Rabu, 24 Februari 2010

Perkebunan Teh Longsor, 70 Buruh Teh Hilang


Bandung - Selagi dampak banjir yang membuat ribuan orang mengungsi dan puluhan pabrik tekstil lumpuh belum berakhir, peristiwa longsor terjadi pada Selasa (23/2) pukul 08.00 di kawasan perkebunan dan pabrik teh Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Sebanyak 70 buruh perkebunan teh diperkirakan hilang tertimbun.

Longsor di Desa Tenjolaya itu meliputi tiga dari 15 RT di RW 18. Selain menimbun 50 rumah bedeng milik buruh, longsor juga menimbun satu pabrik pengolahan teh, satu gedung olahraga, satu koperasi karyawan, satu puskesmas pembantu, dan satu masjid. Luas perkebunan itu sendiri mencapai 500 hektar. Banyaknya korban yang tertimbun karena longsor terjadi pada pagi hari saat warga tengah beraktivitas.

Hingga berita ini diturunkan, evakuasi masih dilakukan di daerah yang berada di dasar lembah Gunung Waringin dan dikelilingi kawasan perkebunan teh Dewata yang dikelola PT Cakra. Baru empat jenazah yang dapat dikeluarkan dari timbunan tanah, tetapi identitas keempatnya belum bisa dipastikan.

Sekretaris Kecamatan Pasirjambu Saiful Bachri menjelaskan, hujan deras mengguyur lokasi kejadian sejak malam sebelumnya. Kawasan yang longsor merupakan tebing curam yang berbatasan dengan kawasan Gunung Tilu, Bandung Selatan. ”Kawasan itu memang rawan longsor,” kata Saiful.

Menurut anggota pos komando (posko) bencana di Kecamatan Pasirjambu, Kusnadi, evakuasi korban dilakukan secara manual, hanya dengan cangkul karena alat berat tengah menuju ke lokasi longsor yang berjarak 32 kilometer dari Jalan Raya Ciwidey. ”Kami baru dapat laporan jam tiga sore karena buruknya kondisi infrastruktur,” ujar Kusnadi.

Untuk mencapai lokasi longsor, menurut Kusnadi, butuh waktu tiga jam jalan kaki, dengan jalan berbatu dan berkelok. Kawasan itu juga tidak terjangkau jaringan telepon seluler sehingga komunikasi sulit dilakukan.

Asep Ester, relawan dari Kecamatan Rancabali, menambahkan, longsoran berasal dari salah satu perbukitan kebun teh yang produktif. Luas daerah yang tergerus berukuran lima hektar.

Dapur umum

Terkait banjir bandang yang berlangsung beberapa hari terus-menerus di Kabupaten Bandung, pemerintah akan menambah dapur umum di lokasi banjir Sungai Citarum, Kabupaten Bandung, bagi sekitar 15.000 pengungsi.

Menurut Udjwalaprana Sigit, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, saat ini ada tujuh dapur umum yang dipusatkan di lima kantor kecamatan yang terimbas banjir, yakni Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Banjaran, dan Pamengpeuk.

”Dapur umum akan diperbanyak hingga 14 unit sebab banjir di Baleendah dan Dayeuhkolot meluas ke tiga kecamatan tetangga,” kata Sigit. BPBD Jabar juga akan menambah logistik bagi pengungsi.

Bantuan kepada korban banjir juga belum merata. Sejumlah pengungsi dari Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, yang mengungsi di tenda yang didirikan di Jembatan Citarum, misalnya, baru pada Senin (22/2) memperoleh kiriman nasi bungkus dari kantor kecamatan. Padahal, mereka sudah mengungsi sejak dua pekan lalu.

Camat Baleendah Usman Sayogi mengakui tidak semua pengungsi bisa tertangani karena personel Palang Merah Indonesia dan petugas kecamatan pengelola dapur umum terbatas. ”Kami hanya bisa menyediakan makanan bagi sekitar 5.000 warga yang mengungsi di tiga titik, yakni Gedung Juang 45, Aula Kelurahan Baleendah, dan Kantor PDI-P,” kata Usman.

Kepala Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Tedi Supriadi, mengatakan, banjir di daerahnya merendam 954 rumah dan menimpa 4.721 jiwa. Hingga Selasa sore, bantuan yang mengalir ke daerahnya masih minim. ”Warga butuh tikar, selimut, makanan, dan obat-obatan,” ujarnya.

Untuk mempercepat penyaluran bantuan, BPBD Jabar membentuk tim reaksi cepat. Tim itu juga bertugas mengawasi penyaluran bantuan agar tak terjadi penyelewengan, terutama yang selama ini disinyalir warga dilakukan oknum dari kelurahan dan kecamatan.

