Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang wilayahnya masuk Lampung dan Bengkulu, gajah adalah pahlawan. Setelah dilatih, binatang besar berbelalai itu dapat diandalkan untuk mengatasi perambahan dan serangan gajah liar terhadap penduduk di sekitar hutan. Bagaimana ceritanya?
Hari sudah larut. Senin (26/4) itu sekitar pukul 01.00 WIB Heru Santoso (34), mahout alias perawat gajah, meningkatkan kewaspadaan. Dia berjaga di gardu pos patroli gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di kawasan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat.
”Saya jaga-jaga kalau ada gajah liar masuk kampung lagi. Teman-teman lain sedang istirahat karena kemarin malam capek mengusir 15 gajah yang masuk kampung,” kata lelaki itu sambil merokok untuk mengusir dingin.
Bagus, malam itu tak ada serangan gajah liar. Namun, pagi harinya, sekitar pukul 09.00, Heru bersama beberapa mahout lain, pembantu mahout, dan polisi hutan tetap bersiap untuk patroli lagi. Mereka memandikan dan memberi makan empat gajah yang diberi nama laiknya manusia: Karnangin (30 tahun), Yongki (30), Renggo (20), dan Arni (20).
Heru kemudian naik ke atas punggung Yongki. Dua mahout lain masing-masing mengendalikan Karnangin dan Renggo. Ketiga gajah itu diarahkan ke tangga agar dua polisi hutan, Phylippus Samirun (52) dan Dwi Wiraprobo (34), bisa ikut naik dari atas tangga. Maklum, satu gajah bisa ditunggangi dua-tiga orang.
Ketiga gajah itu, yang tampak santai saja mengangkut para mahout dan polisi hutan, kemudian bergegas menuju arah hutan. Sambil berjalan, gajah dengan kuping lebar yang terus bergerak-gerak itu mengunyah potongan pelapah daun kelapa. Sementara dua polisi hutan di atasnya menenteng senapan PM A1 dengan peluru kaliber 9 x 21 milimeter.
”Beginilah kami biasa memulai patroli. Patroli memantau perambahan hutan siang hari. Malam harinya menggiring gajah liar menjauhi perkampungan,” kata Phylippus yang juga menjadi Kepala Resor Pemerihan.
Sudah 10 bulan ini Pos Pemerihan menjadi markas Patroli Gajah di TNBBS. Program ini hasil kerja sama TNBBS dengan Taman Nasional Way Kambas, Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, dan Forum Komunikasi Mahout Sumatera. Gajah-gajah itu sendiri didatangkan dari Taman Nasional Way Kambas.
Gajah-gajah tersebut punya peran penting. Binatang itu sangat kuat, bisa menjelajahi kawasan hutan hingga masuk ke pedalaman, dan ditakuti binatang liar di hutan. Dengan naik gajah, polisi hutan merasa lebih percaya diri saat memantau taman nasional dan mengusir perambah hutan.
Gajah juga dapat memakan tanaman hasil rambahan, seperti kopi dan cokelat atau kakao. Dengan begitu, perambah diharapkan kapok menebangi pohon dan berkebun di tengah hutan. ”Sudah sekitar 200 hektar kawasan rambahan yang bisa diselamatkan lewat patroli gajah,” kata Amri, Kepala Seksi Wilayah II Bengkunat Belimbing.
Untuk mengatasi konflik gajah liar dengan manusia, gajah itu juga efektif. Mereka bisa menggiring kawanan gajah liar dari perkampungan penduduk. Gajah liar itu harus dikembalikan ke habitatnya di tengah hutan karena bisa melukai penduduk atau memangsa tanaman di kebun rakyat.
Dilatih
Bagaimana gajah-gajah itu bisa membantu program TNBBS? Gajah-gajah itu adalah gajah lokal yang memang berhabitat di Lampung. Mereka telah dijinakkan, dirawat, dan dilatih secara khusus selama bertahun-tahun.
Setelah dianggap terampil, gajah baru dipekerjakan. Para mahout mengendalikan mereka dengan aba-aba, teriakan, atau kaki. Kadang, dipakai juga semacam cambuk dengan ujung lancip. ”Kalau sudah merasa nyaman dan mengerti manusia, gajah akan manut (ikut/patuh) saja dengan kita,” kata Heru.
Saat di lapangan, gajah terlatih tersebut akan menggiring gerombolan gajah liar dari areal perkampungan menuju hutan. Para petugas berteriak-teriak sambil meletupkan semacam mercon karbit dalam pipa. Gajah terlatih sudah dibiasakan mendengar suara itu sehingga tetap tenang. Beda dengan gajah liar, mereka ketakutan dan lari.
Meski demikian, cara itu tak selalu mulus. Gajah liar yang tersudut bisa jadi menyerang balik. ”Kalau sudah begitu, kami memilih lari menyelamatkan diri,” kata Phylippus.
Begitulah, gajah-gajah itu diandalkan untuk membantu menjaga kelestarian TNBBS. Binatang tersebut diterjunkan karena perambahan hutan dan konflik gajah liar dengan manusia masih saja menjadi masalah.
Perambahan di taman nasional mencapai sekitar 57.000 hektar dari total lahan 356.800 hektar. Konflik gajah liar dengan manusia juga masih berlangsung, bahkan pernah menewaskan seorang warga Pemerihan.
”Gajah membantu kami mengatasi menjaga TNBBS. Sejak tahun 2004, taman nasional ini ditetapkan UNESCO sebagai tapak warisan dunia atau The Tropical Rainforest Heritage of Sumatera,” kata Kepala Balai Besar TNBBS Kurnia Rauf.
Atas pertimbangan itu pula, WWF mau memberi bantuan. Organisasi lingkungan yang berkantor pusat di Swiss itu mengucurkan dana sekitar Rp 20 juta per bulan selama program patroli gajah Juni 2009 sampai Juni 2010. (Ilham Khoiri/KPS)
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Minggu, 02 Mei 2010
LINTAS BARAT SUMATERA: GAJAH-GAJAH YANG MENJADI PAHLAWAN
Label:
Info Berita