Nusa Dua - Indonesia adalah negara kepulauan yang sedang dalam proses penghancuran. Apabila tidak hati-hati di forum internasional, Indonesia bisa semakin terjebak pada kepentingan negara-negara penganut ekonomi neoliberal yang sekarang ini banyak berlabel ekonomi hijau.
Kekhawatiran itu terungkap dalam perbincangan Kompas dengan sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat yang memantau acara ”Spesial Session of The UNEP Governing Council (GC UNEP) yang berlangsung sejak Senin (22/2) di BICC, Nusa Dua, Bali, dan akan dilanjutkan dengan Konferensi Menteri Lingkungan Hidup Dunia (Special Session of The United Nation Environment Programme Governing Council/GC-UNEP), 24-26 Februari 2010.
Hadir dalam kesempatan itu Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad, Direktur School of Democratic Economics Hendro Sangkoyo, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan M Riza Damanik, dan Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law Prayekti Murharjati.
Menurut Chalid Muhammad, bukti proses penghancuran yang sedang terjadi adalah adanya perluasan secara besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Padahal, setiap hektar kelapa sawit banyak menggunakan zat berbahaya.
Selain itu, Indonesia juga menjadi tempat pembuangan limbah atau sampah elektronik. Apabila hal ini tidak diantisipasi, udara di Indonesia 20 tahun mendatang banyak mengandung logam berat berbahaya.
Banjirnya sampah elektronik ini juga perlu diantisipasi, terutama setelah adanya Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement) dengan China. Sebab, China merupakan salah satu negara penghasil sampah elektronik yang banyak.
Lebih celaka lagi, Hendro Sangkoyo menambahkan, saat ini ada kecenderungan dari negara-negara maju untuk memperdagangkan sampah elektronik atau limbah ke negara-negara berkembang. ”Penyelundupan limbah B3, termasuk merkuri (Hg) juga masih berlangsung sampai sekarang,” ujarnya.
Perusakan hutan juga bisa menjadi lebih meluas karena skema ekonomi hijau memungkinkan perusakan hutan melalui kompensasi uang atau penggantian lahan sejenis. ”Ini yang bisa membuat Indonesia terjebak,” kata Hendro.
Penegakan hukum
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan seusai menghadiri F-11 Ministerial Meeting di Nusa Dua, kemarin, membenarkan bahwa banyak hutan rusak karena pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit ataupun kawasan tambang. Pembukaan lahan itu tidak seizin Kementerian Kehutanan.
”Saya kira luasnya mencapai jutaan hektar,” ujarnya.
Perusakan hutan itu terjadi di banyak daerah karena eforia otonomi daerah. Pihak pemerintah daerahlah yang memberikan izin. Hutan yang dirusak itu terdiri dari hutan lindung, hutan konservasi, juga hutan produksi.
Zulkifli mengatakan, hal itu jelas merupakan pelanggaran undang-undang dan ancaman hukumannya adalah 10 tahun penjara. Kementerian Kehutanan juga sudah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan kepolisian untuk terus mengusut hal tersebut.
”Kawasan yang dilanggar itu akan disita untuk negara dan kemudian akan dilakukan rehabilitasi konservasi hutan,” ujarnya.
Terkait dengan Pertemuan Kementerian Kehutanan Negara-negara Pemilik Hutan Tropis, Zulkifli optimistis, kelompok negara itu bisa semakin menguatkan daya tawar pada pertemuan-pertemuan global. Pertemuan dipimpin Menteri Luar Negeri Marty M Natalegawa.(sut/kps)
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Rabu, 24 Februari 2010
LINGKUNGAN: INDONESIA DALAM PENGHANCURAN
Label:
Info Lingkungan