Selasa, 23 Februari 2010

JAMINAN KESEHATAN: JANGAN RENGGUT HAK SEHAT SI MISKIN


Ungkapan satiris bahwa orang miskin dilarang sakit bukanlah kata-kata kosong. Apabila tak ada uang, sakit sungguh mencekik leher. Pasien dan keluarganya sama-sama menderita.

Bolak-balik dari rumah ke rumah sakit terasa berat diongkos. Belum lagi proses pengobatan yang kerap tertunda lantaran ketiadaan biaya.

Aura (7 bulan), misalnya, tertunda empat bulan sebelum diberangkatkan dari kampungnya di Desa Pangkal Bulu, Kecamatan Payung, Provinsi Bangka Belitung, ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta. Bayi pasangan Otan (32) dan Surya (28) itu diketahui mengalami hidrosefalus (pembesaran kepala) sejak berumur tiga bulan.

Keterlambatan pengobatan mengakibatkan cairan makin menumpuk, membuat kepala Aura terus membesar. Dengan kondisinya itu, Aura kini susah bersuara, apalagi menangis.

Mereka bertolak ke Jakarta berbekal uang Rp 5 juta hasil pinjaman dari sanak keluarga dan selembar kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Selain biaya berobat bagi Aura, keluarga buruh tani ini juga harus mengeluarkan biaya perjalanan dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari di Jakarta.

Ongkos hidup terasa makin berat karena mereka tak tertampung di rumah singgah RSCM. Biaya tinggal di rumah singgah ini ringan, hanya Rp 15.000 per hari. Namun, dengan kapasitas 84 tempat tidur, pengantrenya bisa ratusan orang.

”Semula kami berencana tinggal di masjid RSCM. Namun, karena kasihan dengan bayi, kami memilih mencari rumah kos,” kata Otan.

Masalah keuangan juga menyebabkan orangtua bayi hidrosefalus lainnya, Mohammad Toriq (2 bulan), memilih bermalam di Masjid Asyifa, RSCM. Toriq akhirnya mendapatkan perhatian pihak rumah sakit setelah media massa memberitakannya. Sementara Aura, atau Toriq lain bersama keluarganya, tetap harus berupaya keras mengelola sedikit uang untuk mencari pondokan dan makan.

Rumah kos murah bagi pasien rawat jalan ataupun keluarga yang menunggui memang menjamur di sekitar rumah sakit. Sejumlah keluarga di sekitar RSCM menawarkan kamar di rumah mereka. Aura mendapatkan kamar berukuran 3 meter x 2 meter di rumah milik Ibu Ika, Jalan Kimia Ujung, dengan tarif Rp 600.000 per bulan.

Di beberapa rumah kos ada fasilitas dapur sehingga keluarga pasien bisa memasak dan mengirit uang makan. Di kos-kosan mungil itu berjejalan pasien dan keluarganya. Kebersihan—apalagi kondisi steril yang dibutuhkan pasien sembari menunggu jadwal operasi ataupun pemeriksaan rutin di rumah sakit—sering terabaikan. Tidak jarang sakit pasien justru makin parah dan keluarga yang menunggu pun turut sakit.

”Saya kena flu dan batuk sudah tiga hari. Paling cuma minum obat dari warung. Yang penting tetap bisa nungguin anak saya ini,” kata Nining (51) asal Lampung yang mendampingi putrinya, Raudah (34), penderita tumor yang tengah berobat jalan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Mereka berdua kini menghuni rumah kos Uti (46) dengan membayar Rp 25.000 per hari.

”Memang menambah uang masuk, tetapi banyak orang yang tidak punya uang hanya membayar ala kadarnya. Karena kasihan, ya, tetap ditampung,” kata Uti, pemilik rumah kos di belakang RS Fatmawati.

Tak tertangani

Duka pasien miskin pernah mengemuka pada tahun 2008. Saat itu, sekitar 30 pasien dan keluarga pasien miskin di RSCM memilih tinggal di salah satu bangunan kosong di rumah sakit tersebut. Saat bangunan direnovasi, mereka pun terusir.

Terlunta-lunta, puluhan orang itu ditampung di lantai dasar Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tepat di seberang RSCM. Pasien penderita tumor hingga kakek-kakek penderita gagal ginjal yang harus selalu menggunakan kateter terpaksa tidur di lantai beralas tikar.

Akhirnya, beberapa dermawan menampung mereka di sebuah rumah layak di Menteng. Angkutan menuju dan pulang ke RSCM untuk pemeriksaan rutin turut disediakan. Akan tetapi, harus disadari, hanya kasus 30 orang yang telantar itu saja yang terselesaikan. Sementara kasus serupa masih ratusan, bahkan ribuan, di luar sana.

Sepanjang 2008 tersebut, LBH Jakarta, LBH Kesehatan, dan beberapa organisasi kemasyarakatan lain beberapa kali mendesak pemerintah agar memperbaiki pelayanan kesehatan bagi si miskin. Namun, tuntutan itu tak pernah benar-benar dipenuhi. Hingga kini!

Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), misalnya, menerima laporan dan mengadakan investigasi sejak Juni 2009 hingga awal tahun 2010. Hasilnya, ada beberapa kasus penggelembungan biaya perawatan warga miskin. Ada pula kasus pembayaran ilegal untuk mendapatkan kamar perawatan di rumah sakit pemerintah tertentu, biaya kursi roda, membeli alat kesehatan atau obat, laboratorium, dan uang muka perawatan.

Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan mempertanyakan kapan pemerintah menindak tegas segala bentuk penyelewengan pelayanan kesehatan bagi warga miskin serta memperbaiki sistem yang ada agar nasib mereka tak lagi terabaikan. Pembiaran terhadap buruknya pelayanan kesehatan bagi si miskin sama artinya dengan merenggut hak hidup mereka.
(Agnes Rita Sulistyawati dan Neli Triana/KPS)