Sudah dua bulan ini Maruwih (30) kembali ke lingkungan lamanya yang padat di Jalan Karya, Pondok Kopi, Jakarta Timur, menghuni salah satu rumah petak milik mertuanya.
Rumah mungil di sebuah perumahan di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, yang ditempatinya selama tiga tahun, telah dikosongkan dan dijual. Semuanya demi kesempatan terakhir lepas dari tuberkulosis.
Penyakit itu menyerang paru-paru Maruwih sejak tahun 1998. Beberapa kali ia berobat ke puskesmas, sembuh, lalu kambuh lagi. Terakhir, pria lulusan sekolah menengah kejuruan itu berobat di rumah sakit swasta selama enam bulan. Biaya pengobatan Rp 2,5 juta sebulan berat bagi pegawai administrasi di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergaji sekitar Rp 2 juta per bulan itu. Kadang obat hanya ditebus separuh.
Maruwih tak kunjung sembuh. Ia lalu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur, dan dinyatakan resisten atau tidak mempan menggunakan obat lini pertama tuberkulosis. Obat lini pertama tersedia gratis di fasilitas kesehatan pemerintah. Penderita sembuh jika berobat teratur selama enam bulan. Obat pun dapat dibawa pulang. Pasien putus obat biasanya berisiko resisten.
Namun, masih ada satu kesempatan bagi Maruwih. Ia lalu
menandatangani kontrak komitmen menjalani program pengobatan khusus di RSUP Persahabatan. Maruwih wajib meminum obat lini dua yang diberikan gratis di klinik. Hujan, panas, atau tanggal merah, ia mesti datang minum obat selama dua tahun. Kamis, 29 Oktober 2009, merupakan hari pertama ia minum obat.
Seluruh kehidupan Maruwih
pun berubah. Novi, istri Maruwih, ikut berlapang dada. ”Kami niatnya ingin hidup mandiri dan tidak tergantung orangtua. Saya senang rumah di Pondok Cabe dan sudah banyak teman. Tapi... harus ada yang dikorbankan,” ujar Novi sambil menyajikan air kemasan di meja. Belakangan, keluarga Maruwih menyajikan air dalam kemasan lantaran tidak ingin tamu khawatir tertular kalau menggunakan gelas keluarganya.
Perjalanan Pondok Cabe- RSUP Persahabatan begitu melelahkan di tengah kemacetan Jakarta dan ongkos lebih besar lantaran berganti-ganti angkutan umum. Maruwih mesti meluangkan lima hingga enam jam untuk perjalanan dan berobat.
Irama keluarga kecil itu juga berubah. Selama satu bulan awal pengobatan, ia mengenakan masker. Ia membatasi pula interaksi dengan dua putranya serta sang istri. Penularan tuberkulosis terbilang mudah. Saat batuk, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan ludah). Orang dapat terinfeksi jika bakteri terhirup masuk saluran pernapasan, terutama yang bertubuh rentan.
Pengorbanan besar lainnya adalah ketika Maruwih terpaksa meninggalkan pekerjaan yang telah dijalaninya bertahun-tahun. Ia izin cuti satu tahun. Gajinya tetap dibayar dengan penurunan persentase. Pada akhir tahun nanti, ia hanya menerima 25 persen gaji. ”Saya tidak tahu, pekerjaan itu masih ada atau tidak dua tahun lagi. Uang penjualan rumah nantinya juga untuk jaga-jaga,” katanya kemudian berdiri bersiap-siap pergi ke masjid, 5 Februari siang. Selesai shalat, ia akan ke klinik.
Di klinik
Tenaga kesehatan menyebut tempat itu klinik multidrug resistant-tuberculosis (MDR-TB). Sekilas seperti ruang tunggu yang selalu ramai, termasuk siang itu, walau hujan deras mengguyur.
Di ruangan bersih, terang, dan terbuka itu tertata rapi meja konsultasi, dipan pemeriksaan, serta rak obat. Belasan kotak plastik tertumpuk di rak. Masing-masing kotak diberi stiker nama. Selain Maruwih, ada nama Soekamto (58). Kotak milik Soekamto sudah berkurang isinya, 23 butir obat jatah hari itu baru saja bersarang di lambungnya. Pria itu bercerita, ia terkena tuberkulosis sepulang naik haji tahun 2005. Dua tahun berobat di sebuah rumah sakit swasta dan tak kunjung sembuh, dia bermuara di klinik tersebut.
Di kotak lain tertulis nama Dien (22). Tuberkulosis juga ”kawan lama” Dien. Berkali-kali dia putus berobat. Obat memang gratis di puskesmas, tetapi rasa bosan minum obat dan petugas yang menyebalkan membuat dia enggan menebus obat. ”Saya merasa diperlakukan seperti pengemis obat di puskesmas,” kata Dien.
Kali ini Dien sengaja pindah kontrakan dari Grogol ke Cipinang Timur agar dekat rumah sakit. Dia sadar, tanpa program gratis itu, penghasilan suaminya sekitar Rp 1 juta sebulan sebagai kurir di penginapan tidak mencukupi.
Kotak obat milik Rokhmin yang sopir taksi, Zulkarnaen yang tukang ojek, dan nama-nama lain masih berderet rapi. ”Ada 14 peserta program MDR-TB yang sebagian besar minum obat di siang hari. Obat diberikan gratis. Obatnya termasuk mahal, sekitar Rp 2 juta per bulan per orang. Sebagian pasien termasuk tidak mampu,” ujar Ahmad Ansori Salama Putera, pegawai di klinik itu.
Di Indonesia, ada dua klinik MDR-TB, yakni di RSUP Persahabatan dan RSU Dr Soetomo, Surabaya. Klinik kerja sama rumah sakit, Global Fund, Kementerian Kesehatan, USAID, dan KNCV Tuberculosis Foundation itu beroperasi sejak beberapa bulan lalu. Spesialis paru-paru dan saluran pernapasan dari RSUP Persahabatan, Ratnawati, mencatat setidaknya ada 101 kasus MDR-TB tahun 2005-2007 terdata di tempatnya bekerja. Bahayanya, penderita dapat menularkan kuman resisten. Padahal, penanganan MDR berpuluh kali lipat lebih mahal, lama, dan efek samping obat lebih berat. Ratnawati masih mengamati perkembangan pengobatan kasus MDR. Jika pengobatan terputus atau gagal, pasien rawan masuk ke tahap extensively drug resistant tuberculosis (XDR-TB) dan belum ada obat yang direkomendasikan untuk membunuh kuman XDR-TB.
Beberapa bulan pengobatan berlangsung, rasa bosan dan lelah menggoda. Apalagi efek obat tidak menyenangkan, seperti mual, pusing, dan berpengaruh pada emosi. Namun, mereka bertekad terus berobat.
Hujan mulai reda. Satu per satu pengunjung klinik pun pamit pulang. Masih ada ratusan kunjungan lagi yang memisahkan mereka dengan kesembuhan. (INE/kp)
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Jumat, 12 Februari 2010
PENDERITA PARU: MENJUAL RUMAH DEMI KESEMBUHAN
Label:
Info Kesehatan