Senin, 01 Februari 2010

ANAK JALANAN: AKARNYA KEMISKINAN DAN RENDAHNYA PRIORITAS


Jakarta - Jumlah anak yang turun ke jalan untuk mencari nafkah dari hari ke hari terus naik. Data dari Kementerian Sosial menunjukkan jumlah anak jalanan yang pada tahun 1997 masih sekitar 36.000 anak sekarang menjadi sekitar 232.894 anak.

Kenaikan itu dapat dilihat secara kasatmata di perempatan jalanan Ibu Kota ataupun di kota kecil. Dengan mudah kita dapat menjumpai anak lelaki atau perempuan meminta-minta atau mengamen. Padahal, fenomena anak jalanan seperti itu sebelum tahun 2000 hanya bisa dilihat di kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya.

Tak kunjung teratasinya perlindungan anak karena kecenderungan kebijakan tidak berpihak kepada anak. Ini terlihat antara lain dari anggaran untuk perlindungan anak yang terus menurun. Tahun 2005 mencapai Rp 274 miliar, tahun ini hanya dialokasikan Rp 147 miliar.


Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Makmur Sunusi pekan lalu menyatakan, akar dari terus meningkatnya jumlah anak jalanan terutama karena kemiskinan, perceraian orangtua, serta kemalasan dan kurang tanggung jawab orangtua sehingga menjadikan anak sebagai pencari nafkah bagi keluarga.

Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Mereka yang masuk kategori telantar dan hampir telantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen. Anak jalanan menurut Kementerian Sosial termasuk anak telantar.

Akan tetapi, peningkatan angka anak jalanan ternyata tidak sejalan dengan angka kemiskinan versi BPS yang justru terus berkurang. Pada tahun 2007, menurut BPS, jumlah orang miskin 37 juta, turun menjadi 34,9 juta (2008), lalu 32 juta orang (2009).

Namun, jika memakai angka pendapatan per kapita 2 dollar AS per hari sesuai dengan standar kemiskinan versi Bank Dunia, di Indonesia masih ada 100 juta orang miskin.

Cakupan terbatas

Makmur Sunusi dalam wawancara dan forum dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR pada Kamis (28/1) menyatakan, peningkatan anak jalanan juga terjadi akibat cakupan pemerintah dalam penanganan anak bermasalah tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi anak kategori telantar.

Dana dari pemerintah hanya sanggup memberikan pelayanan bagi sekitar 4 persen per tahun dari total anak telantar (termasuk anak jalanan).

”Pengaman pertama supaya anak tak turun ke jalan adalah orangtua dan keluarga. Dalam mengatasi anak jalanan program yang dilakukan pemberdayaan orangtua. Tetapi itu terbatas dibanding peningkatan populasi anak jalanan, terutama di kota-kota besar,” ujar Makmur.

Ia mengakui dana menjadi kendala dalam melaksanakan programnya. ”Percepatan populasi anak yang tak sebanding dengan ketersediaan anggaran menyebabkan anak bermasalah terus meningkat,” katanya. Saat ini belum diketahui siapa yang akan menangani sisa anak jalanan yang masih sekitar 96 persen dari total anak telantar itu.

Di sisi lain, peserta rapat dengar pendapat dengan DPR, yakni sejumlah lembaga pemerintah terkait perlindungan anak, melihat upaya perlindungan atas anak jalanan masih parsial meski ada beberapa lembaga pemerintah yang menanganinya. Perlindungan anak mencuat jika muncul kasus yang menarik perhatian publik.

Mereka sepakat untuk menghadirkan perlindungan anak yang akan menyelesaikan masalah yang mengarah ke kekerasan pada anak. Diharapkan anak bermasalah memiliki akses jelas untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan negara bagi keselamatan, keamanan, dan kesejahteraannya.

DPR juga mendesak pemerintah tidak lagi merazia dan menggaruk anak jalanan. ”Anak jalanan jangan dikriminalisasi. Mereka korban yang perlu diadvokasi supaya memiliki akses ke rumah singgah,” kata Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding. (ELN/TRI/kp)