Minggu, 07 Februari 2010

Sejak Awal, Pemberdayaan Menjadi Spirit Muhammadiyah


Yogyakarta – Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, telah meletakkan landasan kultural, teologis dan struktural yang memberdayakan. Menurut M. Habib Chirzin, tafsir surat Al Maun merupakan terobosan teologis yang luar biasa, yang menjadi inspirasi yang tidak pernah habis bagi gerakan Muhammadiyah. “Ini energi spiritual yang luar biasa.” tegasnya.

Habib Chirzin menjelaskan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional , Sabtu (6/01/2010) berjudul “Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat” di Kampus I Univ. Ahmad Dahlan, Jl Kapas Kota Yogyakarta, sebenarnya Muhammadiyah dan Aisyiyah telah melakukan rintisan yang berharga dengan konsep Dakwah Jama’ah dan Qoriyah Thoyibah. 'Aisyiyah saja telah mengembangkan desa binaan sebanyak 285 di beberapa daerah di Indonesia, membina kelompok pengajian yang berjumlah 12.149 di seluruh Indonesia, melalui 10.329 mubalighat di seluruh Indonesia. Demikian juga dengan usaha Majelis Pemberdayaan Masyarakat yang menonjol melakukan gerakan untuk membangun kedaulatan pangan.

Konsep PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang digagas Kyai Suja’ di awal pendirian Muhammadiyah menurut Habib adalah terobosan yang luar biasa. Ketika rumah yatimdidirikan, ini pemberdayaan sektor masyarakat yang paling rawan waktu itu. “Sekarang seseorang yang yatim bisa secara budaya, bisa menjadi piatu secara ekonomi, atau yatim piatu karena bukan menjadi bagian yang menentukan, atau karena tidak memiliki akses ekonomi” paparnya. “Yatim piatu modern adalah Yatim Piatu secara Struktural” simpulnya.

Mengenai pengertian pemberdayaan sendiri, menurut Habib pemberdayaan berarti pengembangan kepekaan, kesadaran kritis, atau meningkatkan kemampuan kritis terhadap sesuatu yang menyebabkan pemiskinan, bukan orang miskin karena takdir, namun karena proses historis atau proses struktural.

Menurut Habib, pemberdayaan intinya, merebut kekuasaan. Memampukan masyarakat agar memiliki akses sumber sumber ekonomi politik, mengambil keputusan, dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Negara. Termasuk akses terhadap pendidikan, kesehatan, informasi dan pelatihan.

Di akhir paparannya, Habib menutup bahwa pemberdayaan masyarakat oleh Muhammadiyah ke depan, hendaknya di lakukan dalam kerangka menghormati, memenuhi dan memajukan, kebutuhan dasar manusia yang lima, yang sekaligus merupakan hak dasar manusia, “dharuriyyat” atau “ al-kulliyyat al-khamsah” berdasarkan tujuan luhur dari syari’ah (Maqashid al Syari’ah). Sebagaimana yang disebut oleh Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat : 1- memelihara agama (hifdzu ad-din), 2- memelihara jiwa (hifdzu an-nafs ),3- Memelihara pikiran (hifdzu al-aql) 4- memelihara keturunan (hifdzu al-nasl ), 5- memelihara harta (hifdzu al-mal ). (arif)