Kamis, 04 Februari 2010

Kampung Bakke Berdamai dengan Banjir


Suatu siang, akhir Januari lalu, Aco Amir (35) duduk santai di kolong salah satu rumah panggung kayu yang berjajar dalam jarak 5 meter dari bibir Sungai Menraleng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pandangan mata Aco tampak kosong ke arah sungai yang sedang surut.

Dia menunggu hujan yang seharusnya memuncak sejak awal tahun 2010. Beberapa bulan terakhir, ia tidak bisa mencari ikan. Sebagai gantinya, ia bekerja sebagai tenaga serabutan dengan upah Rp 40.000 per hari.

”Narekko wae de’ naenre okko tana Wajo, mappada ki nakenna acilakang loppo,” kata Aco dalam nada berseloroh. Ungkapan dalam bahasa Bugis itu bisa dimaknai bahwa bila air hujan tidak menggenangi permukiman, itu pertanda sebuah kesialan besar.

Harapan agar banjir segera datang di Kampung Bakke, tempat Aco bermukim, terkait dengan kehidupan warga yang sangat bergantung pada banjir.

Kampung Bakke masuk dalam wilayah Desa Salomenraleng, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo. Posisinya diapit Sungai Menraleng dan Sungai Walanae. Sekitar 500 keluarga penghuni kampung itu adalah nelayan. Di hampir setiap kolong rumah tertambat perahu.

Sungai selebar 60 meter itu menjadi jalur transportasi warga sekaligus penyedia air irigasi bagi daerah sekitar yang menjadi penghasil padi, seperti Kabupaten Sidenreng Rappang.

Dari Kampung Bakke, warga bisa menjangkau Danau Tempe dengan perahu selama 30 menit. Limpahan ikan air tawar danau itu, seperti ikan gabus, mujair, betok, lele, belut, dan udang, menjadi sumber penghidupan warga.

Bila musim hujan tiba, air Sungai Menraleng meluap hingga ke Kampung Bakke. Pada saat itu hampir semua tiang rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin terendam. Dari lego-lego (teras) rumah, warga bisa langsung naik perahu. Biasanya, genangan setinggi 1,5 meter merendam perkampungan selama empat-lima bulan. Air surut pada musim kemarau.

Namun, warga sama sekali tidak terusik. Mereka justru akrab dengan luapan air.

Konstruksi rumah warga disesuaikan dengan cara hidup di atas air. Rumah di kampung itu umumnya berlantai kayu dan berdinding tripleks. Ruangan di atasnya yang kerap disebut rakkeang (loteng) difungsikan untuk menyimpan beras sekaligus tempat berlindung bila tinggi air melewati lantai rumah.

Makmur

Bila banjir menghampiri Kampung Bakke, hidup terus berjalan. Warga menggunakan sampan kayu untuk berpindah dari rumah satu ke rumah lainnya atau mencapai daerah yang kering. Terkadang, ada juga rumah yang terhubung dengan jembatan bambu.

Kegiatan persekolahan dan peribadatan tidak pernah terganggu banjir. Dua bangunan sekolah dan sebuah masjid di kampung itu berada di atas panggung kayu setinggi 2,5 meter. Amdar, seorang remaja kampung itu, mengaku terbiasa dan tidak kerepotan berangkat ke sekolah dengan sampan kayu.

Sanati (55), warga setempat, menuturkan, pada saat banjir, ia tetap pergi ke kota untuk berbelanja bahan makanan. Kalaupun harus mengungsi ke rakkeang, masih tersedia ruang untuk memasak.

Warga di sepanjang sungai terbiasa memanfaatkan air sungai untuk berbagai keperluan, seperti mandi dan mencuci. Sejumlah warga mengaku jarang sakit meski tinggal di atas genangan banjir dan memanfaatkan air sungai.

Mungkin benar juga ungkapan Aco bahwa banjir yang tidak kunjung datang berarti kesialan bagi warga. Roda perekonomian bergerak lambat bila Danau Tempe tidak terisi penuh air karena mereka tidak bisa mencari ikan.

Akibatnya, mereka bekerja serabutan, seperti menjadi buruh kasar dengan upah Rp 40.000 per hari. Padahal, sebagai nelayan, penghasilan mereka paling sedikit Rp 1 juta per minggu.

Pemerintah Kabupaten Wajo pernah berupaya memindahkan mereka ke daerah yang lebih tinggi, tetapi warga Kampung Bakke bergeming. Mereka merasa tidak ada masalah.

”Kalau dilihat dari kacamata orang kota, kami terlihat kesusahan. Padahal, sebenarnya tidak,” kata salah seorang warga, Beddu Mangke (64).

Ada sebuah ungkapan, bila manusia tidak bisa memindahkan air, tetapi tidak mau dipindah, mereka harus belajar untuk hidup bersama. Itulah yang dijalani warga Kampung Bakke. (ELD/kp)