Rabu, 03 Februari 2010

Mengembalikan Kenangan Masa Lalu Titi Gantung


Titi Gantung, begitu sebutannya. Titi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya berjalan di jalan dan sebagainya yang sempit dan panjang. Ia berjalan di atas pematang. Titi juga berarti menjalani; menapaki. Jenjang karier sebagai penyanyi sejak umur 15 tahun.

Titi Gantung yang berada di tengah kota Medan kini menjadi kenangan masa lalu bagi Indonesia umumnya dan khususnya bagi penulis.

Ketika belum lama ini penulis membaca berita di surat kabar bahwa pemerintah kota Medan menata Titi Gantung yang terdapat di atas rel kereta api stasiun Medan, teringat peristiwa 32 tahun yang lalu, sekira tahun 1978. Titi Gantung merupakan sarana jalan dan penyeberangan penulis dari rumah ke sekolah. Titi Gantung bukan jalan sempit dan panjang sebagaimana arti Titi yang disebutkan dalam KBBI. Namun, Titi Gantung bagi penulis adalah jalan lintas dari rumah ke sekolah di Jalan Deli (kini Jalan GB. Josua) setiap harinya.

Begitu lonceng berdenting dari stasiun besar kereta api sebagai pertanda kereta api Lancang Kuning siap untuk berangkat menuju Rantau Prapat ketika itu pula penulis melintas di atas Titi Gantung menuju sekolah dari rumah di Jalan Stasiun Kereta Api Medan. Adanya Titi Gantung membuat penulis tidak harus melintasi puluhan rel kereta api yang melintang di lokasi stasiun besar Kereta Api menuju Jalan Jawa (kini Jalan Irian Barat) selanjutnya terus ke Jalan Bali (kini Jalan Veteran) menyeberang Jalan Thamrin dan sampai di Jalan Deli (kini Jalan GB. Josua) tempat penulis bersekolah.

Bangunan Titi Gantung memiliki dua pintu gerbang dan ruas jalan yang menghubungkan Jalan Irian Barat dengan Jalan Pulau Pinang. Titi Gantung ini dari dahulu sampai kini tetap berdiri dengan tembok yang kokoh, unik dan khas yang memiliki lebar 40-50 meter dengan tinggi bangunan 7-8 meter dari permukaan jalan. Pada bagian bawah ada pintu gerbang yang selalu tertutup, terdapat jalan berjenjang (tangga) di sebelah kanan dan jalan mendaki berlapis aspal dari dua arah. Begitu juga dari arah jalan Irian Barat ada pintu gerbang yang pada sebelah kanan terdapat jalan berjenjang (tangga) dan di sebelah kiri satu ruas jalan mendaki. Lebar Titi Gantung dengan lantai berlapis aspal sepanjang 40-50 meter berada di atas jalur rel kereta api atau di bawahnya melintas kereta api.

Ingat Buku Bekas

Bertahun-tahun penulis melintasi Titi Gantung, pagi, siang dan sore hari yang selalu dipenuhi para pedagang buku bekas. Dulu, di kota Medan belum bertabur toko buku, bila ingin buku pelajaran datang saja ke Titi Gantung. Ingat buku bekas, ingat Titi Gantung meskipun buku baru juga banyak dijual di kawasan Titi Gantung.

Titi Gantung bukan sekadar sarana dan prasarana penyeberangan dan jalan, juga sebagai sarana rekreasi. Hampir setiap saat ada saja masyarakat yang bersantai di atas Titi Gantung, memandang lapangan Merdeka yang semasa penjajahan Belanda bernama Esplanade dan semasa waktu pendudukan Jepang bernama Fukuraido. Hampir setiap saat pula masyarakat ada yang melihat kereta api yang akan berangkat meninggalkan stasiun besar menuju Rantau Prapat atau Pematang Siantar dari atas Titi Gantung.

Titi Gantung memiliki nilai sejarah, arsitekturnya yang khas dan unik. Awalnya Titi Gantung diperuntukkan sebagai jalan lintas dan penyeberang jalan kaki, calon penumpang kereta api, para pengunjung dan penonton berbagai kegiatan yang ada di lapangan Merdeka seperti kegiatan "Pasar Malam" yang dulu diselenggarakan secara rutin dan yang terakhir "Pasar Malam" di lapangan Merdeka dilaksanakan tahun 1964, setelah itu tidak ada lagi.

Namun, waktu itu anak-anak seusia penulis masih bebas bermain bola kaki di lapangan Merdeka dan para pedagang buku terus bertahan di Titi Gantung yang akhirnya direlokasi ke lapangan Merdeka. Kini lapangan Merdeka tidak diperkenankan lagi untuk anak-anak bermain bola kaki sejak dibangun lokasi sepatu roda dan jajanan malam yang elite.

Banyak yang telah berubah, termasuk pohon Trambesi yang mengelilingi lapangan Merdeka sudah hilang satu demi satu dan daunnya tidak rimbun lagi. Beda dengan Titi Gantung yang masih tetap sebagai sarana dan prasarana penyeberangan dan jalan yang kurang perawatannya padahal kota Medan sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang bernilai sejarah, Arsitektur Kepurbakalaan yang ada di daerah kota Medan.

Titi Gantung jelas bernilai sejarah sebab dibangun menyusul dibukanya perusahaan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) pada tahun 1885 dan jelas sebagai bangunan bernilai sejarah peninggalan tempo dulu.