Untuk pelayanan kesehatan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar memastikan stok obat bagi pengungsi masih mencukupi. Dinkes Jabar juga menyiapkan lima mobil penjernihan air dan WC keliling untuk keperluan sanitasi. Sebanyak 7.588 sumur warga yang terendam banjir juga telah diberi kaporit agar bisa kembali dikonsumsi.

Kementerian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya juga memberi 25 unit alat penjernihan air cepat kepada korban banjir di Dayeuhkolot dan Baleendah. Alat itu digunakan untuk menjernihkan air banjir atau air sungai sehingga bisa dikonsumsi warga.

Kerugian pabrik tekstil

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Bandung Yohan Lukius, Selasa, menjelaskan, kerugian industri tekstil di wilayah Bandung Selatan akibat banjir hingga pekan ketiga Februari ditaksir mencapai Rp 20 miliar.

Banjir menyisakan endapan lumpur merusak mesin, benang, dan kain. Adapun gangguan distribusi mengakibatkan produk tekstil harus dikirim lewat paket udara yang biayanya lima kali lebih mahal dibandingkan dengan pengiriman melalui laut.

Menurut Yohan Lukius, pabrik yang terdampak langsung berada di wilayah Baleendah, Rancaekek, Banjaran, Dayeuhkolot, dan Majalaya. Kawasan tersebut adalah kawasan industri Bandung Selatan bidang tekstil dan produk tekstil. ”Setidaknya 8 pabrik tekstil lumpuh karena seluruh areanya tergenang air. Adapun 30 pabrik lain setengah beroperasi karena banjir hanya merendam sebagian area,” kata Yohan.

Kerugian terbesar yang diderita industri tekstil, lanjutnya, yakni pada renovasi mesin. ”Sebagai gambaran, satu pabrik tekstil skala sedang memiliki sekitar 500 unit mesin. Jadi, untuk perbaikan mesin saja bisa menelan biaya hingga Rp 2,5 miliar,” ujar Yohan.

Belum lagi puluhan ton benang dan kain yang tergenang endapan lumpur. Sebab, kualitas benang dan kain sudah pasti akan turun dan satu-satunya alternatif menghindari kerugian lebih besar adalah dengan menjualnya. Adapun bahan setengah jadi yang sedang dalam proses pemintalan saat mesin berhenti sudah tidak dapat dimanfaatkan.

Selain itu, pengiriman satu kodi produk garmen ke Jeddah, Arab Saudi, menggunakan kapal laut dikenai biaya 14 dollar AS, sedangkan jika memakai pesawat terbang melonjak hingga 70 dollar AS per kodi.

Deden Suwega, Ketua II Perhimpunan Pengusaha Tenun Majalaya, menuturkan, ada sekitar 10 pabrik tenun yang sempat lumpuh akibat banjir, terutama pabrik-pabrik yang berada di Jalan Laswi di antara Majalaya dan Ciparay. ”Kerugian satu pabrik rata-rata mencapai Rp 1 miliar. Sangat dipahami karena biaya produksi pabrik tekstil memang tinggi,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jabar Ade Sudradjat menambahkan, dibutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk perawatan mesin tenun di pabrik-pabrik tekstil yang terkena banjir.

Kepala Bagian Umum PT Tridaya Sinarmas Pusaka (TSP) Erwin Thomas menjelaskan, pabrik milik PT TSP yang berlokasi di Kampung Cieunteung, Baleendah, merugi lebih dari Rp 1 miliar dan pabrik terpaksa berhenti beroperasi. Diperkirakan pabrik bisa beroperasi kembali paling cepat sebulan lagi.

Pabrik-pabrik lain di Jalan Mohammad Toha sudah mulai beroperasi sejak hari Selasa kemarin. Air bah yang sempat merendam 22 pabrik di kawasan itu telah surut. Jalan Raya Mohammad Toha—penghubung Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung—juga sudah dapat dilintasi.

Terlambat penataan

Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat mengakui kerugian industri tekstil dan garmen sekitar Rp 20 miliar. Dari 75 pabrik tekstil dan garmen di daerah itu, ada 30-an pabrik yang kebanjiran.

Menurut Hidayat, kita terlambat menata kawasan yang sudah terbentuk sebagai klaster industri, seperti kawasan Bandung Selatan. ”Kita semestinya segera membenahi lingkungannya,” kata Hidayat.

Kementerian Perindustrian, kata Hidayat, sudah mendapat janji dari Gubernur Jabar bahwa lingkungan klaster industri yang sudah terbentuk dan menghasilkan produk nasional segera diperbaiki menggunakan biaya dari APBN. Ini diperlukan agar kawasan itu memenuhi status sebagai kawasan klaster industri.(WAS/ELD/GRE/REK/ABK/ADH/OSA)