hasil pembenihan yang dilakukan petani dibeli perusahaan. Awalnya hasil produksi petani juga dijamin, sekarang petani sudah bisa menjual beras hibrida Adirasa 1 ke pasaran.

Dengan lahan produksi 30 hektar, benih padi hibrida varietas Adirasa 1 kini sudah ditanam di daerah Jawa Timur, yakni Lumajang, Jember, Bondowoso, Pacitan, Banyuwangi, Malang, Blitar, dan Kediri, serta Klaten di Jawa Tengah. Produktivitasnya rata-rata 10 ton gabah kering panen per hektar.

Menurut Mikael, tahapan produksi benih padi hibrida sederhana. Proses produksinya memang berbeda dengan padi inbrida. Pada padi hibrida, tanaman padi yang memiliki pejantan dimandulkan, lalu disilangkan dengan pejantan yang dikehendaki.

Direktur Keuangan PT TST Tjandra Lukito mengakui, hingga kini TST belum dapat memproduksi sendiri benih induk, tetapi masih mendatangkan dari China. Selanjutnya, benih disilangkan di Indonesia sehingga menghasilkan benih padi hibrida F1, yang kemudian dijual ke petani. Alangkah baiknya bila Indonesia mampu memproduksi sendiri benih induk dengan kualitas bagus.

Hingga kini, usaha perbenihan PT TST belum mencapai titik impas. Rata-rata produksi benih baru sekitar 1 ton per hektar. ”Masih jauh dari harapan. Perusahaan masih memberikan bantuan keuangan kepada petani hingga Rp 300 juta. Namun, kalau tidak dimulai sekarang, mau kapan lagi?” kata Tjandra.

Menurut Mikael, titik impas usaha perbenihan tercapai bila produksi benih padi di atas 1,3 ton per hektar. Mikael optimistis mampu meningkatkan produksi benih padi hibridanya.

Bahkan, dalam jangka panjang TST ingin memproduksi sendiri benih induk agar tidak bergantung pada impor. Saatnya berpacu dengan China!