Kamis, 18 Februari 2010

Ekonomi Lingkungan Mohamad Subhan


Tidak mudah menciptakan lapangan pekerjaan yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Apalagi, jika pekerjaan itu juga mampu menyelamatkan bumi dari kehancuran akibat pencemaran lingkungan. Namun, Mohamad Subhan telah membuktikannya.

Ibarat pepatah, sekali dayung dua pulau ia lampaui. Dibantu istrinya, Sri Hartati, lelaki kelahiran Kota Kediri, Jawa Timur, ini merangkai penggalan-penggalan kehidupan dan mengonstruksikannya menjadi pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan.

Memang tidaklah muluk-muluk seperti program-program yang digagas pemerintah. Namun, apa yang dilakukan Subhan lebih riil, lebih konkret. Programnya mengena pada sasaran, yakni masyarakat kalangan bawah, kaum yang termarjinalkan secara ekonomi.

Idenya sederhana. Subhan dan istrinya merangkul masyarakat di sekitarnya. Rangkulan itu sangat luas sehingga bisa mendekap semua kalangan, mulai ibu-ibu rumah tangga yang hanya mengurus dapur, anak-anak putus sekolah yang terganjal biaya, hingga warga usia lanjut yang masih butuh makan, tetapi tidak lagi memiliki nilai tawar untuk bekerja di sektor formal.

Setelah itu, baru dia berpikir mengenai jenis pekerjaan. Dari perjalanan yang panjang, Subhan akhirnya mantap terjun ke dalam usaha pengolahan plastik bekas pakai menjadi biji poliester sebagai bahan baku setengah jadi pada industri plastik.

Sebelum jatuh cinta pada pengolahan bijih plastik, ia pernah tergoda pada usaha pembibitan pohon jati emas (Tectona grandis), sejenis tanaman jati yang bisa dipanen pada umur 5 tahun. Namun, karena tidak memberikan manfaat banyak keterhadap lingkungan sekitarnya, usaha itu dia tinggalkan.

Subhan mengajak tetangganya mengumpulkan barang bekas berbahan plastik, seperti botol air minum kemasan, botol minyak goreng kemasan, dan botol minuman bersoda. Barang itu tidaklah sulit didapat.

”Daripada dibuang sembarangan, mencemari bumi. Plastik termasuk bahan tidak ramah lingkungan karena tidak bisa diurai oleh mikroba di dalam tanah,” katanya.

Sebagai penghargaan atas jerih payah pengumpul, ia memberikan kompensasi Rp 1.100 sampai Rp 1.500 per kilogram sesuai kualitas barang. Kualitas ini ditentukan, antara lain, oleh tingkat pemakaian dan tingkat kerusakan.

”Seperti diketahui, masih sedikit masyarakat kita yang peduli dan disiplin. Sebagai contoh, botol kemasan air minum yang aturannya sekali pakai, dipakai berkali-kali. Padahal, itu kan mengandung zat yang berbahaya buat kesehatan,” ujarnya.

Sejak saat itu, tetangga Subhan, yang sebelumnya menganggur, jadi punya pekerjaan. Para lansia yang sebelumnya bergantung pada belas kasihan orang lain, misalnya, kembali menyingsingkan lengan baju.

Lebarkan sayap

Sejak usahanya berkembang pesat, Subhan tidak lagi membeli langsung dari masyarakat. Ia melebarkan sayap dengan membeli ke pengepul. Bahkan, dengan kebutuhan bahan baku yang mencapai 300 ton per minggu, harus dipasok dari luar Kediri, seperti Nganjuk, Tulungagung, dan Jombang, bahkan dari Bali.

”Bahan dari Bali yang paling bagus kualitasnya karena rata-rata satu kali pakai langsung dibuang. Pasokannya juga banyak karena suburnya industri pariwisata di sana yang meningkatkan kegiatan konsumsi,” katanya.

Warga di sekitar rumahnya, yang dulu mengumpulkan plastik bekas, kini ”naik pangkat” menangani produksi. Mereka mengisi pos-pos penting, seperti memilah bahan berdasarkan jenis plastik dan kualitasnya, membersihkan, memasukkan ke dalam mesin, menjemur, dan mengolahnya lagi menjadi bijih poliester.

Tidak kurang dari 100 orang pekerja yang menangani produksi dengan kapasitas mesin yang mencapai 1 ton per hari. Pekerja yang terlibat usaha ini, tetapi tidak berada dalam rantai langsung, jumlahnya lebih dari ribuan orang.

Demi mendapatkan hasil olahan yang maksimal, ia berguru ke sebuah pabrik pengolahan bijih plastik di Jakarta. Subhan menerjemahkan ilmunya menjadi teknologi terapan yang ia pakai untuk menghasilkan poliester layak ekspor.

”Pasar ekspor lebih terbuka, bahkan, pada era perdagangan bebas mendatang. Peluangnya lebih besar lagi, bergantung pada daya saing kita. Kelebihan lain, pembayaran dari pembeli lebih lancar dan tidak perlu menunggu sampai produk jadinya laku,” ujar pria yang memasuki pasar ekspor sejak tahun 2005.

Perjalanan usaha Subhan bukannya tidak pernah diguncang badai. Saat krisis moneter mengacaukan ekonomi dunia, usaha pria jebolan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat ini juga terganggu.

”Hampir empat bulan saya tidak berproduksi karena pasar ekspor tidak stabil. Untunglah semua itu segera berlalu,” ujar lelaki yang sukses mengantarkan istrinya sebagai peraih penghargaan Pemuda Pelopor Jawa Timur 2009 di bidang Kewirausahaan ini.

Demi mimpi

Pria yang besar di lingkungan keluarga sederhana ini bersusah payah menyelesaikan kuliah demi meringankan beban orangtuanya.

Selepas kuliah, ia pun berjuang mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilmu yang ditempuhnya. Berkat kegigihannya, juga doa keluarga, Subhan diterima bekerja di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri dan Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran.

Dia menjadi pegawai negeri sipil. Lebih dari itu, Subhan terbilang gemilang meniti karier dengan jabatan sebagai Kepala Personalia di Rumah Sakit Islam Kediri.

Namun, hatinya gundah menyaksikan kesenjangan ekonomi di sekitarnya. Berkali-kali dia mengulurkan tangan, tetapi ternyata tak banyak membantu.

”Kalau memberikan bantuan cuma satu atau dua kali, padahal kebutuhan mereka terus-menerus setiap hari. Jadi, saya berpikir untuk memberikan pekerjaan saja kepada mereka,” ungkapnya.

Kendati tak punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup, Subhan tidak pernah patah arang. Tidak mengherankan jika usaha yang dirintisnya sejak tahun 2003 itu kini menuai sukses.

Namun, ia merasa masih banyak kekurangan, terutama di sektor permodalan yang mengandalkan kantong pribadi. Subhan tak habis pikir, pemerintah memberinya penghargaan atas prestasinya membuka lapangan kerja baru, tetapi mereka lepas tangan tanpa mau tahu kesulitan yang dihadapi. ***Runik Sri Astuti/kps