Minggu, 02 Mei 2010

PARAHYANGAN: BALADA KERETA API TERAKHIR


Kereta membelok perlahan dan... inilah tikungan yang ditunggu. Hamparan sawah hijau berlatar gunung. Jauh di dasar jurang, sungai lebar berwarna kecoklatan berkilauan tertimpa matahari pagi. Inilah ”ikon” Kereta Api Parahyangan. Lukisan alam yang terbentang dari atas jembatan Sasaksaat.

Kenangan ini akan menempel lekat pada mereka ”alumni” pengguna Kereta Api (KA) Parahyangan Jakarta-Bandung yang berhenti beroperasi Selasa, 27 April 2010.

Setelah hampir 40 tahun menapaki perjalanan Bandung-Jakarta sejak 31 Juli 1971, kereta yang menjadi kebanggaan warga Bandung itu ”divonis mati” oleh manajemen PT KA. Parahyangan ambruk ditelan persaingan antarmoda transportasi. Hanya dalam waktu lima tahun sejak dibangunnya Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi) pada 2005, laju Parahyangan langsung terseok-seok, bahkan pada tahun 2009 merugi Rp 36 miliar.

Kini, hanya kenangan yang tersimpan bagi berlapis-lapis generasi yang pernah ”berutang budi” kepada kereta ini. Sehari setelah manajemen PT KA memublikasikan penutupan Parahyangan, puluhan ribu orang menyampaikan simpati mereka. Sejumlah blog, situs pribadi, serta jejaring sosial facebook dan twitter ramai dengan ucapan keprihatinan.

Senin, 26 April, hari terakhir pengoperasian Parahyangan, Suwarna (56), sang kondektur, menyapa deretan penumpang dengan ramah. Khusus kepada penumpang yang telah menjadi langganan kereta itu, Suwarna menyapa dalam bahasa Sunda. Telah 36 tahun ia bekerja di KA Parahyangan. Hari itu terasa berat baginya.

”Sebagai pegawai kereta api, ya, saya sedih. Kenapa penghentiannya langsung sekaligus, langsung distop. Kenapa tidak pelan-pelan dulu?” kata Suwarna yang akan mempertimbangkan mengambil pensiun dini. ”Saya sudah tua,” katanya.

Sedangkan Nia (24), yang telah bertugas sebagai pramusaji di kelas eksekutif Parahyangan, tetap akan melanjutkan tugasnya. ”Besok saya dipindah ke Argo. Sedih karena saya sudah kenal banyak pelanggan kereta ini,” katanya.

Jadilah perjalanan hari itu bagai perjalanan sentimental. Seorang ibu berkali-kali menunjuk ke luar jendela dan meminta anaknya memotret pemandangan di luar. Lintasan Jakarta-Bandung memang menyajikan pemandangan jelita bumi Parahyangan, khususnya pada penggalan rute Sukatani-Cikadongdong-Maswati-Sasaksaat.

Suasana beranda belakang pedesaan yang teduh dengan deretan pohon pisang, rumpun bambu, tegalan, dan hamparan sawah bergantian berkelebat dari balik jendela. Sejumlah stasiun kecil masih memelihara guratan arsitektur masa lalu. Demikian juga dengan tiga jembatan baja di Ciganea, Cisomang, dan Cikubang yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19.

Mungkin, hari itu menjadi perjalanan terlambat KA Parahyangan. Jarak Jakarta-Bandung ditempuh nyaris empat jam. Hampir di setiap stasiun, laju kereta seperti sengaja melambat. Di Stasiun Maswati, misalnya, seorang petugas setempat tergesa berlari ke arah peron dan melambai-lambaikan tangannya ke arah kereta.

Perlu kompetisi

Toh, ”kejatuhan” Parahyangan tidak mengejutkan sejumlah pengamat. Koordinator Railway Resource Center Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) Institut Teknologi Bandung Harun al Rasyid Lubis menganggap wajar penghentian operasi itu. ”Yang menggelinding di atas rel adalah barang privat. Kalau PT KA mau tutup Parahyangan gara-gara defisit, ya, tidak apa-apa. Memangnya ada yang mau menutup kerugiannya?” kata Harun.

Yang ia herankan, mengapa setelah ditutup kemudian mendadak ada penggantinya, yaitu KA Argo Parahyangan yang juga dioperasikan PT KA. Menurut dia, kalaupun ada kereta api yang menggantikan Parahyangan, hal itu seharusnya melalui tender. ”Pemerintah seharusnya membuat peraturan yang menciptakan nuansa kompetisi antarsesama operator kereta api sehingga terjadi peningkatan pelayanan,” ujarnya.

Minimnya perhatian pemerintah juga menjadi keprihatinan Taufik Hidayat, Ketua Pembina Indonesia Railway Watch. ”Anggaran pemeliharaan prasarana tak pernah berselisih jauh dengan biaya akses lintasan (track access charge). Ini menyebabkan PT KA sulit dapat untung,” katanya.

Taufik menyadari, dalam era manusia modern saat ini, manajemen waktu menjadi hal yang paling berharga. KA Parahyangan tak mampu bersaing dalam soal ini. Lambatnya perjalanan kereta, antara lain, akibat banyaknya kereta rel listrik yang memenuhi lintasan Bekasi-Gambir.

Ironisnya, pada 1970-an, justru KA Parahyangan dikenal paling tepat waktu. Jakarta-Bandung pun bisa ditempuh dalam waktu 2,5 sampai 3 jam. Penyanyi Tetty Kadi (58), misalnya, masih ingat bagaimana sang ibu selalu mengawal dirinya untuk tampil bernyanyi di Jakarta dengan naik kereta api. ”Tahun 1971, saya ingat sekali, ibu selalu mengingatkan, ’Parahyangan tak mau menunggu Tetty Kadi, lho...,’” kata Tetty menirukan ibunya.

Farewell, wilujeng angkat, Parahyangan. Kini, ada yang hilang ketika memasuki Stasiun Gambir. Ting... tong... ting... tong.... Perhatian, perhatian. Kereta Api Parahyangan jurusan Bandung segera berangkat. Bagi para penumpang dipersilakan naik ke dalam kereta.... (MYR/IYA/XAR/GRE/kps)