Sementara itu, DELI Spoorweg Maatschappij (DSM) merupakan perusahaan kereta api pertama di luar Jawa semasa kolonial Belanda. Menurut data yang penulis peroleh, kereta api pertama kalinya ada pulau Jawa yang awalnya bukan hanya untuk angkutan penumpang, tetapi untuk angkutan barang hasil perkebunan. Dari data itu disebutkan pemerintahan Hindia Belanda melakukan pencangkolan pertama pembangunan rel kereta api oleh Gubernur Jenderal, Baron Solet van Beele pada 17 Juni 1864.

Kemudian untuk rel komersial yang pertama dibuka dari Kemijen (Semarang) ke Tanggung sepanjang lebih kurang 26 kilometer pada 10 Agustus 1867 dan terus berlanjut untuk daerah lain yang umumnya menghubungkan lokasi pelabuhan, termasuk jalur kereta api menghubungkan Medan-Pematang Siantar-Belawan yang dimulai tahun 1883.

Kenangan Masa Lalu

Agaknya dari perjalanan panjang kehadiran Titi Gantung melahirkan kenangan masa lalu bagi rakyat Indonesia umumnya, khususnya bagi Medan Sumatera Utara dan yang terkhusus bagi penulis seperempat abad yang lalu. Kenangan masa kanak-kanak dan remaja melintasi Titi Gantung setiap hari, dari pagi hingga malam hari.

Kenangan masa lalu juga bagi masyarakat kota Medan karena Titi Gantung yang diperkirakan diresmikan penggunaannya pada tahun 1920 bersamaan dengan kantor pusat perusahaan kereta api DSM waktu itu di Jalan Serdang (kini Jalan Prof. H.M Yamin, SH) tepatnya kini masih dapat dilihat berdiri megah sebagai kantor PT. Kereta Api Indonesia (KAI) di persimpangan Jalan Prof H.M Yamin, SH dan Jalan Irian Barat.

Bila dilihat kehadiran Titi Gantung lebih awal dibandingkan dengan pembangunan lapangan terbang Polonia Medan yakni tahun 1924 untuk pertama kali didarati pesawat dari Negeri Belanda. Begitu juga dengan pembangunan pelabuhan Belawan pada tahun 1928 dan bangunan lainnya di kota Medan.

Perjalanan waktu merupakan catatan sejarah yang penting bagi siapa saja termasuk bagi pemerintah kota Medan. Bukan saja bagi pemerintah kota Medan tetapi bagi penulis kehadiran Titi Gantung merupakan kenangan masa lalu yang tidak terlupakan, tidak ingin dilewatkan begitu saja dalam perjalanan hidup. Banyak kesan-kesan suka dan duka dari Titi Gantung itu.

Wajar, ketika penulis membaca berita di surat kabar bahwa pemerintah kota Medan katanya menata kembali Titi Gantung, ketika itu pula kenangan itu muncul kembali. Kemudian muncul pertanyaan, benarkah pemerintah kota Medan menata kembali Titi Gantung? Bagaimana pemerintah kota Medan menata kembali Titi Gantung itu? Seperti apa Titi Gantung akan ditata? Berbagai pertanyaan muncul sebab Titi Gantung memiliki perjalanan sejarah yang panjang.

Mengembalikan Fungsi Awal

Tulisan ini hadir disebabkan pertama berawal dari catatan kenangan masa lalu. Kedua, ingin melihat Titi Gantung sebagaimana dengan fungsi awalnya. Beberapa pertanyaan tentang Titi Gantung yang akan ditata itu pada dasarnya bagaimana mengembalikan fungsi awal dari Titi Gantung itu sendiri.

Kata kunci untuk menata kembali Titi Gantung adalah mengembalikan kepada fungsi awalnya yakni fungsi awalnya Titi Gantung diperuntukkan sebagai jalan lintas dan penyeberangan para pejalan kaki, calon penumpang kereta api, para pengunjung dan menatap keindahan lapangan Merdeka yang kala itu sangat asri, sejuk dengan pohon-pohon Trambesi yang rimbun dan angin semilir berhembus menyejukkan suasana. Ketika malam Titi Gantung terlihat indah dengan lampu-lampu hias untuk menatap kereta api yang langsir hilir mudik mengatur gerbong-gerbong yang akan diberangkatkan esok hari dan yang siap bongkar barang.

Bila menata Titi Gantung dengan mengembalikan kepada fungsi awalnya maka secara otomatis sebuah situs sejarah terselamatkan. Kemudian wajah kota Medan semakin indah, asri dan menyejukkan mata. Bila wajah kota Medan semakin indah, asri dan menyejukkan mata maka secara otomatis kota Medan sebagai pintu gerbang Sumatera Utara menjadi daerah tujuan wisata sejarah yang diperhitungkan para wisatawan domestik dan mancanegara.

Mengembalikan fungsi awal dari Titi Gantung bermakna global, mulai dari menyelamatkan situs sejarah, memperindah kota Medan, mengundang turis datang dan membangkitkan kenangan masa lalu, termasuk kenangan masa lalu penulis. Oh, sungguh indahnya.***

Fadmin Prihatin Malau, pemerhati masalah sosial, ekonomi dan budaya serta bertahun-tahun melintasi Titi Gantung Medan.