Jumat, 19 Februari 2010

RUU PERKAWINAN: BENARKAH MELINDUNGI PEREMPUAN ?


Sepekan terakhir, perdebatan mengenai pemberlakuan ketentuan pidana untuk pelaku perkawinan siri (perkawinan di bawah tangan, mengacu istilah Majelis Ulama Indonesia), kontrak, dan poligami menjadi perdebatan publik yang hangat. Ulama, pimpinan lembaga peradilan, komisi negara, hingga aktivis perempuan membedah ketentuan itu.

Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat 24 bab dan 156 pasal ini dimaksudkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. RUU ini dibuat dengan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam dan mengatur lebih detail perkawinan khusus untuk warga negara beragama Islam. Cakupan RUU meliputi syarat sah perkawinan, perceraian, perwalian anak, hak dan kewajiban suami istri, rujuk, perkawinan campuran, dan juga ketentuan pidana (10 pasal) untuk para pelanggar larangan-larangan di dalamnya.

Ketentuan pidana inilah yang menarik perhatian. UU Perkawinan (1974) tidak mengatur mengenai hal tersebut. Ketentuan pidana baru disebutkan di Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyebutkan, pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan PP didenda Rp 7.500. Khusus untuk pegawai pencatat nikah yang melanggar ketentuan diancam hukuman kurungan selama tiga bulan dan denda Rp 7.500.

Denda itu dinilai tidak relevan lagi. Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Abdul Gani Abdullah, yang juga hakim agung pada Mahkamah Agung, menilai, perlu ada penyesuaian-penyesuaian. Maka, dinaikkanlah denda yang dijatuhkan menjadi antara Rp 6 juga dan Rp 12 juta.

Banyak yang mendukung, banyak pula yang keberatan. Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa, misalnya, mengaku sepakat dengan pemberlakuan ketentuan pidana dalam RUU tersebut. ”Demi ketertiban masyarakat,” ujarnya.

Demikian pula dengan Ketua MK Mahfud MD dan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin. ”Hukuman pidana ini relevan diterapkan jika pernikahan siri sudah menimbulkan banyak korban di masyarakat,” ujar Ma’ruf Amin.

Namun, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengingatkan bahwa mengatur secara rigid/kaku hal-hal terkait perkawinan sama saja membiarkan negara terlalu jauh masuk ke ranah pribadi. Ifdhal meminta masyarakat tidak mengacaukan antara hakikat perkawinan/pernikahan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Adanya perempuan dan anak yang pada akhirnya menjadi korban suatu perkawinan siri, kontrak, ataupun poligami, tidaklah kemudian dapat menjadi pembenaran pemberlakuan ketentuan pidana. ”Dasar perkawinan itu konsensus, persetujuan. Kalau ada pemaksaan, itu baru bisa dipidana,” ujarnya.

Mengenai korban (perempuan dan anak yang kehilangan hak-haknya secara hukum), Ifdhal mengatakan, ada jalan lain untuk mewujudkan perlindungan, di antaranya dengan memasukkan klausul-klausul perlindungan tersebut dalam UU lain, seperti UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Perlindungan?

Pertanyaan kritis, apakah RUU itu benar-benar melindungi kaum perempuan yang selama ini dirugikan oleh praktik-praktik perkawinan siri, kontrak, atau poligami, terlontar dari mantan komisioner Komnas HAM, Sri Wiyanti Eddyono. Ia mengajak semua pihak untuk tidak buru-buru mendesakkan pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.

Ia memberikan sejumlah catatan kritis. Catatan itu, di antaranya, RUU tersebut mengatur batas minimum usia perkawinan sangat rendah (di bawah umur), yakni 16 tahun. Ia juga menengarai adanya potensi perempuan dirugikan untuk kedua kalinya oleh ketentuan isbat nikah (pengajuan penetapan nikah di pengadilan).

Pasal 6 Ayat 4 RUU menyebutkan, ”Perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat diisbatkan dengan dikenai sanksi pidana yang ditentukan dalam UU ini.” ”Dengan pengaturan seperti itu, apakah perempuan akan terlindungi,” ujarnya.

Selain itu, Sri Wiyanti juga mengingatkan kondisi sosiologis dan geografis yang membuat ketentuan pencatatan/registrasi perkawinan menjadi sulit dilakukan. Semua pihak diminta tidak berpikir Jakasentris (atau wasentris). Di luar wilayah itu, perempuan kesulitan mengakses Kantor Urusan Agama (KUA). Ia mencontohkan kaum perempuan di Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan sangat mungkin kesulitan mengakses KUA. ”Kala hal demikian terjadi, perempuan-perempuan itu justru menjadi korban lagi,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawansa pun ragu apakah hukuman penjara akan efektif untuk mengingatkan pelaku pernikahan siri agar mencatatkan pernikahannya pada lembaga pemerintah. Pemenjaraan pelaku pernikahan siri justru akan menyulitkan pemerintah karena harus menyiapkan ruangan penjara lebih banyak lagi.

Namun, pada dasarnya, kata Khofifah, harus ada hukuman bagi para pelaku perkawinan siri karena hal itu berimplikasi terhadap perempuan dan anak.

Kembali ke prinsip

Permasalahan perkawinan tanpa pencatatan ini sebenarnya juga sudah dipikirkan para ulama di MUI. Pada 2005, MUI membahas pernikahan di bawah tangan ini. Pada prinsipnya, perkawinan dianggap sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi. Perkawinan sah, menurut Islam, jika ada mempelai pria dan wanita, wali dari mempelai wanita, dua saksi, ijab atau ucapan penyerahan calon wanita dari wali atau perwakilan wali kepada mempelai laki-laki untuk dinikahi, dan kabul atau ucapan penerimaan pernikahan dari mempelai laki-laki atau walinya.

Dari hasil dialog MUI menyimpulkan, pernikahan sah bisa halal, tetapi juga bisa haram. Halal apabila tidak menimbulkan korban. Sebaliknya, jika pernikahan menimbulkan korban, meski dilakukan secara sah, akan menjadi haram.

”Istri dan anaknya tidak memiliki hak menuntut biaya pendidikan, biaya hidup, dan bahkan hak waris saat suami atau ayah mereka meninggal. Itu yang dimaksud dengan kerugian,” kata KH Ma’ruf Amin.

Khofifah mengingatkan bahwa tujuan paling mendasar dalam perkawinan adalah ketenangan. Ketenangan tak mungkin dipenuhi jika ada pihak yang dirugikan.

Karena itu, masih ada waktu untuk menemukan titik kompromi yang paling arif. Semangatnya jelas, tidak ada pihak yang dirugikan dalam sebuah perkawinan yang sakral.(Anita Yossihara dan Susana Rita /kps)